Jumat, 24 Juni 2011

SERIBU WAJAH CINTA


Om Pes telah terlelap dengan dengkuran berirama khas. Laki-laki itu tertidur kelelahan di sisi Chyntia. Chyntia mendorong tubuh gemuk laki-laki itu sedikit agar posisi tidurnya miring untuk mengurangi suara bising yang ditimbulkan oleh dengkurannya. Usaha itu berhasil dan suara dengkur itu mulai berkurang. Chyntia menarik nafas panjang dan menatap plafon kamar tidur hotel mewah yang berwarna putih bersih itu. Pikirannya menerawang seketika.
Chyntia bangkit dan dengan ringan melenggang menuju kamar mandi. Perlengkapan mandi telah tersedia dan Chyntia mulai membersihkan dirinya dengan menggunakan antiseptik untuk menjaga agar kuman tidak mudah masuk ke tubuhnya. Ia mengusap pelahan kulitnya dengan spons yang telah ditetesi antiseptik. Berkali-kali ia mengulang membilas tubuhnya. Rasanya tetap belum bersih. Akhirnya ia menyudahi mandinya dan segera berpakaian.
Arloji yang melingkar manis di pergelangan tangan Chyntia menunjukkan pukul empat sore. Om Pes masuh pulas di tempat tidur. Chyntia tak ingin mengusiknya. Ia menulis di secarik kertas,’Saya pulang dulu. Makasih.’
Chyntia meninggalkan lobi hotel dengan tergesa-gesa seperti sedang dikejar sesuatu. Di dalam taksi yang mengantarnya barulah Chyntia bernafas lega seperti terbebas dari sesuatu yang menakutkan. Hp-nya berbunyi, tanda ada pesan yang masuk.
Pengirim pesan tidak dikenal. Bunyinya,’Jika kamu tidak memilihku, maka tak satu orang pun dapat memilikimu.’ Alis mata Chyntia bertaut tanda ia sedang berpikir keras dengan menduga-duga siapa pengirim pesan tersebut.
”Uh, tak penting banget!” Chyntia menggerutu sendiri.
Sesampai di kamarnya, Chyntia kembali menerima sebuah pesan singkat,’Lihat chanel TV mu sekarang!’
Chyntia mulai kesal. Tapi ia mengikuti perintah sms tersebut dan segera menyalakan televisi. Beberapa kali ia pindah chanel, tidak ada yang istimewa. Akhirnya ia meninggalkan televisi dalam keadaan menyala dan mengganti pakaiannya.
”Seorang pejabat ditemukan tewas di kamar hotel.....,” sebuah berita yang terkilas dipendengaran Chyntia dan membuat dadanya berdebar kencang. Chyntia segera melihat dan mendengarkan dengan seksama.
”Oh!” jerit tertahan keluar dari mulut Chyntia. Berita itu amat mengagetkannya sebab Om Pes yang baru saja ditinggalkannya, mati dengan kondisi mengenaskan. Lehernya digorok, mukanya digurat dan darah membasahi tempat tidur.
Pikiran Chyntia bekerja cepat. Ia segera mengemasi pakaiannya dan memasukkannya ke dalam ransel semuatnya. Dengan bergegas dia meninggalkan rumah dan segera menuju ATM terdekat untuk mengambil uang. Ia menarik sebanyak lima kali dengan total 10 juta rupiah. Kemudian ia melaju meninggalkan ibukota.
Chyntia begitu ketakutan. Pegawai hotel pasti mengenalnya dan ia adalah orang terakhir bersama korban. Sudah tentu ia akan dijadikan tersangka utama. Chyntia tak sanggup membayangkan ia akan ditahan dan diintrogasi bahkan sangat mungkin mengalami penyiksaan. Berhari-hari Chyntia berpindah-pindah tempat bersembunyi. Dalam persembunyiannya ia berusaha mengingat siapa diantara pelanggannya yang paling mungkin melakukan hal tersebut. Tidak ditemukan jawabannya membuat Chyntia makin frustasi. Begitu banyak yang menyatakan cinta padanya walau cuma sesaat.
Dalam pelarian yang melelahkan dan menyiksa batinnya, Chyntia teringat tempat mengadu yang dulu sewaktu kecil diajarkan guru agamanya. Tuhan, itulah tempat sebaik-baiknya insan mengadukan nasibnya. Kebingungan membuatnya memasrahkan diri dan mencoba kembali menjalankan ritual yang telah lama ditinggalkannya sejak ia merasa begitu malu dihadapan Tuhan sebab kekotoran dirinya sebagai wanita panggilan.
Chyntia menangis tersedu-sedu menengadahkan tangannya memohon ampunan dan meminta pertolongan. Permintaannya tak berjawab. Namun ia tahu Tuhan sedang menegur dan memberi peringatan keras padanya. Akhirnya, ia tak tahan dengan siksa batin yang dideritanya selama pelarian. Chyntia menyerahkan diri ke kantor polisi terdekat.
Selama dalam tahanan beberapa kali Chyntia dipindahkan. Chyntia menyangkal tuduhan yang ditujukan kepadanya. Namun tampaknya tidak ada yang mau percaya dengan perkataannya. Tuduhan tertuju padanya tanpa terlihat kemungkinan untuk membela diri dengan pembuktian.
Penjara bukan tempat impian siapa pun. Penjara, seperti imej yang tertanam di kepala Chyntia adalah tempat yang begitu kejam dan penuh kekejian. Meskipun belum divonis bersalah, Chyntia yang harus mereguk pahitnya penjara tidak dapat menolak nasibnya. Profesinya sebagai penjaja cinta dijadikan lecehan oknum dan beberapa kali ia diperkosa oleh mereka. Tidak ada seorang manusia pun, walaupun ia pelacur, yang dengan senang hati menerima pemerkosaan yang dilakukan atas dirinya. Chyntia berteriak, berontak, namun mereka tidak peduli. Benar-benar keji perlakuan mereka.
Sejak menjadi tahanan polisi, tak seorang pun menjenguknya. Chyntia mendekam sendirian tanpa dipedulikan oleh keluarga atau sanak keluarga. Chyntia sejak kecil telah yatim piatu dan dirawat oleh bibi satu-satunya. Ketika ia beranjak remaja, pamannya amat tertarik pada kemolekan tubuhnya dan hampir setiap hari membisikkan kata cinta. Ketika tiba-tiba ia hamil, bukan pembelaan yang diperoleh dari bibinya, Chyntia malah disiksa, diinjak dan ditendang hingga mengalami pendarahan hebat. Hidup masih melekat dibadannya dan ia diselamatkan oleh seseorang dari penderitaan tersebut.
Mamah Ami mengangkatnya menjadi anak. Chyntia di sekolahkan kembali hingga menamatkan SMA yang sempat terbengkalai. Profesi mamah sebagai wanita panggilan akhirnya menular padanya. Awalnya mamah menentang keinginannya tersebut, namun penyakit kotor yang menggerogoti mamah menyebabkan hilang mata pencariannya. Untuk bertahan, Chyntia memutuskan meneruskan profesi mamah setelah berkali-kali lamaran pekerjaannya ditolak.
Sedikit berbeda dari mamah, Chyntia yang berparas cantik dengan kulit putih bersih memiliki langganan orang-orang penting dari golongan atas. Meskipun berbeda karakter langganannya, tetap saja Chyntia disebut penjaja cinta. Beribu macam bentuk cinta ditemuinya, namun tidak satu pun melekat dihatinya. Semuanya hanya cinta semu sesaat saja. Profesi itu telah dijalaninya selama bertahun-tahun.
Telah beberapa bulan Chyntia menderita dalam tahanan. Tubuhnya semakin kurus dan wajahnya makin cekung, namun kecantikannya masih belum memudar. Ia mencoba untuk bertahan dan tabah menjalani hari-hari yang penuh siksa batin. Suatu hari ia menerima kiriman makanan dari orang yang tak dikenalnya. Ia membuka rantang yang diberikan kepadanya dengan hati-hati. Pada tempat paling atas ia temukan sebuah surat tanpa nama pengirim. Surat itu dibukanya dan ia mulai membaca.
’Jika kamu dari dulu setuju menjadi simpananku tanpa ikatan, maka nasibmu tak akan berakhir begini. Sekarang kuberi kesempatan terakhir padamu. Bila kamu mengikuti keinginku itu maka aku akan menyewa pengacara handal untukmu, dan kebebasan di depan matamu.’
Chyntia terkesiap. Dia tahu siapa orang ini. Hanya satu orang pernah memintanya menjadi simpanan tanpa ikatan perkawinan. Orang itu tak akan menikahinya walaupun hanya nikah siri. Ya, Tuhan... berarti orang inilah yang melakukan pembunuhan keji itu dan melimpahkan kesalahan padanya. Chyntia tak lagi mempedulikan makanan yang dikirimkan tersebut. Rantang itu diberikannya pada seorang teman baru yang kebetulan telah beberapa hari ini ditahan karena kesalahan yang hampir sama dengannya, pembunuhan.
Doanya selama ini terjawab. Setiap malam Chyntia berdoa agar diberi petunjuk oleh Tuhan tentang pembunuh sebenarnya. Petunjuk itu sudah datang. Sekarang tinggal bagaimana memanfaatkan petunjuk yang minim untuk mengumpulkan bukti bahwa ia tak bersalah. Chyntia memeras otak untuk menemukan jalan yang terbaik.
Waktu kunjungan pengacara dimanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Ia memperlihatkan surat yang baru saja diterimanya, dan menceritakan kecurigaannya terhadap seseorang. Selain itu, Chyntia juga teringat Hp nya yang terjatuh di bawah tempat tidur ketika ia bergegas melarikan diri tempo hari. Di dalam Hp itu tersimpan pesan dari orang yang sama menjelang pembunuhan tersebut terkuak dan disiarkan media massa. Sementara Hp yang disita polisi ada satu sms lagi yang dikirimnya. Pengacara Chyntia berjanji menguak misteri tersebut hingga tuntas. Ia akan mengusahakan semaksimal mungkin.
”Tapi hati-hati Amu, orang itu sangat berpengaruh. Tidak mudah mencari bukti, bahkan mungkin semua bukti telah dihilangkannya dan ia telah menyediakan alibi yang kuat agar ia tak tersentuh hukum,” kata Chyntia mengingatkan pengacaranya.
”Sudah tentu saya akan ekstra hati-hati setelah mengetahui siapa dia. Kamu yang tabah ya. Apakah masih terjadi pelecehan lagi terhadap dirimu?” tanya pengacara muda itu dengan penuh perhatian. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa hati pemuda itu telah terpaut pada wanita cantik yang sedang dibelanya.
”Tidak. Sejak kamu melaporkannya, tidak ada yang berani kurang ajar denganku lagi. Terima kasih Amu,” jawab Chyntia. Waktu membatasi mereka dan pengacara muda itu meninggalkannya. Sebelum meninggalkan Chyntia, masih sempat sang pengacara menatapnya lembut, menggenggam tangannya dan memberi kata-kata penyemangat.
Belum lama pengacara meninggalkannya, Chyntia dipanggil kembali sebab ada tamu untuknya. Chyntia heran sebab selama ditahan ia belum pernah menerima tamu selain pengacaranya. Tamu yang dimaksud sama sekali tidak dikenalnya tapi kepada penjaga ia mengaku kerabat Chyntia.
”Maaf, anda siapa?” tanya Chyntia.
”Saya Arol, bu. Saya disuruh menunggu jawaban ibu,” jawab tamu itu dengan sopan.
”Jawaban apa?” tanya Chyntia lagi.
”Kiriman makanan tadi, bu,” jawab tamu itu sambil menunduk, mungkin seperti kebiasaan di rumah majikannya.
”Hmm, katakan pada pak Bing, beri waktu saya untuk berpikir,” kata Chyntia dan ia sengaja menyebut nama itu dan mengamati reaksi sang tamu
”Baik, bu. Nanti saya sampaikan dengan bapak,” tamu itu kemudian pamit. Jawaban tamu itu makin menguatkan dugaan Chyntia terhadap orang yang menfitnahnya sedemikia rupa.
Proses berjalan terus. Chyntia benar-benar memasrahkan diri pada sang pencipta yang memiliki dirinya. Dalam tahanan ini, ia merasakan telah menemukan cinta sejati. Cinta yang begitu indah dan tak pernah melecehkannya, menyakitinya apalagi menyiksanya. Ia selalu dikunjungi setiap dirinya membutuhkan. Setiap waktu ia bebas berkeluh kesah pada kekasih hatinya itu. Walau sepertinya hanya mendengarkan saja, jauh dilubuk hatinya, Chyntia selalu mendengar panggilan sayang dan nasehat-nasehat melalui surat yang telah sejak lama dipersiapkan oleh kekasih untuk dirinya.
Sejak Chyntia menemukan kekasih hatinya dalam bentuk cinta yang kian hari kian menggunung, Chyntia tak pernah lagi berpikir tuk kembali pada cinta lamanya yang tampil dalam seribu bentuk yang asing baginya. Ia tak ingin berpaling kebelakang dan berniat melupakan masa lalunya dan membuka lembaran baru dengan kekasih pilihan hatinya. Kekasih yang amat mengerti dan menyayanginya
Chyntia tak pernah merasa malu atau takut untuk menceritakan kebobrokan masa lalunya pada sang kekasih karena tanpa diceritakan secara mendetail pun kekasihnya telah lebih mengetahui dibanding dirinya sendiri. Hidup Chyntia mulai bergairah kembali. Ketegaran yang diperlihatkannya memang luar biasa. Tak pernah sekali pun ia absen menghadiri sidang bahkan tak pernah ada alasan sakit untuk menunda sidangnya.
Siang ini adalah pembacaan putusan atas tuduhan pembunuhan yang tidak pernah dilakukannya. Chyntia berdiri dengan tegar mendengar hakim membacakan putusan. Dalam hati, tak putus-putusnya ia mohon perlindungan dan keadilan dari Tuhan. Dan akhirnya putusan itu telah jatuh. Chyntia dinyatakan tidak bersalah dalam hal pembunuhan yang dimaksud dan dengan pernyataan tersebut nama baiknya dipulihkan kembali, serta negara harus membayarnya selama masa tahanan.
Air matanya turun tanpa dapat dicegah ketika mendengar putusan tersebut. Perjuangan panjang yang dilalui untuk membuktikan fitnah telah menimpa dirinya ternyata berbuah manis. Bahkan yang teramat manis, melebihi dari segala manisan di muka bumi ini adalah rasa cinta yang mendalam pada kekasih hati yang ditemuinya ketika ia menjalani proses tersebut.
Amu, pengacara muda itu mendekati Chyntia dan demi kepatutan ia mengulurkan tangan memberi selamat. Jika mengikut hatinya, ia ingin memeluk wanita itu karena gembiraan yang meledak meletup atas keberhasilannya membela Chyntia. Keberhasilan yang membuat namanya sebagai pengacara makin terangkat dan yang lebih penting ia berhasil menyelamatkan wanita yang akhir-akhir ini mengusik hatinya.
”Selamat Tia. Semoga kamu bahagia dengan keputusan ini,” ucap Amu dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.
”Terima kasih Amu. Semua juga berkat perjuanganmu. Terima kasih karena mempercayaiku dan mengusahakannya untukku. Aku permisi dulu sebentar. Nanti kamu kutemui lagi,” ujar Chyntia yang telah lepas dari ketegangannya menunggu putusan dan senyum juga menghiasi wajahnya.
”Mau kemana?” tanya Amu keheranan sebab setahunya Chyntia tidak ada tempat yang akan didatangi selain kembali ke rumahnya.
”Menemui kekasihku dulu,”jawab Chyntia sambil tersenyum aneh.
”Kekasih?” Amu semakin heran,”Dimana kekasihmu itu?”
”Tidak jauh kok. Di mushalla belakang. Kamu dapat menungguku disini jika kamu mau. Atau ikut serta denganku, jika kamu menginginkannya,” jawab Chyntia sambil membuka tasnya yang berisi mukena.
Mengertilah Amu siapa yang dimaksud,”Aku akan menyertaimu, namun izinkan aku memintamu untuk menjadi pengikutku, berdiri di baris belakang diriku.”
Mereka tersenyum dan beriringan keluar ruang sidang yang telah sunyi ditinggalkan sejak tadi. Siang yang penuh rahmat dan keberkahan bagi ummat yang tahu bersyukur. Dan kumandang azan siang itu memanggil mereka untuk bertemu dengan sang penentu nasib. Bagi Chyntia, ia telah mantap memutuskan untuk mengajukan diri menjadi kekasih Sang Pencipta karena cintanya tumbuh dalam lingkup kasih sayang yang tak berbatas. Dan cintanya itu kian hari kian membesar hingga tak bisa terukur lagi, hanya pada Tuhan yang maha pengasih dan maha penyayang.
  

Minggu, 19 Juni 2011

PILIHAN HATI


Nasabah yang berurusan lumayan banyak, bahkan lebih banyak dari biasanya. Nomor antri untuk ke costumer service hingga lepas tengah hari telah mencapai 120 orang. Dua orang CS yang melayani agak kewalahan sebab sebagian besar dari nasabah membuka rekening baru yang membutuhkan waktu lebih lama bila dibandingkan permintaan pengecekan saldo rekening. Satpam sejak sepuluh menit yang lalu menghentikan pemberian nomor antrian sebab sudah menjelang waktu tutup pelayanan nasabah.
“Silahkan, Pak. Apa yang bisa saya bantu?” tanya Wenny pada nasabah terakhir.
Wenny masih menebarkan senyum manisnya walau kelalahan terlihat dari parasnya yang manis. Baginya kesibukan seperti ini merupakan hiburan perintang waktu yang akhir-akhir ini membuatnya resah bila dilewati dengan berdiam diri. Hanya kesibukan yang dapat membuatnya lupa akan persoalan hati yang menghimpitnya.
Setelah jam kerjanya berakhir, Wenny masih betah berdiam diri di ruangan tersebut. Meskipun sudah tidak ada pekerjaan lagi namun ia menunggu rekan terakhirnya pulang. Bahkan jika akhir bulan ia pulang hingga jam 10 malam menunggu bagian akunting menyiapkan laporan bulanan.
“Baru pulang, Wen?” tegur ibu ketika membukakan pintu untuknya.
“Iya, Bu,” jawab Wenny, “Wenny capek, mau langung mandi aja. Gerah, Bu.”
“Cepat mandinya, ya. Kami tunggu di meja makan. Ibu masak asam pedas baung, kesukaanmu,” kata ibunya.
Wenny mengangguk dan tersenyum. Kemudian ia langsung menghilang di balik pintu kamarnya. Akhir-akhir ini ia berusaha menghindari orang tuanya. Ia tak ingin mendengar pertanyaan ibunya tentang hubungan asmaranya dengan Heri. Ibu meminta Wenny segera mengakhiri hubungan tersebut. Hal itulah yang mengganggu pikirannya dua bulan belakangan ini hingga Wenny memilih tenggelam dalam pekerjaannya dari pada berenang di air mata ibu yang memohon untuk melupakan kekasihnya.
”Wen...,” panggil ibunya,”cepatlah keluar dari kamarmu. Kita makan dulu, nanti maagmu kambuh. Sudah terlalu malam ini.”
Wenny sejak tadi telah selesai mandi dan duduk melamun di tepi ranjang. Dengan  malas ia bangkit dari duduknya dan keluar menuju ruang makan. Ibu dan ayahnya sudah duduk menunggunya. Wenny duduk dan menunggu orang tuanya menyendok nasi. Ia makan dengan diam dan seolah-olah sedang menikmati makanannya.
”Bagaimana kabar Heri, Wen?” ibunya mulai membuka pembicaraan.
”Mungkin dia baik-baik saja, Bu.” jawab Wenny sekenanya,”Sudah seminggu ini Wen tidak kontak dengannya.”
”Apa kamu sudah mengatakan tentang keputusan yang harus kamu ambil?” tanya ibu sambil menatap Wenny penuh selidik.
Wenny menggeleng dan berkata,”Belum, Bu. Wen tidak tega. Bukankah dari awal perkenalan bang Heri sudah mengatakan mencari calon istri, dan Wen mengajukan diri untuk itu. Wen masih belum  bisa mengatakannya, Bu.”
”Jangan ditunda-tunda lagi, nak. Lebih cepat lebih baik agar dia bisa mencari orang lain dan tak berharap denganmu. Manado itu sangat jauh, sayang. Tak mungkin kamu ikut kesana. Tegakah kamu meninggalkan kami yang sudah tua ini?” kata ibunya dengan mata berkaca-kaca tanda tangis akan pecah bila Wenny tidak segera mengikuti kemauannya.
Wenny menarik nafas panjang. Alangkah berat beban perasaannya kali ini. Ia amat mencintai Heri, namun di sisi lain orang tua yang terlebih dahulu dicintainya menyuruh Wenny untuk menjauhi laki-laki yang dicintainya hanya karena alasan jarak yang amat jauh terbentang diantara mereka.
”Akan Wen usahakan secepatnya, Bu. Berilah Wenny sedikit waktu lagi,” jawab Wenny pelan dan sambil menahan hatinya yang tiba-tiba terasa sakit seperti ditusuk ribuan jarum halus.
”Ingat nak, ridhonya Tuhan tergantung dari ridhonya orang tua,” tegas ayahnya dan kalimat itu selalu menjadi senjata bagi mereka untuk memaksakan kehendak.
Setelah mengemaskan meja makan, Wenny pamit untuk segera beristirahat sebab ia merasa lelah dan esok hari harus masuk kerja pukul tujuh pagi. Wenny segera masuk kamar dan kemudian menumpahkan tangis yang sejak tadi ditahannya. Ia menangis sejadi-jadinya dengan bersidekap pada bantal guling agar isaknya tak terdengar keluar. Ia meratapi nasib cintanya yang tak pernah direstui orang tua.
Dulu, enam tahun ia menjalin kasih dengan Ferdi. Hanya karena Ferdi menggeluti bidang musik, yang menurut orang tuanya tidak memiliki masa depan, Wenny disuruh untuk melupakan cinta pertamanya itu. Wenny berontak dan lari dari orang tuanya dengan cara pindah kos tanpa memberitahukan mereka. Ketika itu Wenny masih kuliah dan tinggal di kota yang berbeda dengan orang tuanya.
Dalam pelariannya, Wenny sakit keras hingga teman sekamarnya terpaksa menghubungi orang tuanya. Akhirnya Wenny dijemput dan orang tuanya merawat dengan kasih sayang siang dan malam. Hati Wenny begitu menyesal telah mengabaikan perintah orang tua sehingga Tuhan menegurnya dengan menimpakan musibah tersebut.
Setelah sembuh, Wenny kembali meneruskan kuliahnya yang sempat terbengkalai. Setahun lebih skripsinya tak disentuh hingga ia harus mengganti judul dan mengulang dari awal kembali. Ia bertemu dengan Heri pertama kali melalui internet. Heri begitu baik dan penuh perhatian. Heri memberinya semangat untuk segera menyelesaikan kuliahnya.
Awal perkenalannya, Heri berterus terang sedang mencari calon istri dari kampungnya yang mau dibawa ke Manado tempat ia ditugaskan. Wenny yang terlanjur menyukai perhatiannya akhirnya bersedia menjadi kekasih Heri setelah terlebih dahulu mohon izin dari orang tuanya karena tak ingin peristiwa lama terulang kembali kelak.
Orang tua Wenny mengizinkan, bahkan reaksi mereka terhadap Heri memperlihatkan bahwa mereka menyukai pilihan anaknya itu ketika Heri menemui mereka lebaran tahun lalu. Wenny begitu bahagia melihat reaksi orang tuanya yang memberi sinyal merestui. Heri pun langsung mengemukakan niatnya akan melamar bila diizinkan. Dalam hal ini orang tua Wenny minta penangguhan hingga Wenny selesai kuliah. Hal itu jugalah yang memacu Wenny untuk segera menyelesaikan kuliah. Dan nasib baik juga memihak padanya. Begitu tamat S1,  Wenny pun lulus tes di salah satu bank dan di tempatkan di kota yang sama dengan orang tuanya.
Ternyata kemudian Wenny dihadapkan pada persoalan lain. Kenyataan sebenarnya, orang tua Wenny memberi izin hanya karena tidak ingin anaknya larut dalam kesedihan berpisah dari pacar pertamanya dan izin itu hanya bersifat sementara hingga anak mereka bisa bangkit kembali. Setelah Wenny menyelesaikan kuliah dan bekerja, menurut orang tuanya, Wenny akan lebih dewasa menanggapi persoalan hidupnya.
Dengan alasan bahwa Manado terlalu jauh bagi mereka, sementara mereka tidak bisa berpisah dari anak bungsunya itu, mereka meminta Wenny untuk mempertimbangkan kembali keputusan memilih Heri menjadi pendamping hidupnya kelak.
”Kalau hanya itu, kan nanti bang Heri bisa mengurus pindah ke sini, Bu. Lagi pula tempat mana sih yang jauh sekarang ini. Jika Ibu rindu, Ibu dapat ke sana dengan pesawat. Bahkan kalo sekedar bicara dapat menggunakan Hp,” demikian argumen yang diajukan Wenny dengan orang tuanya.
”Bukan begitu, Wen. Jika mendadak kamu sakit disana, mana bisa kami sewaktu-waktu terbang kesana karena pesawat ada jadwalnya bahkan rezeki juga ada waktunya tercurah. Lagi pula bukan mudah mengurus pindah. Pak Long kamu saja dua puluh tahun mengurus pindah, tapi tak pernah berhasil dipindahkan kesini. Ngomong memang mudah, tapi Ibu tak sanggup berpisah jauh dari anak-anak Ibu. Tolonglah mengerti. Ibu sudah tua dan sudah tak sekuat dulu. Diabet membuat langkah Ibu terbatas karena kelelahan. Tolonglah mengerti. Kamu belum lama berhubungan dengannya, sudah tentu tidak terlalu susah melupakannya. Lagi pula hubungan kalian selama ini hanya hubungan jarak jauh,” ibunya berbicara sambil terisak-isak. Jika demikian, Wenny tak sanggup lagi membantah ibunya.
”Beri Wenny waktu, Bu,” pinta Wenny memelas.
Orang tuanya keliru. Meskipun belum lama mengenal Heri, namun hati Wenny dari awal telah memilihnya dan ia sudah mempersiapkan diri untuk menjadi seorang istri bagi orang yang dicintainya itu. Bahkan getar cintanya lebih besar dari getar ketika bersama Ferdi. Wenny benar-benar dihadapkan pada dilema dan ia tak yang tahu mana satu harus dipilihnya; orang tempatnya melabuhkan cinta hingga akhir hidupnya atau orang tuanya yang telah mencintai dirinya seumur hidup.
Setiap malam, Wenny sengaja bangun untuk tahajud dan memohon petunjuk dari Tuhan agar diberikan jalan yang terbaik tanpa harus melukai salah satu dari orang-orang yang dicintainya. Andai kata bunuh diri diizinkan, maka ia akan memilih jalan itu agar tidak harus memilih salah satu dari orang-orang yang dicintainya dengan melukai yang lainnya.
Malam ini, usai isak tangisnya sesaat, Wenny memutuskan untuk istiqarah memohon petunjuk pilihan mana yang harus diambilnya. Dengan khusu’ Wenny berdoa dan isak tangis kembali menyeruak dari sela bibirnya dan air mata bercucuran tiada henti hingga menjelang subuh. Ia tertidur sebentar dan tersenyum seperti mimpi indah dalam tidur yang sekejap itu.
Ketika azan subuh berkumandang, Wenny terbangun dan segera berwudhu dan shalat. Matanya yang membangkak segera dikompres agar bengkaknya berkurang dan riasan mata menutupi agar tidak ada yang tahu bahwa sepanjang malam dilaluinya dengan tangis. Ia berangkat kerja seperti biasanya dan seolah hari ini sama dengan hari kemarin, tidak ada yang aneh terjadi.
Hari ini Wenny pulang lebih awal dari biasanya. Jam lima sore ia telah sampai di rumah. Dengan langkah ringan dan senyum sumringah ia mengucapkan salam. Ibunya heran menyambut kedatangan Wenny yang tak seperti biasa. Lebih heran lagi ketika sebuah truk masuk pekarangan rumah mereka dan menurunkan kayu bakar demikian banyaknya.
“Wen, kok tumben pulang cepat?” tanya ibunya.
“Ini hari istimewa, Bu. Mana Ayah?” Wenny balik bertanya sambil tersenyum misterius.
”Trus, itu truk, siapa yang suruh kesini bawa kayu bakar?” tanya ibunya makin heran.
”Wenny, Bu,” jawab Wenny singkat.
Kayu bakar telah diturunkan dan disusun sedemikian rupa. Wenny berdiri di tengah susunan kayu tersebut. Ayah dan ibu berdiri tak jauh darinya, memandang dengan penuh keheranan. Mereka memandang putri mereka dengan gelisah dan menunggu penjelasan.
Dari dalam lingkaran susunan kayu bakar Wenny tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Kondisi yang bertolak belakang ini membuat ibunya memiliki dugaan jelek tentang tingkah putri bungsunya itu.
”Ibu,” kata Wenny pelan,”sungguh anak Ibu ini tidak mau menjadi anak durhaka. Ayah, tak ada yang anakmu harapkan dalam hidup ini selain dari ridho Tuhan. Tapi, Ibu, Ayah, hati Wenny telah memilih bang Heri untuk menjadi pendamping hidup hingga akhir hayat. Karena itu, jika Ibu dan Ayah tidak meridhoi pilihan anakmu ini, jangan jadikan Wenny anak durhaka. Jerigen itu bensin isinya dan di sampingnya pemetik api. Silahkan Ibu mulai membakar kayu ini agar Wenny tidak mati dalam kedurhakaan terhadap orang tua dan ridho Tuhan masih ada pada Wenny.”
Ibunya menangis dan memeluk erat ayahnya.
”Apa-apaan ini?”tanya ayahnya tidak mengerti.
”Ibu. Jika ibu memaksa Wen melupakan bang Heri, itu sama artinya ibu membunuh Wen pelan-pelan karena Wen tak akan sanggup melupakannya. Wen yakin dengan pilihan ini. Tapi, Wen tidak mau menjadi anak durhaka, Wen tak mau hidup tanpa ridho Tuhan. Maka dari itu, sebelum Wen jadi penghuni neraka karena menentang perintah orang tua, lebih baik Ibu dan Ayah menyaksikan Wen dibakar oleh api pilihan Wen ini,” lirih kata Wenny dan air matanya mulai bercucuran.
”Wenny...,Wenny...,”erang ibunya, ”jangan begitu nak. Semua masih bisa kita bicarakan.”
”Ini sudah waktunya Ibu. Wenny tak sanggup menanggungnya lagi. Jangan suruh Wen memilih antara Ibu dan bang Heri. Hari ini, giliran Ibu dan Ayah yang harus memilih,” jawaban Wenny memperlihatkan kemantapan hatinya.
Wenny memejamkan matanya menunggu keputusan orang tuanya. Ia benar-benar pasrah. Tak henti-hentinya ia memanjatkan doa pada yang maha kuasa agar orang tuanya diberi kelunakan hati menerima pilihannya.
Tak lama kemudian Wenny mendengar bunyi kayu yang jatuh berserakan. Namun Wenny masih tegak diam dan terpejam menunggu nasibnya. Kamudian ia merasa ditarik dan ibunya memeluk erat dirinya.
”Intan payung, buah hati Ibu... jangan begini nak. Mana ada orang tua yang sanggup menyaksikan anak kesayangannya dibakar oleh kayu ini,” kata ibunya disela isak yang makin menguat. Wenny masih diam dengan mata terpejam.
”Keluar dari tumpukan kayu ini, sayang,” ayahnya ikut memujuk. Namun Wenny masih tegak dengan kokoh, tak mau beranjak.
”Ooooi anak Ibu, buah hati Ibu. Berat nian pilihan yang kau balikkan kepada kami. Jelas kami lebih memilih keselamatanmu, kebahagiaanmu,” isak ibunya yang semakin melemah. Wenny mengerti, itulah jawaban yang ditunggunya.
”Terima kasih, Ibu. Restuilah anakmu ini dengan penuh keikhlasan. Jangan pernah menyangsikan takdir Tuhan, Bu. Tidak ada tempat yang jauh di muka bumi ini oleh Tuhan. Mengapa Ibu mengatakan jauh bila di hati Ibu selalu ada anak ibu ini,” Wenny membalas pelukan ibunya dan mereka saling bertangisan dalam pelukan yang kian erat.
Beban berat itu pun lepas sudah dari hati Wenny. Restu ibu telah dikantongi dan kini tinggal ia mengabari bang Heri tercinta untuk segera mengirim utusan buat melamarnya. Dalam isak tangis yang panjang, kebahagian datang menjelang dan kelegaan itu luar biasa rasanya.  

Kamis, 16 Juni 2011

KARENA JANJI


Airin melangkah dengan gemulai di sisi Andra. Mereka bergandengan memasuki ruang resepsi. Para undangan telah memenuhi ruangan dan duduk dengan khidmat menyaksikan prosesi pernikahan dengan adat Jawa. Tabuhan gamelan dan nyanyian sinden yang tadi terdengar kini hilang dan digantikan dengan celotehan pembawa acara yang sama sekali tidak dimengerti Airin.
Airin mengambil posisi berdiri dekat meja hidangan sementara Andra mencari tempat duduk yang masih kosong meninggalkan Airin sendiri. Airin lebih tertarik dengan hidangan yang beraneka ragam dari pada serangkaian prosesi yang sama sekali tidak dimengertinya dan sebenarnya acara seperti ini membuat hatinya sedih sebab ia menjadi teringat kondisi rumah tangganya dari awal hingga detik ini.
Setelah prosesi selesai, para undangan dipersilahkan menikmati hidangan. Airin menarik lengan Andra dan mengajaknya meninggalkan gedung tersebut sebab ia sama sekali tak menyukai acara seperti itu apalagi tidak ada yang dikenalnya selain suaminya.
”Makan dululah. Kok buru-buru?” tanya Andra yang keberatan dengan permintaan Airin.
”An, kamu tau aku tidak pernah suka acara beginian. Apalagi aku tidak mengenal mereka,” jawab Airin agak ketus.
”Sabar bentar napa? Ini klienku. Tak enak kalau kita buru-buru cabut. Kali ini tolong mengertilah,” pinta Andra seperti sebuah paksaan yang didukung tatapan tajamnya.
Airin cemberut dan mendengus pelan. Ia terpaksa mengalah dan mengikuti kemauan suaminya. Airin memutuskan duduk di pojok sambil menikmati sejumput buah potong yang dipilihnya sendiri. Ia menatap sedih ke arah Andra yang sibuk bercengkrama dengan teman-temannya sementara ia ditinggal sendirian di tengah lautan manusia yang tak dikenalnya sehingga ia benar-benar merasa terasing.
Angan Airin melayang jauh, kembali pada masa lalu saat setelah pesta pernikahannya. Andra sibuk melayani teman-temannya sampai subuh sehingga dirinya tak terjamah sama sekali. Hari-hari selanjutnya pun tidak begitu menggembirakan. Andra kelihatan dingin dan aktifitas keintiman suami istri sangat jarang dilakukan.
Airin pernah menanyakan hal tersebut, namun Andra tak pernah memberi jawaban yang masuk akal. Jawabannya selalu berubah-ubah sehingga Airin tidak pernah tahu alasan sebenarnya. Akhirnya Airin tak pernah lagi bertanya dan tidak terlalu mempedulikan hal tersebut.
Kadang Airin berpikir,’jangan-jangan suamiku homoseksual’. Sebelum menikah, mereka sempat berpacaran selama beberapa tahun. Andra sama sekali tidak pernah memperlihatkan gejala menyimpang tersebut. Namun frekuensi keintiman yang sangat kurang membuat Airin tak habis pikir dan terbersit sedikit kecurigaan dihatinya.
Setelah tujuh tahun usia pernikahan mereka, akhirnya Airin melahirkan seorang anak perempuan yang cantik. Airin menunggu kelahiran anaknya dengan harap-harap cemas sebab sebelumnya ia sempat keguguran. Ketika Nazwa lahir dengan selamat dan tak kurang satu apa pun, Airin sangat bahagia. Hari-hari Airin selalu disibukkan mengurus Nazwa setelah pekerjaan di kantornya selesai.
Satu hal lagi yang sangat mengherankan Airin, sejak Nazwa lahir Andra tidak mau lagi tidur sekamar dengannya. Alasan yang dikemukakannya adalah tidak suka terganggu dengan suara tangis bayi ketika ia tidur malam hari sebab ia perlu bangun pagi dengan kondisi fit mengingat pekerjaannya sebagai fotografer membutuhkan kejelian dan ketajaman pandangan. Airin protes. Tapi tak ada gunanya. Andra tetap tidur di kamar yang lain dan ia dibiarkan mengurus Nazwa sendiri.
Semula Airin mengira hal itu mungkin disebabkan Andra yang menginginkan anak laki-laki sehingga ia kurang merasa senang ketika Nazwa lahir. Tetapi ternyata dugaannya itu tidak benar sebab jika sore hari setelah Andra pulang kerja, ia selalu menggendong Nazwa untuk sekedar jalan-jalan sore di kompleks perumahan tempat mereka tinggal. Berarti ada alasan lain yang tak pernah mau diungkapkannya meskipun Airin berkali-kali menanyakan.
Parahnya lagi, sejak pisah kamar Andra pun praktis tak pernah menyentuhnya secara pribadi. Airin kerap mempertanyakan hal itu, namun bila pertanyaan tersebut dilontarkannya, maka Andra akan berlalu dengan diam dan beberapa hari menenggelamkan dirinya di studio seolah sibuk dengan pekerjaannya.
Pada tahun pertama pisah ranjang, hampir setiap malam Airin menangis menyesali nasibnya. Ia merasa diabaikan dan ditelantarkan sebagai istri. Kehidupan rumah tangganya benar-benar dingin. Airin bukan tidak berusaha mencari penyebabnya, namun hingga saat ini ia belum memperoleh jawaban dari keanehan sikap Andra tersebut.
Jika berada di luar rumah, mereka terlihat seperti sebuah keluarga yang harmonis. Airin selalu mendampingi Andra setiap ia bertemu dengan klien penting atau hanya sekedar memenuhi undangan makan dari rekan mereka. Airin pun menyembunyikan kondisi tersebut dari keluarganya. Ia tak ingin keadaan rumah tangganya menjadi beban pikiran ibu dan ayah yang sudah tua.
Jauh di lubuk hatinya, Airin berontak dan ingin lepas dari keadaan ini. Itu juga sebabnya ia sangat tidak suka bila diundang pada suatu resepsi pernikahan. Ia merasa pernikahannya telah lama hancur sejak Andra memutuskan pisah ranjang. Empat tahun ia mencoba bertahan dan selama itu pula tiap malam ia berdoa pada Tuhan agar diberi jalan yang terbaik bagi dirinya.
Penderitaan batin yang dirasakannya lambat laun merubah pandangannya terhadap nilai-nilai yang harusnya dianut dalam suatu perkawinan. Jika pada mulanya ia masih melayani kebutuhan suaminya selain yang satu itu, maka belakangan ini ia sudah tidak lagi melakukannya. Ia tak pernah lagi menghidangkan makanan buat Andra bahkan ia tak peduli jika Andra pulang atau tidak sekalipun.
Airin juga tidak lagi menuntut haknya sebagai istri yang menginginkan segala kebutuhan terpenuhi oleh suaminya. Bahkan uang gaji pun sudah tidak diberikan Andra kepadanya. Airin membiayai hidupnya berdua dengan Nazwa dengan bekerja sehingga tidak terlalu membutuhkan uluran tangan Andra untuk memberi mereka makan.
Beberapa malam yang lalu, setelah shalat tahajut dan memohon ampunan dari Tuhan, tiba-tiba terbesit dipikirannya untuk mengajukan cerai pada Andra. Airin merasa pernikahan ini sudah tidak ada gunanya dipertahankan. Ia sudah lelah dengan keadaan yang menyiksa batinnya. Bahkan akhir-akhir ini, ia mulai merasa mual setiap kali melihat wajah suaminya seolah yang dilihatnya adalah setumpuk kotoran yang harus segera dibersihkan.
Airin menyadari sepenuhnya bahwa perceraian adalah suatu jalan pemecahan yang diizinkan oleh Tuhan namun sekali gus sangat tidak disukai-Nya. Tapi, Airin sudah sampai pada titik nadir dan ia berbalik ke bawah ingin lepas dari ikatan yang menjerat lehernya dan membuat ia nyaris mati rasa. Walau bagaimana pun Tuhan menciptakannya lengkap sebagai manusia yang harusnya bisa menikmati berbagai rasa dalam hidup ini. Bukan hanya satu rasa yang membuatnya seperti mati suri selama ini.  
”Ayo kita pulang,” ajakan Andra mengagetkan Airin yang sedang melamun. Uluran tangan itu disambutnya dan ia berdiri mengikuti langkah Andra. Pesta telah usai, para tamu telah keluar dari gedung sejak tadi. Hanya beberapa orang yang masih berada di dalam karena urusan masing-masing.
Dalam perjalanan pulang, Airin bertanya,”Ini pertanyaan terakhirku Andra, tolong jawab sebelum aku mengambil sebuah keputusan tentang kita. Mengapa kamu begitu dingin? Kamu masih laki-laki normal kan?”
”Apa maksudmu Airin? Jelas aku laki-laki normal. Kamu tau itu!” keterkejutan terlihat nyata di raut wajah Andra.
”Mengapa kamu begitu dingin terhadap diriku? Bahkan aku merasakannya sejak kita baru saja menikah. Tidak cintakah kamu padaku?” suara Airin mulai meninggi menahan gejolak di hatinya.
”Jika tidak cinta, tak mungkin aku menikahimu,” jawab Andra sekenanya saja sementaranya matanya terus mengawasi jalan raya.
”Jadi mengapa? Jawab Andra!” pekik Airin yang telah dikuasai oleh amarah.
”Kamu terlalu berlebihan Airin. Apa seks begitu penting bagimu?” jawab Andra dengan emosi yang sama naiknya dengan Airin.
”Empat tahun Andra. Empat tahun kamu tidak menyentuhku sama sekali. Itu bukan masalah seks penting atau tidak. Tapi kamu telah menelantarkan aku. Baiklah Andra. Hari ini aku telah sampai pada satu keputusan. Ceraikan aku!” kata-kata Airin diselingi isak tangis tertahan.
Andra hanya diam menanggapinya seolah kata-kata Airin itu adalah gertakan saja. Tapi ia benar-benar keliru kali ini. Sesampai di rumah, Airin menyerahkan surat panggilan atas gugatan cerai yang telah diajukannya beberapa waktu yang lalu ke pengadilan agama.
”Andai saja tadi kamu menjawabnya, aku berniat menarik gugatanku. Tapi, ternyata kamu sama sekali tak pernah memikirkan aku dan Nazwa. Maka dari itu, penuhilah panggilan pengadilan agama ini, ” Airin berkata dengan tenang dan sangat lancar sebab ia telah menemukan dirinya kembali.
Andra menerima surat itu, membacanya dan kemudian termangu. Airin meninggalkannya sendirian dan ia menjemput Nazwa yang tadi dititipkan di rumah ibunya, tak berapa jauh dari rumahnya.
Pada ibunya ia menceritakan persoalan yang selama ini ditanggungnya sendiri dan keputusannya telah bulat untuk bercerai dengan Andra. Ibunya kaget dan berusaha menasehatinya untuk mengubah keputusan Airin. Namun argumen Airin membuat ibunya tak dapat memujuknya lagi. Anaknya yang biasa lembut sudah sampai pada batas kelembutannya menahan semua derita hidupnya seorang diri.
 Kembali dari menjemput Nazwa, Airin dikejutkan oleh tingkah Andra. Begitu  pintu rumah dibukanya, Andra menyongsong dan bersimpuh dihadapannya.
”Airin, tolong tarik kembali gugatan itu. Aku mohon.....,” katanya mengiba.
”Sudah terlambat Andra. Aku tak ingin menariknya kembali,” jawab Airin.
Andra memeluk erat kaki Airin dan menangis sejadi-jadinya,”Tolonglah Airin. Maafkan diriku. Apa kata orang tuaku nanti?”
”Ha? Kamu hanya memikirkan kata orang tuamu? Kamu tak memikirkan kami? Keterlaluan kamu Andra. Selamanya kamu hanya mementingkan diri sendiri. Sekarang, walau sudah tak terlalu penting lagi, jawablah pertanyaanku tadi. Mengapa kamu begitu dingin terhadap diriku, sementara katamu kamu mencintai aku,” kata Airin berusaha menarik kakinya. Ia merasa sangat risih diperlakukan demikian.
”Maafkan aku, Rin. Itu karena janjiku dengan Erna. Kamu tau aku juga pacaran dengannya ketika kita pacaran dulu. Ia sakit hati sekali ketika aku akhirnya menikahi kamu. Sehingga ia mau bunuh diri. Aku berusaha menyelamatkannya dari sayatan silet yang membuat darahnya nyaris habis. Setelah itu ia memaksaku berjanji untuk tidak menggauli kamu selagi ia tidak bisa merelakannya. Bila itu aku lakukan maka ia mengancamku akan bunuh diri lagi,” diantara isaknya Andra menjawab dan Airin sangat terkejut dengan jawaban itu. Ia tak menyangka sama sekali.
”Alangkah bodohnya kamu Andra. Andai kamu berterus terang dari awal maka tak akan begini jadinya. Sebelas tahun lebih kita menikah, tapi kamu masih terikat janji konyol dengan mantan pacarmu itu? Sama sekali aku tak menyangka. Jika demikian, maka tepatlah keputusanku ini. Tidak perlu kita teruskan pernikahan ini. Kamu bisa kembali padanya bila itu pilihanmu,” kata Airin sambil terus berusaha melepaskan diri dari Andra yang masih bersimpuh memeluk kakinya.
”Airin, aku telah memilih kamu,” lirih suara Andra mencoba melunakkan hati Airin, ”lagi pula Erna telah bersuami.”
”Iya. Kamu memilihku untuk disiksa batinnya. Tapi, terima kasih, akhirnya kamu mau membuka suara. Selama ini alasan jelek itu yang kamu simpan. Setiap aku bertanya tak pernah kamu mau memberi jawabnya. Ternyata....,” Airin tidak meneruskan perkataanya dan tertawa sinis.
Airin berlalu sambil menggeleng-geleng kepala. Benar-benar ia tidak menyangka alasan Andra. Dan ia bersyukur sekali telah mengambil keputusan ini. Ia merasa menjadi orang kembali. Ia menemukan hidupnya kembali yang bertahun-tahun sempat hilang terbawa nasib sial. Begitu bebas rasanya sehingga badannya begitu ringan dapat melayang kemana pun yang ia inginkan. Selama sebelas tahun lebih ternyata Andra hanya menjadi duri dalam dagingnya, berdenyut-denyut menyakitkan. Dan sekarang duri itu sudah berhasil dikeluarkannya. Tak pernah ia merasa begitu bahagia seperti saat ini, karena duri itu telah berhasil dikeluarkan dari hidupnya.
 

Senin, 13 Juni 2011

Antara Nurani Dan Ambisi


Darminto tersenyum lebar melihat wajah istri mudanya yang kelihatan bersemangat dengan mata berbinar-binar seperti kilauan petir yang diabadikan oleh kamera tercanggih. Andini, nama istri muda yang dinikahinya sembilan bulan lalu dengan status nikah siri dan sembunyi-sembunyi. Andini berlari berlari ke arah Darminto, menubruk dan memeluknya. Darminto terkesiap, kemudian ia limbung dan tanpa dapat dicegah mereka berguling-guling di lantai. Tawa Andini berderai, tak peduli dengan rasa sakit di kepalanya yang terbentur meja tamu.
“Ke Paris, Pa? Ini kejutan yang luar biasa,” kata Andini dan selanjutnya ia mendaratkan ciuman bertubi-tubi ke wajah Darminto.
Darminto mengangguk,”Bukankah itu yang kamu inginkan sejak dulu?”
“Iya, Pa. Terima kasih. Kapan kita berangkat?” Tanya Andini merubah posisi menjadi duduk di lantai bersandar di sofa. Darminto pun ikut duduk di sebelahnya.
”Minggu depan,” jawab Darminto pasti.
”Berapa lama rencananya disana, Pa?” tanya Andini dan kembali ia mendaratkan sebuah kecupan di pipi Darminto. Perlakuan seperti ini membuat Darminto merasa menjadi muda kembali.
”Seminggu. Jangan terlalu banyak bawa pakaian. Bawa yang simpel saja ya,” ujar Darminto.
Andini menjerit tertahan,”Berarti bisa beli baju-baju paris yang modis dan eksotis, donk!”
Darminto mengangguk dan tersenyum semakin lebar melihat istrinya kemudian berdiri, berjingkrak-jingkrak kegirangan. Sepanjang siang mereka menghabiskan waktu bercengkrama, bercanda ria dan saling melontarkan kata-kata mesra. Tak terasa ia telah menghabiskan waktu siangnya bersama Andini. Menjelang magrib Darminto pamit untuk pulang ke rumah istri pertamanya.
Sesampai di rumah istri pertamanya, Darminto disambut hangat oleh istrinya, Aini. Aini selalu menyongsong kedatangan sang suami bila mendengar suara mobilnya memasuki halaman rumah. Darminto merasa dirinya adalah orang yang paling beruntung di dunia karena memiliki dua istri yang begitu memperhatikannya, mendewakannya dan benar-benar memperlakukannya seperti raja.
Air hangat bergaram dalam baskom sudah tersedia untuk rendaman kakinya. Setelah melepaskan sepatu, Aini merendamkan kaki suaminya dengan tujuan menghilangkan kelelahan di kaki.  Semua perlengkapan mandi telah tersedia di tempatnya. Darminto membersihkan dirinya sebelum menghadapi hidangan yang telah dipersiapkan Aini di meja makan.
Kedua anaknya telah menunggu di meja makan. Gadis tertuanya telah kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta dan adik laki-lakinya hampir menamatkan SMA. Kedua anak hasil didikan Aini ini sangat membanggakannya baik dengan prestasi akademis maupun dengan prilaku mereka yang selalu memperhatikan etika dan sopan santun.
”Bagaimana dengan mobil yang Papa berikan Aliya? Kamu senang menerimanya?”tanya Darminto membuka pembicaraan mereka.
”Makasih, Pa. Aliya sangat senang menerimanya. Tapi, sebenarnya Aliya belum begitu membutuhkannya. Biar Aliya berangkat sama dengan Toro saja kalau kebetulan kuliah pagi. Mobilnya akan Aliya pakai ketika benar-benar membutuhkan,” jawab Aliya sambil memberi senyum termanisnya.
”Alah... pakai saja Aliya. Kenapa mesti berangkat sama dengan Toro. Jika kamu bawa mobil sendiri, kamu lebih bisa bebas bergerak. Kan kamu sudah harus mencari data untuk skripsimu,” Darminto heran dengan anak-anaknya yang selalu ingin memperlihatkan hidup sederhana.
Aliya tersenyum menanggapi perkataan ayahnya,”Aliya akan memakainya jika memang membutuhkannya, Pa.”
”O, ya. Minggu depan Papa ada studi banding di Paris. Kalian mau titip apa?” tanya Darminto sambil melihat istrinya.
”Saya hanya minta, Papa sehat dan selamat saja, Pa,” ujar Aini.
”Kamu tak ingin  dibawakan oleh-oleh, Ma?” tanya Darminto.
Aini tersenyum,”Kesehatan dan keselamatan Papa adalah oleh-oleh yang selalu saya harapkan.”
”Toro, Aliya, kalian ingin dibawakan apa?” Darminto beralih kepada anak-anaknya.
”Gitar spanyol yang pinggangnya ramping, Pa,” jawab Toro penuh semangat.
”Emang di Paris ada yang seperti itu?” tanya Darminto.
”Hahaha... siapa tau ada, Pa,” jawab Toro dengan ringan.
”Hmmm... kok studi banding terus Pa? Perasaan belum lama ini studi banding juga ke New Zealand. Sebenarnya apa sih studi banding yang dimaksud?” Aliya memperhatikan ayahnya dengan seksama.
”Ya, teknisnya meninjau pelaksanaan sesuatu di negeri orang sebagai bahan perbandingan bagi kita. Pelaksanaannya, lebih banyak jalan-jalannya,” jelas Darminto.
”Papa, hal itu sudah tidak sesuai dengan sasaran. Mengapa Papa mengikutinya?” pertanyaan Aliya membuat Darminto menghentikan suapnya.
”Hal itu harus Papa ikuti karena ditugaskan,” Darminto berusaha memberi pemahaman pada putrinya.
”Tapi pelaksanaannya sudah tidak sesuai dengan tujuannya. Itu sama dengan buang-buang uang negara, Papa. Lebih bijak kalau Papa menolak tugas itu karena akan memalukan diri sendiri. Masyarakat akan mencemooh hal tersebut,” Aliya berkata tegas dan menyatakan pendapatnya dengan keterus-terangan yang membuat ayahnya merasa tak enak.
”Pendapatmu terlalu mengada-ngada. Ah, sudahlah. Habiskan makanannya biar kita bisa istirahat lagi,” ujar Darminto tidak ingin melanjutkan pembicaraan tersebut sebab ia tahu Aliya akan semakin memojokkannya dengan berbagai argumen. Anaknya yang satu itu memang sangat kritis dalam menganggapi suatu persoalan. Bahkan tidak jarang ia tergigit lidah bila beradu argumen dengan Aliya.
Selesai acara makan malam bersama keluarga Darminto masuk kamar dan berbaring di tempat tidur. Aini menyusulnya dan ikut berbaring di sebelahnya. Lama mereka berdiam diri dan sibuk dengan pikiran masing-masing.
”Pa, sebenarnya pendapat Aliya itu benar lho,” Aini mulai membuka pembicaraan. ”Kami bangga Papa bisa duduk disana. Tapi Pa, tetaplah menjadi Papa kami yang nuraninya selalu lebih dominan dari ambisinya.”
”Apa Mama merasa Papa berubah?” tanya Darminto.
”Apapun akan selalu mengalami perubahan seiring berjalannya waktu, Pa,” jawab Aini sambil melirik Darminto. Ia memang merasa perubahan sikap suaminya. Namun ia tak berani terlalu mendesak dengan pertanyaan-pertanyaan yang justru akan memancing kebohongan suaminya.
Darminto bergumam tak jelas dan kemudian terdengar dengkurnya. Dalam tidurnya ia bermimpi yang amat tidak sedap. Nuraninya berperang dengan ambisinya. Seperti lembaran kartu yang masing-masing memegang pedang dan saling melukai. Darminto benar-benar gelisah dalam tidurnya malam ini.
Seminggu kemudian Darminto beserta rombongan telah berada di Paris. Andini benar-benar memuaskan dirinya dengan berbelanja pakaian dan berbagai aksesoris. Darminto sudah mengingatkannya agar mulai membatasi belanja, namun sepertinya  Aini tidak mengindahkan peringatan tersebut. Bahkan ia mulai menawar perhiasan yang harganya selangit. Darminto mulai kesal.
”Masa’ perhiasan murah begini Papa tak bisa belikan?” pertanyaan Andini seperti menantang kemampuan finansial Darminto.
”Belanja kamu sudah melampaui batas kewajaran. Jangan norak deh!” suara Darminto mulai meninggi.
Andini cemberut dan tersinggung dengan perkataan Darminto barusan,”Jika tak mampu belikan, jangan bilang aku ’norak’ Pa! Aku bisa beli sendiri kok.”
Darminto langsung menarik istrinya keluar dari galeri yang mereka datangi. Darminto langsung membawa istrinya menuju hotel dan menyuruhnya menunggu di kamar sementara ia mengadakan pertemuan dengan beberapa orang rekannya. Andini menahan rasa kesalnya dan bermaksud melanggar perintah suaminya itu karena teringat kemarin Widodo, salah seorang rekan suaminya menawarkan untuk naik menara Eifel melihat keindahan kota Paris.
Setelah Darminto meninggalkannya di kamar, Andini langsung menghubungi Widodo. Bak gayung bersambut, Widodo pun sedang tidak ada kegiatan siang ini dan dapat menemaninya mengelilingi kota Paris. Andini segera bersiap menunggu Widodo mengetuk pintunya.
Sepanjang siang Andini menikmati perjalanannya dan makan siang dengan Widodo di sebuah resto. Andini tahu bahwa Widodo tertarik padanya. Sorot mata lelaki itu memberi sinyal demikian. Andini melirik suatu peluang. Ia mengajak lelaki itu ke galeri yang tadi pagi didatangi bersama suaminya. Dengan antusias Andini mencoba perhiasan yang disukainya pada leher jenjangnya yang putih mulus. Widodo begitu terpesona melihatnya dan dengan ringan ia merogoh koceknya membayar perhiasan tersebut.
”Terima kasih, Pak,” ujar Andini tertawa memperlihatkan barisan giginya yang putih dan rapi. Widodo mengangguk dan menyentuh pipi Andini dengan tangan kanannya. Hasratnya tiba-tiba bergejolak dan ia berusaha menahannya. Yang terpikir hanya segera kembali ke kamar hotel dan memujuk wanita di depannya untuk singgah di kamarnya.
Semuanya dapat berjalan sesuai dengan harapan mereka. Andini akhirnya setuju mampir sebentar di kamar Widodo. Bagi Andini, memenuhi keinginan Widodo hanya sebagai ucapan terima kasih. Tidak lama, namun ternyata itu menjadi petaka baginya.
Keluar dari kamar Widodo ia kepergok suaminya. Pandangan curiga Darminto membuatnya gelagapan. Darminto langsung menarik istrinya ke kamar dan mengintrogasinya. Andini bersikukuh bahwa tidak terjadi apa-apa antara dirinya dengan Widodo. Darminto tak percaya begitu saja. Ia menyuruh Andini membuka celana dalamnya dan langsung menunjukkan  flek yang ada disana adalah bukti perselingkuhannya. Akhirnya Andini menangis memohon ampun. Darminto demikian emosinya, apalagi alasannya hanya karena perhiasan yang baru dibelikannya. Alasan yang sangat naif. Darminto langsung menjatuhkan talaknya dan kemudian meninggalkan Andini yang sedang menangis tersedu-sedu menyesali nasibnya.
Sesampainya di Jakarta, Darminto langsung mengantar Andini beserta segala belanjaannya ke kampung halaman perempuan itu. Darminto sudah tidak mau mendengar permohonan maafnya dan Andini hanya bisa pasrah menerima keputusan Darminto.
Selama beberapa hari ini, Darminto mulai memikirkan dirinya kembali. Kata-kata anak dan istrinya terngiang di telinganya. Ia merasa sudah mulai kehilangan nuraninya dan menjadi pengkhianat bangsa. Darminto yang terkenal jujur dan selalu menolong orang di sekitarnya sudah menjadi kanibal dengan mengisap darah dan keringat bangsanya yang menaruh kepercayaan di pundaknya. Ia merasa sangat berdosa. Apalagi dengan nyata ia telah mengkhianati istrinya yang selalu berusaha menjaga keselamatannya dunia akhirat. Ia menikah lagi tanpa sepengetahuan istrinya itu.
Jika membawa uang lebih ke rumah, Aini selalu bertanya asal uang tersebut. Bila halal, maka Aini menerimanya. Jadi hanya uang gaji yang akan diterima oleh istrinya itu. Uang yang tidak jelas asal dan tujuannya, tidak pernah mau Aini terima. Padahal begitu banyak dana yang mengalir ke rekeningnya dan ia sendiri tak tahu akan dipergunakan untuk apa uang sebanyak itu. Sejak ia menikahi Andini, perempuan itulah yang menikmati uang yang tak jelas asalnya tersebut.   
  Sesampainya di rumah, Darminto langsung memeluk Aini dan memohon maaf padanya. Ia menceritakan seluruh kecurangan yang dilakukannya terhadap keluarga dan bangsanya. Ia menangis tersedu-sedu mengingat siksa Tuhan yang pedih bakal diterimanya.
”Tak ada manusia yang sempurna, Pa. Tuhan mengerti betul dengan makhluk ciptaannya. Mohon ampunlah pada-Nya dan perbaikilah kesalahan, Papa,” kata Aini dengan tenang dan ia telah lebih dahulu memaafkan kekhilafan suaminya itu.
”Makasih atas pengertianmu, Ma. Tapi bagaimana cara memperbaikinya tanpa membuat diri celaka?” tanya Darminto tertunduk lesu.
”Kembalikan uang yang tidak jelas itu pada negara. Mohon maaf pada masyarakat lewat media. Dan jika rekan merasa terganggu, letakkan saja jabatan itu,” demikianlah saran Aini yang membuat galau hati Darminto.
”Jika itu dilakukan, maka kemungkinan saya akan diproses dan paling mungkin selanjutnya saya mendekam di penjara. Huh....,” ujar Darminto pelan dan seperti suara keluhan panjang diakhir ucapannya.
” Kami akan terus mendampingimu, Pa. Lebih baik persoalan ini selesai di dunia, Pa agar tidak sampai ke akhirat. Insyaallah niat baik Papa yang mau berubah dapat diterima baik oleh masyarakat,” perkataan yang lemah lembut namun tegas dari Aini menguatkan hati Darminto.
Akhir cerita, Darminto mengalami proses yang panjang dan melelahkan. Namun hatinya tegar karena keluarga mendukungnya dan yang lebih mengharukan lagi, masyarakat banyak pun memberi dukungan baik lewat aksi demonstrasi maupun lewat media elektronik seperti twitter dan facebook. Darminto masih memilih mempertahankan nuraninya.

Rabu, 08 Juni 2011

KUINGIN CINTAMU, MA


Praaang…brak..gedubrak! suara gaduh itu berasal dari dapur. Amelia terperanjat dan segera berlari menuju asal suara. Dapur didapatinya dalam keadaan amat berantakan. Rajangan sayur memenuhi lantai, dan kardus mi instan yang biasanya tersusun rapi di dekat boks beras jatuh ke lantai dan isinya berserakan. Kompor gas terbiar dalam keadaan menyala tanpa ada yang terjerang di atasnya.
Amelia melangkah dengan tergesa-gesa mendekati kompor dengan niat mematikan api yang sedang menyala, takut apinya menyambar gorden yang berada tak jauh dari sana. Baru beberapa langkah kakinya bergerak, Amelia merasa sesuatu mencucuk telapak kakinya.
”Aduh!” jerit tertahan terlontar dari bibir Amelia.
Amelia segera mengangkat kakinya. Pecahan kaca terhujam di telapak kakinya. Ia segera mencabut pecahan kaca tersebut sambil menggigit bibirnya menahan rasa sakit dan ngeri melihat darah mulai keluar dari luka yang ditimbulkan oleh pecahan kaca tersebut.
Amelia keluar dari dapur dengan tertatih menuju ruang makan tempat kotak P3K biasanya disimpan. Ia segera mengoleskan betadin dan mengambil hansaplas yang lebar buat menutup lukanya.
”L i aaaaaa...!” suara jeritan yang berasal dari ruang tengah.
Dengan terpincang-pincang Amelia menuju ke asal suara sambil menjawab, ”Iya, Ma,”
”Kemana saja kau? Nggak tau Mama lagi pusing ya? Bereskan dapur!” perintah ibunya yang terlihat marah.
Amelia mengangguk dan kemudian membalikkan badannya ke arah dapur. Ibunya menyusul, dan dengan ringan tangannya terangkat menjewer kuping Amelia.
”Lain kali, pulang sekolah langsung ke dapur. Jangan taunya makan aja. Masak! Itu harusnya yang kau lakukan sepulang sekolah. Kau sudah besar, jadi itu bukan tugas aku lagi. Tau?!” kata ibunya dan sebuah tamparan mendarat di pipinya.
Amelia mengangguk dan ia meraih sapu. Rasa panas tamparan di pipinya harus ditahan jangan sampai tangannya mengelus pipi sebab itu akan menyebabkan tambahan satu tamparan lagi seperti yang biasa ibunya lakukan. Mungkin ibunya sedang ada masalah di kantor hingga terbawa ke rumah. Amelia berusaha memakluminya.
Amelia mulai menyapu lantai kemudian membereskan semua yang telah diberantakkan oleh ibunya. Selanjutnya ia membuat teplok telur dan goreng tahu untuk makan siang mereka.  Semua dikerjakannya dalam diam dan keheningan mulai terasa sebab ibunya sudah berhenti mengomel sejak tadi dan adik-adiknya pun tak berani keluar dari kamar mereka.
Amelia, gadis kecil yang berusia 14 tahun duduk di kelas dua Sekolah Menengah Pertama. Parasnya manis dengan kulit kuning langsat. Di sekolah, Amelia termasuk anak yang pintar karena selalu meraih juara kelas tiap semesternya. Namun bawaannya yang pendiam dan cenderung menyendiri menyebabkan ia tak banyak memiliki teman. Dan, tidak seorang teman pun diizinkannya datang ke rumah karena Amelia takut ibunya marah.
Amelia memiliki dua orang adik laki-laki yang berusia tujuh dan sepuluh tahun. Kedua adiknya amat sayang dengan dirinya sebab Amelia selalu memperhatikan dan menolong mereka menyelesaikan tugas yang diberikan guru. Bagi Amelia, adik-adiknya itulah yang dapat dijadikan teman bermain di rumah tanpa sangsi ibunya akan marah.
Orang tua Amelia keduanya bekerja di perusahaan swasta yang berbeda. Ayahnya hanya pegawai biasa yang gajinya tidak mencukupi untuk membiayai seluruh kebutuhan rumah tangga. Sebab itulah ibunya juga bekerja untuk mencukupi kebutuhan mereka.
 Berbeda dengan ayahnya yang sangat baik kepadanya, ibunya sering memperlakukan Amelia dengan sangat keras. Bagi Amelia, tiada hari tanpa didera oleh ibunya. Bukan hanya kata-kata yang kasar bahkan tamparan dan pukulan selalu diterimanya. Dimata ibunya, Amelia tak pernah benar dan tak bisa menyenangkan hatinya. Hal tersebut telah lama terjadi, setidaknya sejak Amelia sudah punya ingatan ketika ia berusia lima tahun. Yang mengherankan, terhadap kedua adiknya, ibunya sangat baik dan hampir tak pernah memarahi mereka.
Amelia berusaha mencari alasan dibalik perlakuan sang ibu terhadapnya. Jawaban yang diperoleh dari ayahnyalah yang selama ini menjadi dasar Amelia untuk menerima apapun perlakuan ibu terhadap dirinya.
”Mamamu sangat menderita ketika kecil dulu. Ketika melahirkanmu, ia juga mengalami histeria dan itu lebih dari dua tahun ia derita. Selain itu, kamu anak perempuan satu-satunya dan mamamu mengharapkan kamu jadi perempuan yang tangguh dan mampu menghadapi setiap persoalan yang timbul. Makanya didikannya terhadap dirimu agak keras,” begitu ayahnya menjelaskan. Jawaban itulah yang disimpannya selama bertahun-tahun walau Amelia tak pernah yakin itu alasan sebenarnya.
Pernah satu kali amelia bertanya langsung pada ibunya. Tanggapan yang didapatinya sangat mengejutkan. Ibunya menatap Amelia dengan tatapan tajam seperti akan membelah dirinya menjadi bagian-bagian kecil. Tak lama kemudian ibunya menangis tersedu-sedu. Dengan ragu Amelia mendekat dan memeluknya.
”Maaf, Ma. Kalau pertanyaan Lia membuat Mama merasa tak enak,” Amelia berkata lirih dan mempererat pelukannya.
Dalam pelukan Amelia, ibunya berujar lirih,”Maafkan Mama. Sungguh Mama tak bermaksud.....”
Hanya jawaban itu yang diperolehnya dari sumber pertama. Satu pertanyaan yang belum ditemukan jawaban pasti. Pertanyaan yang masih tersimpan di memorinya dan ia masih terus mencari jawab. Entah dimana jawaban akan ditemukannya.
”Liaaaaa.....,” teriakan yang selalu membuat Amelia berlari tergopoh-gopoh.
”Iya, Ma,” jawaban rutin yang harus diberikan Amelia sebelum kakinya sampai pada yang empunya panggilan.
”Masakan apa ini! Mana biasa aku memakannya. Gorengkan ikan asin dan buat sayur asem. Sekalian sambel terasinya,” perintah ibunya setengah memekik. Amelia hanya mengangguk dan segera melaksanakan perintah tersebut.
Sayur asem? Hmm, bahannya sudah habis diserakkan oleh ibunya tadi. Dari mana ia dapat memperoleh bahan tersebut? Ke warung, tak ada uang. Di halaman, bahannya tak komplit. Mau bertanya, takut. Amelia harus memeras otaknya untuk menemukan solusi tersebut. Akhirnya ia mengambil kembali sayur-mayur yang telah jadi penghuni tempat sampah dan mencucinya satu persatu potongan. Amelia berusaha melakukannya dengan secepat mungkin, sebab jika terlalu lama menyiapkannya maka ia akan berhadapan dengan amarah ibunya.
Setelah selesai menghidangkan menu makan siang, Amelia memanggil kedua adiknya dan menyuruh mereka makan. Tidak lama kemudian ibunya keluar dari kamar dan mendekati adik-adiknya. Kedua adiknya dipeluk oleh ibunya dari belakang dan ubun-ubun mereka mendapat satu kecupan.
”Cepat habiskan makanannya, sayang,” ujar ibunya dengan lembut.
Amelia tersenyum menyambut dan menarikkan kursi untuk diduduki ibunya. Ibunya mulai menyendokkan nasi ke piring yang berada dihadapannya. Ketika menyendok sayur asem, keningnya berkerut.
”Dari mana kau dapat sayur ini?” tanya ibunya.
”Yang berserak di lantai tadi, Lia cuci satu persatu,” jawab Amelia lugu.
”Apa!” ibunya berteriak,”Kau mau meracuni kami? Bukankan tadi ada pecahan kaca disana? Kau mau serpihan kaca itu termakan oleh kami agar kami sakit bahkan mati!?”
”Bukan begitu, Ma. Sayurnya sudah Lia cuci bersih satu persatu tadi. Dan...,” jawaban itu terhenti sebab tangan ibunya telah sampai di mulut Amelia. Sebuah tamparan yang keras.
Lia tak dapat menahan air matanya. Apalagi ketika ibunya menuangkan sayur itu ke lantai. Lia tak dapat berbuat apa-apa. Perutnya yang tadi perih menahan lapar kini rasanya mual. Tapi semuanya harus ditahannya agar ibunya tak semakin brutal. Ia segera mengambil pengepel lantai dan membersihkan tumpahan sayur tersebut.
”Selesai membereskan itu, angkat jemuran di atas. Jangan biarkan jadi kerupuk,”perintah ibunya benar-benar tak berperasaan.
Amelia berjalan dengan gontai menuju tangga. Kepalanya tertunduk dan hatinya benar-benar pilu menerima perlakuan ibunya. Sesampainya di lantai atas, Amelia dikejutkan oleh seseorang yang mengacungkan sebuah celurit ke arahnya.
”Diam atau pisau ini merobek perutmu!” perintah orang yang tak dikenal tersebut. Amelia menggigil dan membekap mulutnya dengan tangan sendiri.
Tiba-tiba dari arah pintu ibunya keluar dan orang itu beralih mengacungkan celurit pada ibunya. Ibunya menjerit dan orang itu kelihatan kalap. Amelia melihat gelagat yang benar-benar membahayakan ibunya. Amelia segera berlari memeluk ibunya dan orang yang kalap itu menikam punggungnya.
”Ah...,” keluh Amelia menahan rasa sakit dipunggungnya. Ibunya melepaskan pelukan dan bergerak mendekati orang tersebut. Orang yang tak dikenal itu makin panik dan berlari menuju pagar pembatas, namun sayang, Amelia yang dalam keadaan limbung tertabrak olehnya dan tak dapat dicegah lagi, tubuh kurus itu meluncur ke bawah, tak mampu ditahan oleh pagar pambatas.
Amelia masih sempat melihat orang itu merayap menuruni dinding dan setelah itu semuanya terlihat jauh dan hanya suara-suara yang tak dimengertinya yang terdengar. Ia masih merasakan dekapan ibunya dan masih mendengar samar jerit ibunya yang memanggil namanya.
”Kuingin cintamu, mama....,” bisikan yang amat lirih masih sempat Amelia ucapkan.
”Lia, Lia, maafkan Mama. Maafkan Mama,” tangis histeris ibunya terdengar pilu.
”Jawab pertanyaan Lia, Ma,” antara sadar dan tak sadar Lia masih juga berusaha untuk bicara.
”Mama menyalahkan mu. Karena kehadiranmu yang sama sekali tak dikehendaki, mama terpaksa menikah dengan papamu yang kere itu. Maafkan mama. Itu bukan salahmu. Tapi mama terlanjur menyalahkanmu. Lia, sadar, nak,” raungan ibunya makin jauh terdengar.
Amelia telah memperoleh jawaban atas satu pertanyaan yang selalu menganggunya sejak kecil. Ia tersenyum, puas, akhirnya pertanyaan itu berjawab. Sama sekali ia tidak pernah membenci ibunya. Cintanya pada ibunya sepanjang waktu hanya untuk menunggu jawaban yang dicarinya. Suara yang makin samar membuat Amelia memasrahkan dirinya pada sang pemilik alam.