Sabtu, 21 Mei 2011

BIAS KASIH


“Aku pergi dulu, Ma. Masak yang enak nanti ya. Aku pulang cepat hari ini. Kamu masih cuti kan?” katanya sambil mengecup keningku.
Aku tersenyum dan mengangguk pelan. Aku mengiringinya hingga keluar pintu rumah dan melepaskannya dengan pandangan jengah. Kemudian aku menarik nafas panjang dan mengalihkan pandangan ke dalam rumah. Keadaan rumah seperti kapal pecah. Tisyu bekas berserakan di lantai. Pakaian bekas pakai menumpuk di salah satu sudut ruangan. Aku segera bergerak membereskannya.
Setelah kondisi rumah yang sembrawut berhasil ku rapikan, kini aku merambah ke dapur. Aku membuka kulkas dan melihat persedian apa saja yang ada disana. ”Hmm... sayur asem, ikan asin, tahu goreng, sambel terasi.... lumayan,” gumamku.
Semua ku kerjakan dengan penuh semangat. Aku ingin menyenangkan hatinya yang telah rela memberi naungan dan melindungiku. Aku, dengan segala kemalangan nasib membawaku kepadanya.
Inilah kisahku.
Aku pernah menikah tiga kali. Kegagalanku membina rumah tangga membuatku jadi gamang menjalani hidup ini. Selalu saja ada laki-laki yang berusaha mendekatiku setelah perceraian. Namun kegagalan membuatku berpikir ribuan kali untuk menjalin hubungan yang serius.
Mantan suamiku yang pertama pergi meninggalkanku sehari setelah kami menikah. Setelah malam pertama kami, ia hanya bertanya lirih, ”Dengan siapa kamu pernah melakukannya?” Aku hanya menatapnya tidak mengerti sebab aku yang berusia 14 tahun masih lugu tidak memahami maksud perkataannya tersebut. Setelah itu ia pergi dan tak pernah kembali lagi.
Setelah makin dewasa baru aku mengerti maksud pertanyaan tersebut. Ia menuduhku telah berhubungan dengan lelaki lain sebelum menikah. Ia tidak mendapati selaput daraku yang berdarah. Alangkah piciknya ia. Padahal belum pernah sekalipun aku melakukan hal itu selain pada malam pertama dengannya. Jika selaput daraku ternyata sudah robek sebelumnya, mana aku tahu disebabkan oleh apa. Bisa jadi disebabkan tungganganku setiap hari sepeda ontel bapakku untuk membawa kayu bakar buat dijual di pasar yang jaraknya 20 kilo meter dari rumah.
Memasuki usia 19 tahun seorang laki-laki yang kelihatannya begitu penyayang melamarku. Meskipun beda usia kami 15 tahun, namun aku bersedia menjadi istrinya. Pada awalnya ia memang sangat memperhatikanku bahkan pada hal-hal yang paling kecil sekali pun. Tengah malam aku terbangun sambil mengeluh haus, ia langsung bangun dan mengambilkan segelas air untukku. Aku diperlakukan seperti ratu. Aku sangat tersanjung kala itu.
Tubuhku makin gemuk sebab sehari-hari aku hanya memuaskan nafsu makanku. Semuanya sudah disediakan oleh pembantu yang berjumlah 10 orang. Taman yang luas menjadi tempatku menyenangkan diri menikmati bermacam-macam kembang yang tumbuh dan terawat dengan baik. Bagi orang yang melihat, aku seperti hidup di surga. Namun tidak demikian yang kurasakan. Aku merasa hidup di sangkar emas. Badanku terkurung namun hatiku mengembara ke negeri antah berantah yang semuanya berada dalam khayalku.
Jika aku ingin ke luar, maka suamiku akan mengerahkan sebagian pembantu menemaniku dan sadarlah aku bahwa tidak ada kebebasan untukku lagi. Aku mulai mengajukan protes pada suamiku. Namun hal itu tak pernah ditanggapinya. Ia hanya tersenyum tenang mendengar keluhan bahkan protes dengan nada keras dariku. Dalam pandanganku saat itu, suamiku adalah orang yang tak punya perasaan sama sekali.
Aku mulai merana. Aku berontak, namun tak berdaya. Kekuasaan suamiku demikian besarnya hingga aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku hampir tak menyentuh makanan sebagai reaksi dari sikapnya yang tak berperasaan. Tubuhku kembali langsing namun aku selalu merawatnya dengan perawatan kelas satu.
Masuk tahun kesepuluh pernikahan keduaku, aku belum juga diberi kesempatan menjadi seorang ibu. Aku mulai bertanya-tanya siapa diantara kami yang bermasalah pada kesuburan. Namun suamiku tak pernah mau membahasnya. Aku mulai mencurigainya. Jangan-jangan dia bermasalah pada organ reproduksinya.
Suatu hari, disebabkan kebosanan yang memuncak, aku diam-diam pergi ke mal sendirian dengan menaiki taksi. Aku berjalan sendiri dan bertemu dengan seorang teman dari kampungku. Dia menyapaku ramah. Dengan keterbatasan ingatanku, ia menerangkan siapa dirinya sehingga aku dapat mengingatnya kembali.
”Kamu kelihatan tidak bahagia, mana suamimu? Kok kamu pergi sendirian?” ia mengajukan sebuah pertanyaan yang tepat sekali pada sasarannya.
”Apa  aku kelihatan tak bahagia olehmu?” aku balik bertanya.
”Iya. Kamu terlihat murung dan sorot matamu seperti kesepian. Bahagiakah tampilanmu yang seperti itu?” ia mengamatiku dengan sorot mata menyelidik.
 Aku hanya tersenyum, tidak ingin menjawab pertanyaannya. Selanjutnya kami hanya membicarakan tentang kehidupan kami waktu di kampung dulu. Asyiknya bercerita menyebabkan aku lupa waktu dan entah dari mana tiba-tiba suamiku muncul di hadapanku. Dengan tenangnya ia mengajakku pulang dan dengan senyum misterinya ia pamit pada temanku.
”Jadi itu kerjamu ya? Menghilang diam-diam untuk bertemu dengan laki-laki lain. Apa tidak cukup perhatianku selama ini padamu hingga kamu masih mencari laki-laki lain?” tanya suamiku dengan dingin dan tatapannya, ya Tuhan, begitu dinginnya hingga aku menggigil hampir hypotermia.
”Aku baru bertemu dengannya. Ia temanku di kampung dulu. Dan baru ini aku begitu ingin keluar sendiri tanpa dikawal oleh penjaga,” jawabku dengan mengumpulkan segenap keberanian.
”Sekali katamu? Maaf, aku tak percaya. Sekali lancung di ujian, seumur hidup orang tak percaya. Mana ku tau kalau baru sekali. Mungkin di belakangku kamu sudah sering melakukannya. Jika kamu benar-benar ingin bebas, maka hari ini aku membebaskanmu dengan talak satu,” lembut kata-katanya namun seperti bunyi petir yang demikian kerasnya membuatku terkejut dan tak mampu berkata-kata. Aku terperangah. Semudah itu putusnya ikatan yang telah terjalin selama sepuluh tahun. Ternyata kami hanya menjalin benang rapuh. Dan dengan kepahitan aku menerima keputusannya tanpa diberi kesempatan untuk membela diri sedikit pun.
 Setelah itu aku mulai ragu menjalin hubungan dengan laki-laki lain. Wajahku yang katanya sangat cantik menyebabkan banyak laki-laki yang datang bahkan tak sedikit langsung melamarku. Tapi aku masih tak percaya dengan kesungguhan mereka untuk menikahiku. Entah mengapa akhirnya hatiku tertambat pada seorang pengangguran berbadan kekar yang sering lewat di depan rumah. Itulah cinta. Tidak tahu akan tumbuh dimana.
Dengan suamiku yang ketiga, aku menghadapi situasi yang jauh berbeda dari sebelumnya. Aku terpaksa bekerja untuk membiayai hidup kami. Dengan modal tampang yang kumiliki aku cukup mudah mendapat pekerjaan, apalagi selama menjadi istri mas Royan, suami keduaku, aku dibekalinya dengan berbagai kursus dan tingkat pendidikanku diperbaikinya dengan mengikuti ujian persamaan paket B dan C. Hingga akhirnya akupun dapat menamatkan kuliah.
Namun suami ketigaku selain pengangguran ternyata punya kegemaran berjudi. Jika ia kalah di meja judi maka kekesalan hati dilampiaskannya padaku. Aku harus mampu menahan pukulan dan tendangannya. Tidak jarang hingga aku jatuh tersungkur. Rumah dan segala perhiasan yang diberikan suami keduaku ludes di meja judi. Akhirnya kami mengontrak sebuah rumah kecil di pinggiran kota.
Aku bertetangga dengan Ipa yang hidup berdua dengan keponakan perempuannya. Ia sangat memperhatikanku. Jika pagi hari aku keluar dengan memar di wajah, maka ia memanggilku kemudian mengompres lebam tersebut dan untuk menyamarkannya aku diberi riasan khusus sehingga orang kantor tidak pernah tahu siksaan yang aku alami. Hanya pada Ipa aku berkeluh kesah tentang penderitaanku.
Ketika aku mulai hamil, aku berharap suamiku akan menjadi sadar bahwa ia akan segera menjadi seorang ayah dan sekaligus memiliki tanggung jawab yang besar terhadap diriku dan janinku. Namun, harapan hanya tinggal harapan. Suatu malam, di tengah hujan deras, ia menyeretku keluar dari rumah karena kejengkelannya terhadapku yang menolak tidur dengan teman judinya. Aku dipertaruhkan di meja judi. Aku merasa sangat terhina.
Aku menangis sejadi-jadinya. Dan berteriak-teriak, ”Ceraikan aku. Ternyata kamu bukan manusia!”
Aku bersimpuh, membiarkan hujan deras mengguyur tubuhku. Aku menggigil menahan rasa sakit yang amat sangat diseluruh tubuhku dan darah mengalir dari selengkanganku. Aku sadar, aku telah kehilangan janinku. Aku keguguran.
Aku bersidekap dan memanjatkan doa dalam isak tangis yang pilu,”Tuhan, dengan tak satupun yang kumiliki, aku menghadap Mu. Kumohon belas kasihan Mu atas diriku yang tengah didera sakit dan siksa. Tuhanku, sesungguhnya sakit hanyalah rasa dan siksa hanyalah derita. Hilangkan itu semua dari diriku agar aku dapat berdiri dan berjalan sesuai dengan perintah Mu.”
Sebelum kesadaranku hilang, aku masih merasakan seseorang memanggilku, ”Emaaa....,” lalu ia mendekapku dan berusaha menggendongku dipunggungnya. Berikutnya yang kutahu, aku dirawat berhari-hari di rumah Ipa tetangga sebelah yang selama ini selalu membantuku menghadapi berbagai persoalan hidup. Ia begitu perhatian dan melayaniku dengan penuh kasih sayang. Aku sangat berterima kasih padanya.
Selama proses perceraianku berlangsung aku menumpang di kontrakan Ipa. Setelah kesehatanku pulih, aku kembali masuk kerja dan rutinitas itu kujalani setiap hari kecuali minggu atau hari libur. Ipa selalu menghibur dan meyakinkan diriku bahwa aku dapat hidup bahagia meskipun tidak bersuami.
Ia kerap memelukku dan pelukan itu mampu menenangkanku. Kadang-kadang saat aku gelisah, ia tanpa ragu merengkuhku dan mengecup ubun-ubunku. Aku membiarkannya melakukan itu sebagai ungkapan rasa simpati padaku. Rasa aman dan terlindungi mengalir dalam diriku. Rasa yang kuat dan makin lama makin kuat, sehingga aku ragu, apakah aku telah jatuh cinta padanya.
Kami tidur dalam satu kamar, sementara keponakannya tidur di kamar belakang. Tidak jarang kami berpelukan ketika akan tidur. Ia membelai rambutku yang panjang dan aku menikmatinya sebelum aku benar-benar terlena.
Hari demi hari kemesraan kami makin bertambah. Ia tak pernah ragu-ragu lagi memelukku dan bahkan menciumku. Apalagi sejak keponakannya tidak tinggal serumah dengan kami. Entah kegilaan seperti apa yang kami lakukan. Tapi aku benar-benar merasa bahagia dan mungkin dia lah pelabuhan terakhirku, mesti mustahil dengan ikatan resmi.
Jam 12 lewat 10 ia pulang dengan membawa sebuah bingkisan. Aku menyambutnya dengan senyum termanis. Ia bergegas masuk rumah, mengatupkan pintu dan kemudian memelukku erat. Aku terkejut namun membalas pelukannya dengan hangat.
”Ada apa, Pa? Kok tumben, lain dari biasanya,” tanyaku setelah ia merenggangkan pelukan.
”Aku ingin bertanya serius padamu. Jawab dengan jujur. Bahagiakah kamu hidup bersamaku?” matanya menatap mataku dengan lembut dan senyum nakal menghiasi bibirnya.
Aku berpikir sejenak dan kemudian aku menjawabnya,”Iya, aku bahagia bersamamu. Bahkan ingin rasanya selamanya bersamamu.”
Kemudian ia kembali menarikku dalam pelukannya. Aku merebahkan kepalaku ke dadanya yang bergerak naik turun dengan teratur. Aku mendengar irama jantungnya yang semakin berdegup kencang.
”Aku membelikan sesuatu untukmu. Mudah-mudahan kamu menyukainya” lalu ia melepaskan pelukannya dan menyerahkan kemasan terbungkus rapi yang dibawanya tadi.
Aku membuka bungkusan itu dan kudapati isinya gaun malam yang amat cantik berwarna merah tua sangat kontras dengan kulit putihku. Aku langsung mengenakannya. Ketika aku tampil di depannya ia berguman pelan namun masih tertangkap di pendengaranku, ”Kamu memang cantik sekali. Rugilah orang-orang yang telah menyia-nyiakanmu.”  
”Terima kasih, aku sangat menyukainya,” ujarku dengan mata berkaca-kaca. Kutahan air mata yang hampir jatuh di pipiku.
Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku celana, lalu membukanya. Sebuah cincin mungil yang sederhana namun berkilau dikeluarkan dan langsung dikenakannya di jari manisku. Kali ini aku yang memeluk erat dirinya. Aku begitu terharu.
”Andai saja kita bisa menikah, maka akan ku nikahi dirimu segera. Namun, takdir menentukan lain. Hal itu mustahil terwujud. Aku menyayangimu dengan sepenuh hatiku. Aku mencintaimu seperti cinta seorang lelaki yang sedang kasmaran. Aku akan melindungimu dan akan menjagamu seumur hidupku. Apakah itu cukup bagimu?” pertanyaan yang membuat air mataku tak bisa ku bendung lagi.
”Aku juga sangat mencintaimu. Aku menerimamu apa adanya. Bagiku, cukuplah apa yang dapat kamu berikan. Aku tidak menuntut lebih dari itu. Perkawinan hanya sebuah ikatan yang sewaktu-waktu dapat putus. Tapi kasih sayang seperti ini takkan mudah memutuskannya,” jawabku disela isak tangis.
Kami saling berpelukan dan ia pun ikut menitikkan air matanya. Kami menyadari bahwa secara fisik kami adalah sejenis dan hal mustahil untuk bicara cinta lebih jauh dari sebuah harapan yang takkan mungkin terwujud. Bersamanya aku temukan kedamaian, dan bagiku itu telah lebih dari cukup.

Senin, 09 Mei 2011

SELAMAT JALAN KASIH


Malam semakin kelam. Rembulan sembunyi di balik awan, kadang mengintip malu-malu namun bersembunyi kembali. Waktu yang terus berlalu menyebabkan malam makin larut dan kesunyian makin terasa. Keheningan yang mencekam bersanding dengan kegelapan mencuatkan kegelisahan yang kian mendalam. Gitar yang sejak tadi menemaniku, ku sandarkan ke dinding karena mulai terasa berat dalam pangkuan.
Aku termangu, masih enggan meninggalkan tempat duduk yang telah empat jam lebih menyangga bokongku. Sudah panas rasanya. Tapi aku tak peduli. Dengan pemilik warung aku mengatakan akan bergadang di tempat ini, dan aku sudah mengantongi izin untuk itu.
Ini rokok terakhir yang kusulut dari bungkus kedua sejak sore. Sejak tadi mulutku sudah seperti sepur tua yang mengeluarkan asap tiap sebentar. Kadang-kadang aku mempermainkannya dengan membentuk bulatan-bulatan yang bergulung-gulung. Sekali-sekali aku menepisnya membuyarkan gulungan asap tersebut.
Kegelisahan merambat pelan ke hatiku. Aku tidak tahu dari mana datangnya perasaan itu. Tapi makin lama, perasaan itu makin menyesakkan dadaku. Aku segera mematikan puntung yang masih tinggal setengah, mengira itu penyebab sesak yang tiba-tiba kurasakan. Namun itu juga tidak membuat dadaku lapang. Perasaan gelisah ini sebenarnya telah hadir sejak tadi. Aku berusaha merintanginya dengan main gitar. Lewat tengah malam kegelisahan itu makin menjadi.
”Aguuuus...,” suara lirih panjang yang sangat pelan nyaris seperti berbisik di telingaku.
Refleks aku menoleh ke kiri asal suara tersebut. Sekelebat bayangan bergerak cepat dan kemudian berdiri tepat dihadapanku, hanya beberapa langkah dari tempat dudukku. Makin lama bayangan itu makin jelas.
“Aku minta maaf…,” suaranya demikian pilu dan raut wajahnya terlihat sendu.
”Kirana? Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kamu tidak salah apa-apa padaku,” jawabku dengan debaran aneh di dada. Berikutnya, tenggorokanku rasa tersumbat batu sebesar kepalan tangan.
”Aku hanya ingin mendengar kata maaf dari bibirmu. Maafkan aku yang telah mengusik ketenteraman hatimu,” kata-kata yang keluar dari bibirnya makin lirih dan terdengar makin jauh. Aku tak sanggup menjawabnya.
Makin lama bayangan itu kian memudar dan tatapan matanya semakin kosong, tak bercahaya seperti hampir padam pelita kehidupannya.
”Agus..,” bisiknya lirih,”rasa sayang padamu ku bawa sampai mati...,” itulah kata terakhir yang kudengar sebelum bayangan itu benar-benar hilang dari pandangan.
Aku tersadar dari ketersimaanku. Aku mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Tak ku temukan bayangan tadi dalam siluet subuh yang telah menjelang.
”Ternyata hanya mimpi,” batinku menengahi ketakjubanku pada peristiwa yang baru kualami. Aku yakin, aku tertidur sekejap tadi. Walau aku masih ragu apakah benar demikian, namun itulah jawaban untuk menenteramkan hatiku.
KIRANA adalah nama yang mengusik hatiku beberapa bulan belakangan ini. Nama yang sempat menghiasi hari-hariku dengan cinta kasih yang membuai dan melambungkan angan jauh menembus langit biru.
Kirana yang selalu kuimpikan dan yang mampu menggugah hasrat hatiku. Yang selalu membuaiku dengan tutur kata manis nan memabukkan. Yang selalu tampil bersahaja namun sangat anggun dan pancaran kasih sayangnya mampu melembutkan kekerasan hatiku, mampu meluluhkan kecongkakanku.
Namun Kirana adalah Kirana yang tidak mungkin dapat kumiliki meskipun segala puja dan puji ku tujukan padanya. Kirana adalah sosok impian yang telah menjadi milik orang lain dan dengan segala santunnya ia begitu mengabdi pada suaminya.
Hubungan kami tidak lebih dari barisan dialog yang terus-menerus muncul dan bersahut-sahutan di Hpku. Perhatiannya, kata-katanya yang begitu indah seperti berpuisi menyentuh hati dan perasaanku. Aku selalu berkhayal andai dia benar-benar menjadi kekasihku.
Dari awal Kirana telah mengingatkan kalau hubungan kami hanya sebatas pertemanan biasa yang akan dibumbui kemesraan sebab ia memiliki misi tertentu. Aku tidak lupa namun perasaanku tak bisa berdusta. Seiring berjalannya waktu perasaan cinta makin membuncah dan sangat sulit ku tahan.
Nalarku kadang tidak bekerja dengan baik. Dan aku lupa kalau ia telah menjadi milik orang lain. Tanpa kusadari sepenuhnya aku sangat menikmati hubungan yang terbentuk sebagai sebuah sensasi yang maha dahsyat. Namun, suatu ketika arus kesadaran kembali mengingatkanku akan hakekat sebenarnya.
Aku ingin bebas dari belenggu asmara yang membuatku bahagia sekaligus merana. Jika aku masih berhubungan dengannya melalui media pesan elektronik  aku semakin kacau, maka aku putuskan untuk melepaskan diri dari kontak dengan mengganti kartu ponsel dan menghapus akun facebook atas namaku. Aku akan hilang kontak dengan seluruh temanku, tapi biarlah bila itu lebih baik. Lagi pula hanya untuk sementara, sampai aku mampu mengontrol hatiku. Bila semua telah kembali sesuai pada tempatnya maka aku akan mencari mereka kembali.
Hari-hari selanjutnya aku berteman dengan sepi, untung ada gitar yang dengan setia menemani malamku. Namun kerinduan tetap saja mendera dan sekuat tenaga aku menahannya.
Sebulan yang lalu ketika kartu lama ku aktifkan untuk menghubungi sahabatku di Jakarta sebuah sms masuk dan isinya sangat mengejutkan hatiku.
’ternyata aku terkena kanker stadium 4,’ singkat bunyi pesan itu tapi rasanya seperti petir di tengah hari terik. Pesan singkat itu dikirim 8 jam sebelumnya, berarti sekitar tengah malam. Ada dorongan besar dalam jiwaku yang mendesak untuk menemuinya. Hati kecilku menyanggah sebab saat itu entah mengapa kerinduanku memuncak dan hal tersebut mempengaruhi benteng pertahanan yang sudah kubangun sejak memutuskan akan melupakannya. Jika aku menemuinya maka rasa cinta yang kupendam akan kembali menyeruak ke permukaan dan aku tidak akan mampu menutupinya lagi.
Bayangan yang hadir menjelang subuh tadi menyisakan kegelisahan panjang. Setelah mandi dan sarapan, aku mengaktifkan Hp dan sebuah pesan masuk. Ternyata dari sahabatku. Aku segera membukanya.
’Jika kamu tak ingin menyesal seumur hidup, segera ke alamat ini...’ demikian isi pesan itu. Pesan yang misterius dan benar-benar membuat kepalaku berdenyut.
Tiba-tiba jantungku berdetak kencang, perasaan semakin tak karuan. Jika itu tak penting sekali, tidak mungkin sahabatku mengirim pesan singkat yang bernada mendesak begitu. Alamat itu asing bagiku, tapi aku dapat mencarinya.
Dengan rasa penasaran yang luar biasa akhirnya kutemukan alamat yang dimaksud. Sebuah rumah besar berhalaman luas dan begitu banyak orang yang berkumpul disana.
”Hmm, rumah siapa ini?” bisikku, bicara pada diri sendiri.
Aku mengedarkan pandangan ke segala penjuru, berharap menemukan orang yang ku kenal. Semuanya asing bagiku. Seseorang menepuk bahuku dari belakang. Aku terkejut dan segera membalikkan badan.
”Rudi?” tanyaku keheranan melihat sahabatku berada disini.”Kapan datang? Ini rumah keluargamu?”
”Aku berangkat dengan pesawat malam tadi. Sampai tengah malam,” jawab sahabatku. Ia menuntunku masuk ke dalam rumah lewat beranda samping. Bau khas tercium olehku. Wewangian yang membuat perasaanku semakin tak enak.
”Ada apa, Rud? Ini seperti suasana kematian. Siapa yang meninggal?” tanyaku setelah sampai di suatu ruangan yang luas.
Rudi menunjuk ke tengah ruangan. Mataku mengikuti arah yang ditunjuk. Di tengah ruangan itu, begitu jelas ada sesosok mayat yang tebujur kaku ditutupi kain batik. Beberapa orang duduk di sampingnya.
”Demi Tuhan, Rud. Itu siapa?” tanyaku sambil mencengkeram bahu kirinya. Tiba-tiba kepanikan menjalari jiwaku.
”Itu Kirana, Gus. Ia pergi menjelang subuh tadi. Kanker telah merenggutnya dari kita. Ia hanya mampu bertahan sebulan saja,” jawaban sahabatku itu membuat seluruh tubuhku bergetar. Kakiku menjadi berat untuk dilangkahkan.
Rudi menuntunku hingga sampai di sisi mayat yang terbujur kaku itu. Kain penutup wajah yang berupa selendang tipis disingkapkannya. Dan aku menatap wajah pucat pasi yang diam dengan mata terpejam dan bibir seperti tersenyum. Ia seperti tertidur saja layaknya.
Aku tak tau harus mengapa. Jiwaku seperti ikut hilang bersamanya. Seseorang menyodorkan sebuah amplop padaku. Aku melihatnya.
”Mas, maaf, aku tidak tau kalau Kirana sakit,”terbata-bata aku mengucapkan kata itu pada suaminya. Ia mengangguk dan menyerahkan amplop itu ke tanganku.
”Sebelum ia pergi, ia mengatakan ingin mendengar kata maaf dari bibirmu. Paling tidak begitulah igauannya,” kata Andrian ,”Sekarang dihadapanku, tolong ucapkan.”
Aku mengalihkan pandangan ke wajah yang sudah tak bercahaya itu,”Aku memaafkanmu, Kirana. Aku memaafkanmu....,” tak terasa air mata mulai turun mengalir di pipiku. Andrian menepuk-nepuk bahuku dan meninggalkanku sendirian. Rudi pun ikut meninggalkanku. Mataku tak lepas dari wajah pucat pasi itu.
Begitu ingin aku mengecup dahinya sebagai ucapan maaf dan sesalku. Tapi demi kepatutan dan keangungan namanya aku menahan diri dan jari jemariku menyentuh wajahnya sebagai pengganti keinginanku. Wajah yang tidak hanya pasi namun sudah dingin lali. ”Selamat jalan kasih...” bisikku sangat pelan dan setelah itu aku menyeka air mata yang tiba-tiba menderas mengalir di pipiku. Air mata langka yang hampir tak pernah aku keluarkan seumur hidupku. Kali ini tanpa dapat kutahan ia turun seperti hujan.
Setelah prosesi berakhir.
Surat yang sejak tadi ku pegang, mulai kubuka dan kubaca.

”Agus, teman baikku,
Aku menyadari umurku sedang dikejar waktu. Bila sampai waktu ku, ku ingin kamu tau bahwa aku menyayangimu sama seperti dengan yang lainnya, tiada kubedakan. Jangan pernah mengukur cinta dan kasih sayangku, karena cintaku sedalam samudera dan kasih sayangku seluas angkasa.”

Singkat surat itu, namun aku merasa bernaung di bawah cinta kasih seorang Kirana. Selamat jalan Kirana....

Minggu, 08 Mei 2011

KUPU KUPU HITAM


     Seekor kupu-kupu besar berwarna hitam berbintik merah terbang menebar pesonanya di tamanku. Ia hinggap di kembang soka kuning menjadikan warna hitam sayapnya demikian menarik. Disaat aku ingin meraihnya ia hinggap di dadaku, tepat di bagian jantungku berdetak.
     Aku terpana melihatnya begitu dekat sekali dengan diriku. Kupu-kupu hitam besar yang sangat menarik tak terusik oleh gerakan dadaku naik turun menikmati sensasi keindahan dan pesona kehadirannya menghiasi dadaku untuk beberapa saat. Aku ingin meraihnya, namun ia terbang dengan bebasnya, mengepakkan sayap perlahan meninggalkanku dan kemudian hinggap di mawar merah yang penuh duri. Aku menatapnya dengan sedih yang termat dalam. Cemas sayapnya yang indah kan robek oleh duri.
     Aku berusaha menjangkaunya namun tanganku terluka torehan duri mawar. Ia terkejut dan kemudian terbang makin jauh meninggalkanku. Aku hanya dapat menatapnya dengan kepedihan dan kepiluan tanpa mampu mengejarnya karena kakiku terpatri di kursi roda yang akhir-akhir ini menjadi sangga hidupku.
     Hatiku menangis, namun aku merelakannya pergi, "Pergilah, terbang dengan bebas kupu-kupuku sayang. Kepakkanlah sayapmu hingga kau merasa lelah. Terbanglah kemana kau suka. Aku akan tetap menunggumu."
     Disini, di atas kursi roda ini aku mengharap suatu saat kau akan kembali walau hanya sekedar menyapaku, "Selamat pagi, Cinta.”
(catatan khusus tuk adikku, Kinanty)

Jumat, 06 Mei 2011

ISTRI POLITIK




Petra menebarkan senyum ke seluruh masyarakat yang sejak tadi mengelu-elukan kedatangannya beserta suaminya yang telah dua periode menjadi pejabat daerah. Kepada orang-orang yang mengulurkan tangan sebisanya ia membalas menjabat tangan mereka atau sekurang-kurangnya menyentuh dengan tangan. Agar tidak mengecewakan yang lainnya, ia melambaikan tangan ke arah mereka.
Para ajudan suaminya dan pihak kepolisian berusaha melapangkan jalan dengan mengarahkan masyarakat untuk membentuk barisan di sisi jalan yang akan dilalui oleh dirinya beserta rombongan. Petra masih harus terus menarik kedua sudut bibir ke atas untuk memberi kesan senyum walau dihatinya ada perasaan jenuh dengan mimik wajah yang harus ditampilkannya, rona senyum yang menawan.
”Uf...,” Petra menghembuskan nafas dengan keras setelah ia berhasil masuk ke mobil yang tak lama kemudian disusul oleh suaminya.
”Acara kali ini cukup sukses. Lihat antusias masyarakat menyambut kamu tadi,” kata suaminya sambil mengulurkan tangan,”selamat, ya.”
”Makasih,” jawab Petra singkat dan ia menyambut tangan suaminya dengan acuh tak acuh.
Beberapa ratus meter berikutnya, mobil tersebut berhenti. Suaminya keluar dan pindah ke mobil lainnya.
”Sampai ketemu besok. Ingat, perlihatkan semangatmu dan tampakkan bahwa kamu bisa jadi pemimpin yang baik bagi mereka,” demikian kata sang suami sebelum meninggalkannya berdua dengan supir.
Petra mengangguk dan menatap punggung suaminya dengan pandangan hampa seolah menatap kepergian orang yang tak dikenal. Mobil suaminya meluncur lebih dahulu, barulah kendaraan yang ditumpanginya bergerak perlahan.
”Pak, jangan pulang dulu. Kita keliling-keliling saja,” perintah Petra pada supir. Sang supir mengikuti perintah majikannya seolah telah paham apa yang diinginkan.
Petra memandang kosong ke luar. Kehampaan mengisi ruang hatinya. Lakon yang harus dijalaninya terasa begitu berat dan amat menyiksa. Hampir tiap malam ia harus menghapal dialog dan melatih ekspresi wajah agar dapat tampil prima di atas panggung. Ia sedang memainkan lakon politik dan peran utama yang diperolehnya berkat dukungan penuh dari sutradara yaitu suaminya.
Agenda hariannya padat. Petra disibukkan dengan berbagai acara dalam rangka menjual diri kepada publik agar ambisi sutradara untuk menjadikannya orang nomor satu di daerah ini terwujud. Pagi hari sosialisasi, siang hari makan bersama ibu-ibu PKK atau majelis ta’lim, sore hari menyalurkan bantuan ke daerah-daerah miskin. Ia benar-benar tak ada waktu untuk dirinya sendiri, malam pun harus diisi dengan latihan adegan yang akan dilakoni keesokan harinya.
Hari demi hari Petra lalui dengan perasaan tertekan dan siksaan batin yang demikian kuat menghimpitnya. Kadang ia ragu apakah menjadi orang nomor satu itu benar impiannya atau hanya sekedar pelarian kecewa hati. Meskipun orang-orang terdekatnya mendukung niat tersebut, namun jauh di lubuk hatinya bukan itu yang dicarinya. Ia mencari yang sangat dicintainya dan telah bertahun-tahun hilang yaitu suaminya.
Meskipun mereka masih terikat tali perkawinan, namun semua itu hanya simbolis. Kenyataannya, dalam kehidupan sehari-hari mereka hampir tak pernah bersama. Jika akhir-akhir ini bersama, itu disebabkan dukungan untuk menjadi orang nomor satu, bukan sebagai suami yang mengayominya, menjaga dan menyayanginya.
Sejak jadi pejabat daerah, suaminya menjadi sangat sibuk. Hampir tak ada waktu di rumah. Tiap minggu ada saja acara ke luar kota. Jika kembali dari berbagai kegiatan, suaminya tidak langsung pulang menemuinya. Suaminya mampir dulu ke tempat istri-istri siri yang disembunyikan dari mata publik untuk menjaga kewibawaannya. Jika pulang ke rumah pun hanya untuk mandi dan mengganti pakaian saja. Tegur sapa menjadi barang yang langka bagi mereka.
Kemesraan yang telah sirna diantara mereka menjadikan mereka seperti orang yang tidak saling mengenal. Semuanya penuh basa basi dan terasa sangat menyiksa bagi Petra. Pada awalnya ia telah berusaha memperbaiki keadaan tersebut dengan mengurangi kesibukan di luar rumah. Ternyata itu belumlah cukup bagi suaminya yang memiliki pesona tersendiri bagi banyak perempuan. Dengan alasan ketidak-mampuannya memberi keturunan, ia terpaksa merelakan diri dimadu jika itu membuat suaminya senang. Hatinya tercabik-cabik dengan alasan yang memojokkan itu. Namun kepasrahan dan rasa tak berdaya menyebabkan ia terpaksa menyetujui keinginan tersebut. Suaminya sangat pandai memanipulasi dirinya sehingga dalam ketakberdayaan Petra harus mampu menutupi keadaan yang menghisap habis cahaya kehidupannya ini.
Itu pun belumlah cukup, demi ambisi sang suami ia juga rela dijual kepada publik. Apalagi ambisi tersebut mendapat dukungan dari orang tua Petra yang merupakan salah satu orang ternama di daerah ini. Pengaruh orang tuanya cukup besar terhadap politik setempat. Kemauan suaminya mendapat dukungan penuh dari ayahnya yang tidak pernah tahu bahwa anaknya telah diperlakukan dengan tidak adil. Petra menahan semuanya dengan pertahanan yang berlapis hingga kondisi rumah tangganya tidak diketahui siapa pun termasuk orang tuanya.
Awalnya, Petra beranggapan jika ia memenuhi keinginan dan ambisi suaminya untuk menjadi orang nomor satu maka sang suami pasti akan mendampinginya dan lambat laun ia dapat menarik kembali ke sisinya. Harapan yang tumbuh menyebabkannya menyetujui ide tersebut. Bujukan sang suami meluluhkan hatinya walaupun ia sama sekali tak menyukai politik. Hatinya lebih memilih hidup tenang di sisi suaminya. Ia begitu mendambakan kebahagian bersama dengan suaminya kembali. Asa yang entah kapan akan terwujud.
Memang benar sang suami menjadi lebih sering berada di sisinya. Hampir sepanjang siang Petra selalu bersama sang suami menghadapi masyarakat yang akan dipengaruhinya dalam pemilihan yang akan datang. Dari hari ke hari kondisi tersebut stagnan, tidak berkembang sama sekali. Kebersamaan mereka hanya sebatas itu. Harapannya hanya tinggal harapan, lagi-lagi kehampaan menerpa hatinya yang telah lama menyepi. Pertahanan berlapis yang dibangunnya pun mulai goyah. Kekecewaan demi kekecewaan mengikis pondasi pertahanannya.
”Pa, aku ingin bertemu sekarang. Ada hal penting yang akan aku sampaikan,” Petra menghubungi sang suami yang baru saja meninggalkannya dengan mobil lain.
”Ada apa? Kita baru saja bersama, kenapa tidak tadi saja kamu sampaikan,” formalitas sekali nadanya. Petra benci itu. Sangat membenci keformalan seperti itu.
”Ini baru terpikir dan penting bagi perkembangan pencalonanku,” tegas Petra berkata dan ia mengharapkan sang suami mau berbalik dan menemuinya.
”Hmm, baiklah, jika itu untuk membicarakan tentang pemilihan, di Resto saja ya,” jawab suaminya.
Setengah jam berikutnya mereka bertemu di sebuah restoran besar di kota ini. Makan malam sudah terhidang. Meskipun dirasa telat untuk makan, Petra telah memesannya terlebih dahulu sebab sejak siang mereka berdua memang belum makan.
”Apa yang mau kamu bicarakan?” tanya suaminya kelihatan tak sabar.
”Pa, aku ingin mengakhiri semuanya!” kata Petra pelan namun tegas.
”Apa maksudmu?” suara sang suami meninggi dan menatapnya tajam.
”Aku akan mundur dari pencalonan, aku sudah tidak berminat,” Petra menjawab tegas dan membalas tatapan tajam suaminya.
 ”Mengapa? Ini kesempatan yang sangat baik bagimu? Respon masyarakat sangat positif. Kamu sudah di atas angin. Mengapa tiba-tiba berpikir konyol seperti itu?” suara suaminya semakin meninggi.
”Karena itu bukan kemauanku. Aku tidak mau diperalat,” jawab Petra sedikit ketus.
”Siapa yang memperalatmu? Ini kesempatan yang baik untukmu. Kenapa kamu sia-siakan. Berapa banyak biaya yang sudah dikeluarkan. Berapa banyak waktumu telah terbuang. Kenapa singkat sekali pikiranmu?” ia menggenggam tangan Petra dan meremasnya kuat menandakan ada kegelisahan yang amat sangat disana.
”Bukankah itu kemauanmu, Pa? Aku tidak menginginkan jadi orang nomor satu. Keinginanku sederhana saja cukup jadikan aku istri nomor satumu! Dan aku tak pernah peduli dengan dana yang telah dikeluarkan kerena bukan berasal dari kantong kita.” ketus Petra menanggapi.
”Kemana arah bicaramu? Kamu masih istriku kan?” suaminya bertanya heran.
”Tapi sudah bertahun-tahun kamu tidak perlakukan aku seperti istri layaknya. Aku hanya istri politikmu. Sebagai maskot yang tak boleh punya perasaan. Aku ini masih manusia normal. Sekarang, aku memutuskan untuk keluar dari semua ini. Aku akan mundur,” kata-kata Petra lugas, tegas dan seperti tidak dapat ditawar lagi keputusannya itu.
”Ma...,” suaminya melunak, tapi hati Petra sudah tidak dapat dilunakkan lagi.
”Terima kasih, kerena kamu masih ingat panggilan itu. Tapi untuk kali ini saja, hargai keputusanku!” Petra sama sekali tidak terpengaruh dengan nada bicara suaminya.
”Ma, tolonglah. Sadarilah bahaya yang sedang mengancamku. Sebentar lagi masa jabatanku berakhir. Kamu kan tau kalau pejabat turun, banyak bahaya yang mengintainya,” suara suaminya melunak dan pandangannya seperti minta dikasihani.
Petra mengerti arah pembicaraan suaminya. Tapi ia telah menentukan sikapnya. Ia tidak mau meneruskan situasi yang telah lama menyiksanya. Ia tidak mau lagi diperlakukan dengan semena-mena dan penuh ketidak-adilan.
”Maaf, Pa. Keputusanku sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat. Aku ingin keluar dari situasi ini,” Petra menunduk menahan tangisnya. Air matanya telah mengering bertahun-tahun yang lalu sehingga tangisnya hanya jatuh ke dalam hati.
”Ma...penjara Ma... relakah Mama kalau aku dipenjara?” tanya yang sangat memelas.
”Lebih baik aku melihatmu di penjara dari pada setiap hari di rumah istri yang lain tanpa sekali pun kamu mau menginap di rumahku. Sekali lagi maaf, Pa.”
”Tegakah kamu? Kamu sudah tidak mencintaiku lagi,” nada suaranya makin putus asa.
”Tega jugakah Papa membiarkanku sendiri selama ini? Ternyata memang tega kan? Jauh di lubuk hatiku, aku masih mencintaimu. Salahku selama ini adalah terlalu memperturutkan keinginanmu sehingga kamu lupa diri, Pa. Karena itu, kembalilah padaku dengan suka rela. Aku menerima kamu apa adanya. Apa dan bagaimanapun keadaanmu,”makin tegas Perta berujar.
”Sekali pun hidupku berakhir di penjara? Tidak adakah cara yang lebih baik?”
”Ya. Sekalipun kamu harus masuk penjara, aku akan mendampingimu, karena aku masih mencintaimu hingga detik ini.”
Akhir pembicaraan, keduanya terpekur di restoran yang sudah sejak tadi ditutup. Dan hari telah menjelang pagi.