Minggu, 24 April 2011

CINTA MONYET KITA


Aku tertegun. Untuk beberapa saat aku terdiam dan memperhatikan sosok ramping yang berada tidak jauh dariku sedang melihat-lihat barang pajangan. Merasa diamati, ia pun menoleh padaku.
“Tyas?” tanyaku ragu-ragu.
Ia mendekatiku dan tiba-tiba memelukku dengan eratnya. Aku terkesiap, tidak menduga reaksinya.
”Ini kamu Nel?” ia baru berujar setelah mengendurkan pelukannya dan ia menatap lurus ke wajahku,”Kamu tidak banyak berubah. Masih seperti yang dulu.”
”Dua puluh lima tahun ya? Kamu juga tidak banyak berubah. Masih mungil dan cantik seperti waktu kita SMP. Gimana kabarmu sekarang,.. dimana tinggal,.. anak sudah berapa orang...,” rentetan pertanyaan yang ku ajukan menyebabkan gelak tawa kami berderai.
Aku menariknya ke cafe terdekat dan memesan minuman ringan serta cemilan kecil. Tanya jawab terjadi seperti air yang mengalir, tak putus-putusnya. Kami sudah tidak mempedulikan orang-orang di sekitar, dan kami seperti kembali ke waktu lampau untuk bernostalgia.
Tyas teman sekelasku sejak kelas satu SMP. Selain sekelas, kami juga selalu duduk bersebelahan. Kebersamaan ini menyebabkan kami menjadi akrab dan bersahabat. Hari-hari di sekolah kami lewati bersama dengan penuh keriangan.
Ketika duduk di bangku kelas tiga, aku merasa Tyas agak berubah. Ia menjadi lebih pendiam. Aku tidak terlalu mempedulikan perubahannya. Aku sibuk dengan kegiatanku sendiri.
Bowo, cowok imut, pendiam, dan bersahaja yang duduk di bangku baris kedua dibelakangku menyita perhatianku. Aku cukup dekat dengannya sejak kelas dua karena kami sama-sama di pengurusan OSIS. Akhir-akhir ini perasaanku menjadi tak menentu terhadapnya.
Pagi hari aku gelisah menunggunya datang ke sekolah. Siang hari berat rasa hatiku berpisah darinya. Ada rasa yang sarat dengan kerinduan bila sekolah telah bubaran. Semakin lama perasaan itu semakin menjadi-jadi. Kegelisahan menjadi temanku sehari-hari.
Pagi itu aku masuk kelas dengan santai. Aku selalu menjadi murid pertama yang datang ke sekolah. Setelah meletakkan tas di laci meja, aku duduk sambil mengamati sekitarku. Pandanganku tertarik pada laci sebelah tempat Tyas biasa meletakkan tasnya. Kertas folio yang terlipat rapi menjadi perhatianku. Aku menariknya dan segera membuka lipatannya.
Tulisan Tyas yang rapi tersusun di atas kertas putih itu. Ternyata  sebuah surat yang ditujukan pada Roro, masih teman sekelas kami. Seluruh isi surat itu kubaca dan aku terkejut mengetahui curahan hatinya. Ternyata sahabatku juga menaruh hati pada teman laki-laki yang sama. Selesai membacanya, surat tersebut kusimpan ke dalam tasku, aku tidak mengembalikannya pada tempat semula.
Hatiku galau. Ada kebimbangan, ada rasa marah, kecewa, semuanya bercampur aduk. Selama ini Tyas tidak pernah bercerita tentang perasaannya padaku. Padahal kami telah cukup lama bersahabat. Semua hal tentang dirinya selalu diceritakannya, kecuali tentang perasaannya itu yang justru ia curahkan pada teman lainnya.
Satu sisi, ia sahabatku. Di sisi lain ternyata ia sainganku. Hatiku mulai dilanda cemburu. Tyas juga cukup dekat dengan Bowo sebab mereka mengambil ekstra kurikuler yang sama. Tanpa ku sadari sepenuhnya, sikapku mulai berubah pada Tyas. Aku sering marah-marah tanpa sebab yang jelas padanya. Ia hanya terdiam jika aku mulai mempelihatkan reaksi kesal atas sesuatu.
Hati Tyas demikian lembut. Ia tak pernah memperlihatkan rasa gusarnya pada sikapku yang agak kasar padanya. Ia berusaha memaklumiku, dan tak pernah sekali pun ia meladeni kemarahanku. Ia tetap bersikap baik padaku.
Pernah sekali aku demikian marahnya hingga menendang mejanya hanya karena ia menukar mejanya yang sedikit basah dengan mejaku. Setelah itu berbulan aku tidak mau menegurnya. Aku tahu, ia merasa heran dengan sikapku. Namun aku tidak peduli. Keegoisanku menyebabkanku tidak dapat mempertimbangkan mana yang lebih baik.
Bowo, teman laki-laki yang sama-sama kami sukai, masih seperti semula, pendiam dan bersahaja. Denganku ia masih berteman baik dan dengan Tyas pun demikian. Tidak sedikitpun ia memperhatikan secara berlebihan diantara kami berdua. Seolah ia tidak tahu persaingan yang terjadi diantara kami.
Hingga kami tamat dari SMP dan masing-masing kami memilih SMA yang berbeda, kami tidak pernah bertemu lagi. Bowo memilih sekolah di kota yang berbeda dengan kami. Aku masih berhubungan melalui surat dengan Bowo hingga setahun kemudian dan selanjutnya benar-benar terputus kontak antara kami.
 ”Jadi kamu marah-marah padaku karena kamu merasa aku akan merebut pacarmu, ya?” tanya Tyas sambil tersenyum.”Aku baru tahu. Aku kira tak ada seorang pun tahu tentang perasaanku kepadanya kecuali Roro.”
”Hmm, siapa bilang dia pacarku. Aku tak pernah pacaran dengannya,” jawabku.
”Jadi waktu itu kalian tidak pacaran? Aku lihat kalian sering jalan bareng,” Tyas merasa tidak percaya dengan jawabanku.
”Mana berani anak pemalu dan pendiam seperti Bowo nembak aku?” aku meyakinkan Tyas dengan balik bertanya.
”Hahaha... ternyata...., dimana dia sekarang?” tanya Tyas di sela tawanya.
”Beberapa waktu lalu aku bertemu dengannya di Jakarta, dia masih seperti dulu, pemalu, pendiam dan tampilannya sederhana saja. Fotonya baru ku tag ke kamu di fb. Dan ternyata orang yang kita demenin sama sekali tidak ada perasaan ke kita karena ketika ku tanya siapa teman yang disukainya ketika SMP, dengan malu-malu dia menjawab,’Miranda’,” aku menjelaskannya pada Tyas dan tidak dapat lagi menahan tawa.
Kami sama-sama tergelak. Tyas sampai mengeluarkan air mata saking merasa gelinya.
”Ternyata, cinta monyet kita benar-benar menjadikan kita seperti monyet yang berebut pisang. Pisangnya entah sudah jatuh dimana, monyetnya masih berantem,” aku tertawa semakin keras.
”Hush.. jangan terlalu keras tawanya, Nel. Nanti dikira orang-orang kita emang monyet beneran,” Tyas juga sudah benar-benar tidak dapat menahan ledakan tawanya.
Tanpa terasa waktu terus berjalan dan hingga saat berpisah pun masih ada sisa tawa itu, dan nostalgia cinta monyet itu segar kembali dalam ingatan.  
  

Minggu, 03 April 2011

Kala Cinta Mesti Berbagi


Ibah gelisah. Tiap sebentar ia melirik jendela mengharapkan bayangan suaminya tampak disana. Harapan yang tidak mungkin terwujud sebab teras yang gelap tanpa adanya penerangan memustahilkan harapan itu. Suaminya memang sedang duduk disana, asyik berbicara menggunakan hp dengan yang seorang lagi di suatu tempat.
Satu jam lebih Ibah menunggu. Makanan yang dihidangkannya sejak tadi sudah dingin. Ia mendekati jendela dan menyibak tirainya sedikit. Suaminya masih juga menelpon.
”Abang...,” lirih suara Ibah,”nasinya sudah dingin.”
Mahmud terkejut dan berpaling melihat ke jendela rumahnya sambil berkata,”Ya, sebentar lagi, Dik.” Kemudian ia mengakhiri percakapannya di hp dan beranjak dari tempat duduknya masuk ke dalam rumah.
Mahmud tersenyum pada istrinya seolah menyatakan maaf atas kealpaannya. Ibah menanggapi dengan senyum hambar yang memang wajib diberikannya. Selanjutnya mereka makan dalam diam. Sesekali Mahmud melirik Ibah dan ingin membuka percakapan, namun niatnya urung setelah dilihatnya Ibah makan dengan khusuk. Tidak terlepas pandangan mata Ibah pada piring yang berada tepat dihadapannya.
Malam kian larut. Anak-anak mereka telah terlelap dalam mimpi masing-masing. Mahmud mendekati istrinya dan mengajaknya untuk tidur,”Sudah larut, mari kita tidur, dik.” Ia ingin mencairkan kebekuan yang amat kentara diantara mereka. Ia ingin menciptakan kemesraan diantara mereka kembali. Namun hal tersebut terasa berat kini. Semuanya dilakukan hanya karena kewajiban. Semuanya dilakukan dengan penuh kebimbangan.
Melihat reaksi Ibah yang begitu pasrah dan menurut saja seolah tanpa kemauan, ia pun tak sanggup meneruskannya. Ibah memandang tidak mengerti. Namun dalam diamnya iapun sebenarnya telah mengerti apa yang sedang terjadi diantara mereka.
Ternyata ikhlas itu sangat berat. Meskipun otak Ibah telah direcoki dengan dogma dan ajaran yang lebih mementingkan dunia akhir dengan ikhlas menerima segala suratan, namun pada perasaannya selalu saja ada yang tidak sejalan dengan pikirannya. Terkadang jiwanya berontak, namun ia tak berdaya. Surga serasa sudah dipelupuk matanya makin lama makin memudarkan penglihatan terhadap hal lain.
”Tidurlah, Dik. Sudah seharian mengurus rumah dan anak-anak, pasti lelah sekali,” akhirnya Mahmud berujar.
Ibah menurut dan langsung memejamkan matanya. Reaksi seperti itu dirasakan Mahmud seperti orang tanpa jiwa. Dalam pandangannya, Ibah telah berubah menjadi robot yang patuh pada perintah tanpa memiliki hasrat sendiri.
Pagi.
Mahmud pergi meninggalkan rumah untuk berangkat kerja sambil membawa kedua anak laki-lakinya untuk diantar ke sekolah. Ibah memandangi punggung suaminya dari balik jendela. Ia menghela napas panjang dan menghembusnya dengan cepat. Dada Ibah naik turun dengan ritme yang semakin kencang dan tiba-tiba tangisnya meledak. Air matanya mengalir deras tak terbendung lagi. Untuk beberapa saat ia terisak-isak. Kedua tangannya mengelus dada yang terasa kian sesak.
”Mi...,” lirih suara anak bungsunya dan mengembalikan kesadarannya kembali. Si bungsu baru berumur tiga tahun. Ibah segera menghapus air matanya. Tangan mungil Azzura menggapai tangannya dan menarik ke pintu.
”Iya sayang. Zura ingin main di luar, ya?” ujar Ibah sambil membuka pintu sedikit agar anaknya bisa keluar.
Beberapa saat ia mengawasi anaknya yang bermain sendirian di luar rumah. Menyendok pasir dan memindahkan kerikil menjadi kegiatan bermain yang disukai oleh anaknya.
Ibah melirik jam dinding, pukul 9.00. Seharusnya ia bersiap untuk menemui guru spritualnya. Namun kali ini perasaan enggan mulai merayap, menjalar ke hatinya yang sedang galau. Akhirnya ia memutuskan untuk tetap di rumah dan merenungi kejadian demi kejadian akhir-akhir ini.
Ibah mencoba menenangkan perasaannya. Pikirannya kembali ke beberapa waktu yang telah lewat. Keputusan mengizinkan suaminya menikah lagi berlandaskan pada keyakinan akan pengorbanan terbesar dalam hidupnya untuk melempangkan langkahnya menuju tempat akhir terindah. Keyakinannya sudah mantap ketika memutuskan hal tersebut, tanpa keraguan sedikit pun dihatinya.
Saat suaminya mengikrarkan ijab qabul yang kedua kalinya, Ibah pun ikut menghadiri dan duduk dengan tenang menyaksikan seluruh rangkaian acara. Banyak undangan yang terheran menyaksikan ketenangannya dan Ibah tidak mempedulikan hal tersebut.
Hari-hari selanjutnya Ibah harus berbagi. Semula dirasakan tanpa beban di hati. Jika tiba giliran yang satu lagi, ia hanya menganggap suaminya sedang dinas ke luar kota, sehingga tidak terlalu dimasalahkannya.
Memasuki bulan kedua, madunya mulai hamil. Bila sedang giliran Ibah, suaminya lebih banyak duduk di luar rumah menelpon berkali-kali, mulai dari pulang kerja hingga magrib, disambung lagi setelah itu dan setelah itu. Hal inilah yang menyebabkan perasaan Ibah pun terganggu dan keyakinannya mulai goyah.  
Ibah mulai merasakan suaminya semakin jauh meninggalkannya. Bisa jadi raganya berada di dekat Ibah, namun sukmanya mengembara jauh ke tempat satu lagi. Ibah merasa hanya memperoleh raga tanpa jiwa. Hatinya mulai dirasuki kecewa. Untuk menutupi perasaan yang mulai tercemar dengan rasa cemburu ia memutuskan untuk memperdalam ilmu dengan guru spritual. Mahmud mengizinkannya. Setiap hari Ibah ke luar rumah untuk menggali ilmu ikhlas lebih dalam dari pagi hingga siang. Sorenya, Ibah mengajar jemaah lainnya.
Tanpa disadari sepenuhnya, anak-anaknya menjadi seperti anak terlantar. Anak bungsunya sehari-hari dititipkan pada tetangga. Jika siang, kedua anak laki-lakinya pulang sekolah, Ibah sering terlambat pulang sehingga mereka terpaksa masak mi instan sendiri. Masih untung anak gadis tertuanya telah dititip di sekolah berasrama sehingga tidak merasa ditelantarkan (atau justru mungkin ia merasa telah lama diterlantarkan).
Beberapa kali tetangga Ibah komplain dengan prilaku anak ketiganya yang kerap mengganggu teman sepermainan hingga menimbulkan cidera. Ibah hanya bisa mengurut dada dan mengurus pengobatan anak yang terluka. Berkali-kali ia menasehati anaknya namun kejadian seperti itu berulang kembali. Ibah semakin merasa tak berarti karena anaknya tidak mau mengikuti perintahnya untuk berbuat baik.
Masalah demi masalah datang silih berganti. Ibah berusaha mendiskusikan dengan suaminya. Lagi-lagi suaminya hanya menyerahkan semua tanggung jawab di rumah kepadanya, tanpa berusaha mencari solusi lain menghadapi kebandelan anak mereka. Bahkan pernah terlontar kata suaminya yang seolah menyalahkannya tidak mampu menjaga anak-anak. Hati Ibah semakin tidak rela dipersalahkan demikian.
Ibah merasa suaminya sudah semakin jauh dan tidak peduli dengan dirinya. Apalagi menjelang madunya melahirkan. Jatah hari semakin banyak untuk disana dengan alasan sewaktu-waktu ia dapat saja melahirkan mengingat kandungan yang lemah. Alasan yang membuat hati Ibah rasa dicambuk, sakit dan darahnya mengalir keluar. Ia tidak rela karena merasa suaminya telah berlaku tidak adil padanya. Tapi ia tak bisa mengajukan protes sebab suaminya terlebih dahulu telah meminta pengertiannya.
Kekecewaan demi kekecewaan membawa Ibah dalam kemurungan dan keyakinannya goyah sudah. Terkadang tebersit pikiran untuk menyingkirkan madunya agar kemesraan rumah tangganya kembali seperti semula. Penyesalan selalu datang terlambat. Jika ada jalan lain menuju surga, mengapa ia lebih memilih jalan ini yang teramat berat dan penuh duri.
Hatinya bimbang. Masih adakah cinta untuk suaminya? Masih adakah cinta untuknya? Jika bersama, suaminya hanya mengingat yang satu lagi. Jika didekatnya, buah bibir suaminya hanya yang satu lagi. Jika suaminya berada di dekat satu lagi, hampir tidak pernah menghubunginya seperti suaminya menghubungi yang satu lagi bila berada di rumahnya.
Perasaannya mulai hambar terhadap suaminya. Dalam pikirannya, bila suaminya menyentuhnya bisa jadi dia sedang membayangkan yang satu lagi. Pikiran ini amat menyiksanya hampir tiada henti. Dan Ibah telah lama kehilangan hasratnya setelah berbulan-bulan kemudian suaminya masih sibuk membantu istrinya menjaga bayi mereka. Lagi-lagi Mahmud meminta pengertian darinya.
Jiwa Ibah terasa mati. Hidupnya hanya diisi oleh sisa-sisa ajaran yang telah membuatnya seperti mati suri. Kepasrahan yang diperlihatkannya ternyata menyimpan gejolak yang maha dahsyat yang tanpa disadarinya telah mengubah prilaku dan pendiriannya selama ini. Keteguhan dan keyakinannya hilang sudah dan kebimbangan membawanya pada satu keputusan.
Siang.
Kedua anak laki-lakinya pulang sekolah. Ibah segera menyuguhkan mereka makanan yang dimasaknya secara spesial. Tidak seperti biasanya, Ibah mencium kening anak-anaknya dan memeluk mereka erat.
”Mi, ada apa?” Usman, anaknya, bertanya keheranan.
Ibah tersenyum lembut, ”Hari ini hari spesial, makanan spesial dan ada jus mangga sebagai penutup.”
”Hari ini ada yang ulang tahun?” tanya Usman penasaran.
”Anggaplah iya,” jawab Ibah sekenanya sambil menyendokkan nasi ke piring mereka.
” Kenapa Zura sudah tidur jam segini?” kembali anaknya bertanya.
”Dia kelelahan bermain tadi. Biarlah ia beristirahat dengan tenang. Jangan diganggu. Setelah makan, kalian pun harus beristirahat. Sore baru boleh main,” Ibah menjawab dengan senyum misterius. Usman merasakan suatu keganjilan, namun ia tidak bertanya lagi.
Setelah makan, kedua anaknya ikut berbaring di sebelah adiknya yang telah sejak tadi terlelap. Ibah mengelus mereka dam menciumi kening mereka satu per satu. Kali ini air mata mengalir perlahan dipipinya.
”Ada apa, mi?” mata anaknya sudah mulai redup, namun masih sempat melontarkan pertanyaan.
”Tidurlah, agar nanti badan kalian kembali segar. Dan kalian akan menemukan kedamaian,” jawab Ibah dan air matanya makin menderas.
Ibah tidak ingin anak-anaknya merasakan sakit seperti yang ia rasakan sepanjang hari sejak suaminya berubah. Ibah ingin anak-anaknya bahagia tanpa menimbulkan masalah lagi. Ibah ingin memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Ibah ingin anak-anaknya berada di surga lebih dahulu dari dirinya.
Menjelang magrib.
Mahmud pulang dari tempat kerjanya. Ia mendapati istri dan anak-anaknya terbaring kaku. Ada selembar kertas di atas meja yang bertuliskan ”Hanya satu kenangan kita yang tersisa, Annisa. Jagalah ia.”