Rabu, 03 Agustus 2011

CINTA DITOLAK DUKUN BERTINDAK


Maryam berjalan dengan gemulai melewati jalan setapak. Sebuah keranjang besar berisi kain cucian dijunjung di atas kepalanya. Raut wajahnya dihiasi senyum dan rona memerah menjalar di pipi yang berisi dan kelihatan segar. Rona kemerahan itu makin mempercantik wajah Maryam yang bulat telur. Sengatan matahari yang mulai terik seperti tak dirasakan, bahkan ia kelihatan begitu menikmatinya dengan berjalan pelan dan melenggang menahan beban di kepalanya.
”Baru selesai mencuci, Yam?” sapa seorang ibu yang kebetulan berpapasan dengan Maryam.
”Iya, Mak Ode. Akhirnya selesai juga,” jawab Maryam dan lenggangnya masih teratur menuju tempat tinggal yang sudah mulai kelihatan.
Ibu yang menyapanya tadi berhenti dan kemudian memperhatikan Maryam untuk beberapa saat. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan pelan ia berujar seolah bicara kepada diri sendiri, ”Maryam.... Maryam. Entah apa yang kau pikirkan. Ada rumah bagus di kota malah ditinggal” Maryam tidak menanggapi perkataan itu karena ia tidak mendengarnya.
Seorang anak perempuan kecil berlari menyongsongnya dan berteriak-teriak kegirangan,”Ibu, lihat, Cipa dapat macupilami dali oom Cipu.”
Maryam menyambutnya dengan kening berkerut. Langkahnya terhenti dan keranjang bawaannya diturunkan, ”Oom Cipu?”
”Iya, Ibu. Oom yang kemalen datang bawa cawo manis, yang bawa Cipa main di sawah Wak Nen,” gadis kecil itu menerangkan dengan antusias, lalu tertawa-tawa dan memperlihatkan mainan yang menyerupai monyet berwarna kuning berekor panjang pada Maryam. Maryam pun mengerti siapa yang dimaksud anaknya.
”Itu bukan Cipu namanya, Syifa. Itu Oom Sipru. Mana dia?” tanya Maryam
”Ada, duduk di bale-bale depan lumah,” jawab Syifa. Gadis kecil itu tiba-tiba teringat dengan tamunya dan ia segera membalikkan diri dan berlari meninggalkan ibunya yang sedang bimbang mempertimbangkan sesuatu. 
Maryam menyusul gadis kecilnya menuju beranda rumah. Keranjang kain  ditinggalkan di bawah jemuran yang berada di sisi kiri rumahnya. Maryam melihat laki-laki yang dimaksud sedang duduk menikmati rokok di atas bale-bale bambu. Bale-bale itu sengaja diletakkannya di beranda untuk tempat duduknya ketika menikmati sore bersama gadis kecilnya.
Maryam mendehem untuk memberi tahu kehadiran pada tamu yang sebenarnya tak dikehendaki. Laki-laki itu pura-pura terkejut melihat kedatangan Maryam dan berujar, ”Eh, sudah pulang, Yam?”
Maryam mengangguk dan menarik sudut bibirnya ke atas sedikit untuk memberikan kesan tersenyum. Walau bagaimana pun ia tak ingin dianggap sebagai perempuan yang tidak tahu sopan santun dan tidak ramah. Maryam memujuk gadis kecilnya masuk ke rumah sebab ia mau bicara dengan tamu. Syifa menuruti permintaan ibunya.
”Ada perlu apa, Bang Sipru?” tanya Maryam dengan suara rendah.
”Mau mendengar kepastian dari Dek Iyam atas usulan Abang kemaren. Apa jawabanmu Dek?” tanya Sipru sambil menggeser duduknya ke arah sudut bale-bale yang diduduki Maryam.
Maryam menunduk dan berujar dengan sangat pelan,”Maaf Bang. Bukankah sudah Iyam jawab sejak pertama kali Abang bertanya. Iyam tidak bisa menerima Abang sebagai pengganti ayahnya Syifa. Sekali lagi maaf, Bang. Iyam telah mengecewakan Abang.”
”Kenapa Yam? Sudah hampir lima tahun kau menjanda. Mengapa kau tolak tawaran baikku? Apa aku tak cukup berharga bagi dirimu dan anakmu?” tanya Sipru menahan kecewa dihatinya.
Maryam semakin menunduk dan dengan terbata-bata ia menjawab,”Bu...bukan be... begitu, Bang. Iyam masih ingin sendiri membesarkan Syifa.”
”Syifa sudah mulai besar. Apa ia tidak pernah menanyakan tentang kehadiran seorang bapak di tengah kalian?” kata Sipru sambil menatap tajam ke arah Maryam. Kegusaran hatinya terlihat jelas di wajah keras laki-laki itu.
”Syifa mengerti kalau bapaknya sudah meninggal sejak ia masih dalam kandungan. Ia tak pernah bertanya tentang hal itu seolah tahu pertanyaan seperti itu akan membuat Iyam resah. Iyam masih bisa mengatasi semua ini sendiri, Bang. Jadi, Abang jangan berharap lagi. Masih banyak perempuan lain yang bisa Abang ajak kawin,” jawab Maryam dengan yakin.
Maryam kenal betul siapa laki-laki yang dihadapannya. Sipru, centeng kampung yang memiliki tiga orang istri. Sejak ia masih gadis, Sipru selalu mendekatinya dengan berbagai cara. Predikatnya sebagai centeng kampung menyebabkan hati Iyam tak tertarik sedikit pun dengannya.
”Dan satu lagi, Bang. Jangan memberikan mainan apa pun dengan Syifa jika Abang tidak memahami jenis mainan yang sesuai untuk anak itu,” perkataan Maryam kali ini menyinggung perasaan Sipru.
”Apa salahnya aku memberinya mainan. Kau kira aku orang bodoh yang tak tahu mainan apa yang cocok untuk anak-anak. Kau memang perempuan sombong. Lihatlah! Karena kesombonganmu, kau tidak memiliki kebahagian!” kata Sipru dengan nada tinggi dan untuk mengurangi emosinya yang tiba-tiba memuncak ia berjalan mondar-mandir.
”Maaf, Bang. Jika niat Abang sudah disampaikan semua, dan tidak ada yang lainnya, Iyam pamit mau menjemur pakaian,” kata Maryam dengan lembut namun tegas makin membuat emosi Sipru meningkat.
”Cih, sombongnya kau!” kata Sipru dan meludah ke samping. Sipru berlalu dengan tergesa-gesa membawa kekecewaan hatinya.
Maryam hanya memandang hampa kepergian laki-laki itu. Tidak lama, kemudian Maryam melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda karena harus melayani tamu yang tak dikehendakinya itu.
Sipru merasa sangat kecewa dengan penolakan Maryam. Penolakan yang telah berkali-kali membuat ia berpikiran ingin mencelakai. Langkah tergesa-gesa tersebut membawanya ke sebuah gubuk di pinggir hutan yang sangat dikenal oleh orang kampungnya. Gubuk yang dihuni oleh seorang dukun santet yang sangat ditakuti dan tak seorang pun berani mengusiknya.
Setelah mengetuk pintu tiga kali dan terdengar suara mendehem tanda orang yang di dalam mengetahui datangnya tamu, Sipru membuka pintu pelahan. Kepalanya menyembul dari balik pintu dan memandang sekeliling ruangan yang gelap. Matanya butuh waktu untuk membiasakan melihat dalam ruangan yang bercahaya minim tersebut.
”Siapa!” terdengar suara bentakan dari sudut ruangan.
”Aku Tok, Sipru,” jawab Sipru ragu setelah mendengar bentakan tersebut.
”Mau apa kemari?” tanya penghuni gubuk dengan intonasi yang sama keras dengan sebelumnya.
”Aku perlu pertolongan Datok. Bisakah Datok menolongku?” ujar Sipru masih berdiri di ambang pintu.
”Masuklah!” perintah Datok dengan suara parau.
Sipru masuk dengan perasaan masih ragu sebab pertama kali masuk ke gubuk yang sejak kecil ia takuti. Dengan mengumpulkan segenab keberanian, akhirnya Sipru berhasil menyampaikan maksud hatinya. Datok mendengarkan dengan seksama dan sesekali kepalanya mengangguk-angguk. Lalu ia memberikan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh Sipru dan laki-laki itu mengerti apa yang diinginkan sang Datok. Sipru berjanji akan membawa seluruh persyaratan itu nanti. Tak lama kemudian Sipru pamit meninggalkan gubuk itu dengan tergesa-gesa.
Segala persyaratan yang diminta Datok dicari dan telah dikumpulkannya. Berbagai macam kembang, benang bermacam warna, foto, kemenyan, pakaian dalam wanita dan beberapa perlengkapan lain dimasukkannya ke dalam kantong plastik. Setelah yakin tidak ada persyaratan yang tertinggal, Sipru kembali ke gubuk menemui Datok untuk segera menjalankan ritual yang akan mewujudkan keinginannya membuat Maryam gila.
Ritual aneh yang dilakukan Datok membuat bulu kuduk Sipru berdiri. Ia merasakan kehadiran makhluk gaib di sekitarnya. Dalam diam Sipru berharap ia tidak celaka dengan keinginannya itu. Di benaknya, makhluk gaib yang mengelilinginya tiba-tiba gusar dan mencekik lehernya beramai-ramai. Sipru seperti orang yang benar-benar tercekik dan ia berguling-guling di lantai. Sipru berusaha melepaskan cekikan tersebut dengan meronta dan melakukan perlawanan.
Sebuah tepukan di bahu menyadarkan dirinya. Dengan nafas terengah-engah ia berusaha duduk kembali. Ia memandang tak mengerti. Jika Maryam yang ingin dicelakainya, mengapa ia yang merasakannya.
”Aku kirim jin jemalang untuk buat orang yang kau maksud menjadi gila, mengapa pula sebelum terlaksana kau bertingkah seperti orang gila?” tanya Datok sambil menepuk bahunya.
”Entahlah, Tok. Jangan-jangan jin yang Datok kirim salah orang,”jawab Sipru.
”Hah? Mana pernah salah orang? Potonya jelas. Sama sekali tak mirip muka kau yang buruk itu,” jawab Datok dengan gusar,”Sekarang pulanglah. Mulai besok, perempuan tu akan berteriak-teriak menjelang tengah hari dan tengah malam.”
Sipru mengangguk dan ia menyelipkan beberapa lembar ratusan ribu ke tangan Datok. Kemudian Sipru keluar dengan perasaan ngeri yang luar biasa karena merasa telah mengalami hal gaib yang membuat dirinya merinding. Jika meninggalkan gubuk ia tergesa-gesa, mulai memasuki jalan desa Sipru mengendap-endap takut ada saksi yang melihat ia keluar dari gubuk dukun santet yang sangat ditakuti warga kampungnya.
Sehari dua hari, reaksi perdukunannya belum terlihat. Maryam masih saja melenggang berjalan di pasar atau jalan menuju sungai tempat ia biasa mencuci kain. Maryam masih saja duduk dengan tenang kala matahari pas dipuncaknya. Sipru merasa ia telah ditipu oleh dukun santet jelek yang ditemuinya. Ia berencana akan kembali menemui dukun tersebut keesokan harinya.
Tengah malam, orang yang ronda mengetuk kentungan berkali-kali, tanda ada peristiwa yang tidak diinginkan terjadi. Sipru yang masih bermain judi di salah satu warung ikut berlari menuju pos ronda. Orang telah ramai berkumpul, kemudian mereka bergerak menuju rumah Maryam. Informasi dari pemuda yang ronda, mereka mendengar teriakan dari rumah Maryam.
Sesampai di depan rumah Maryam, keheningan yang mereka dapati. Mareka saling berpandangan dan kemudian pandangan mereka beralih pada pemuda yang menyampaikan informasi tersebut. Sebelum sempat kepala kampung bertanya, tiba-tiba teriakan panjang dan menyayat terdengar dari dalam rumah.
Pintu rumah yang terkunci didobrak oleh warga yang berkumpul. Di tengah ruangan terlihat Maryam berlutut memegang kepalanya dan membenturkan ke lantai. Mulutnya berceloteh seperti orang yang sedang mengigau, kemudian jeritan panjang keluar dari mulutnya. Warga kampung yang terdiri dari bapak-bapak berusaha memegangnya. Maryam meronta-ronta dan mengeluarkan kata-kata aneh. Maryam kesurupan, demikian anggapan mereka. Enam orang bapak tidak mampu memegang Maryam.
Syifa gadis kecil Maryam meringkuk ketakutan di dalam kamar. Tubuh kecilnya menggigil dan masih terus menggigil ketika Mak Ode tetangga mereka merangkulnya. Gadis kecil itu begitu ketakutan melihat ibunya yang kesurupan. Akhirnya Mak Ode memutuskan membawa Syifa ke rumahnya, sementara Maryam masih menyeracau tak keruan dan sesekali berteriak panjang.
Berjam-jam Maryam bertingkah aneh begitu. Menjelang subuh, akhirnya ia terlelap dengan sendirinya di lantai. Kapala kampung memerintahkan istri-istri aparat kampung untuk menemani Maryam hingga pagi dan terbangun dengan sendirinya. Mereka dilarang menyentuh Maryam yang sudah terlelap di lantai.
Pukul sembilan pagi Maryam terbangun dan ia terheran-heran mendapati dirinya terbaring di lantai ruang tengah.
”Syukurlah. Kau sudah sadar, Maryam,” kata istri kepala kampung.
”Ada apa Mak? Kenapa Iyam tidur di lantai? Kenapa emak-emak berkumpul disini?” tanya Maryam masih kebingungan. 
”Kau kesurupan malam tadi, Yam. Kau berteriak-teriak dan menyeracau tak keruan,” Mak Ode berusaha menjelaskan.
”Syifa, mana?” tanya Maryam mencari anaknya dengan pandangan.
”Dia di rumah Mak, Yam. Jangan kau cemaskan. Dia baik-baik saja. Ini teh hangat, silahkan minum dan makanlah barang sedikit,” ujar Mak Ode sambil mendekatkan cangkir teh ke bibir Maryam yang duduk termangu.
Maryam masih terlihat bingung. Tiba-tiba kepalanya merasa sakit yang luar biasa. Ia mengeluh dan memegang kepalanya,”Aduh Mak, kepala Iyam sakit sekali.”
Ibu-ibu yang lain berkumpul di sekitar Maryam. Semua memperlihatkan rasa simpati yang luar biasa. Maryam adalah perempuan yang sangat disegani oleh mereka karena ketabahan dan kedermawanannya. Maryam yang ketika baru menikah seminggu tiba-tiba harus menerima kenyataan bahwa suaminya meninggal dalam sebuah kecelakaan di kota. Dengan ketabahannya Maryam menerima kabar tersebut dan dengan ketabahannya pula ia mengandung anak suaminya seorang diri tanpa ditunggu oleh sanak saudaranya yang jauh merantau. 
Mertua Maryam telah berkali-kali memujuknya untuk tinggal bersama mereka di kota. Namun Maryam lebih memilih tinggal di kampung bersama warga yang selama ini telah dianggapnya sebagai saudara. Maryam selalu menerima kiriman yang lebih dari cukup untuk hidupnya sehari-hari di desa. Kiriman dari mertuanya yang kaya raya digunakannya untuk memberdayakan usaha warga kampung. Selama hampir lima tahun telah tampak perkembangan kampung tempat tinggalnya. Semua itu berkat kedermawanannya.
Selama hidup berdua dengan anaknya, Maryam hampir tidak pernah mengeluh sakit. Ia selalu ceria dan menyapa warga kampung yang ditemuinya dimana saja. Ketika ia bertingkah aneh seperti orang kesurupan, hampir semua warga kampung prihatin dan mendoakannya. Hanya satu orang yang merasa puas, yaitu Sipru. Sipru puas sakit hatinya terbalas. Bila cinta ditolak, maka dukun yang bertindak, demikian Sipru berpendapat.
Siang itu kembali Maryam kehilangan kesadaran. Ia berteriak-teriak dan berusaha membenturkan kepalanya di dinding. Ibu-ibu yang sejak subuh menunggunya kalang kabut dan memanggil perangkat kampung untuk memegang Maryam yang terus meronta.
Dokter puskesmas datang untuk melihat kondisi Maryam dan berusaha memberi suntikan penenang. Maryam bukan hanya meronta, ia juga mahir melompat dan memukul. Dokter muda yang telah siap-siap menyuntiknya menjadi sasaran pukulannya. Dengan meringis menahan sakit, dokter memerintahkan warga lainnya memegang Maryam beramai-ramai mengingat tenaga Maryam menjadi berlipat ganda. Akhirnya Maryam berhasil diberi suntikan penenang dan setengah jam kemudian ia tertidur.
Telah berhari-hari kondisi Maryam semakin memprihatinkan. Waktu sadar Maryam makin sedikit. Bila awalnya kesurupan berlangsung dua sampai tiga jam sehari, makin lama waktu kesurupan pun makin panjang. Kadang ia lupa dengan Syifa gadis kecilnya yang selalu ketakutan menyaksikan bundanya berteriak dan meronta.
Kepala kampung mengadakan rapat dengan aparatnya tentang kondisi Maryam dan mencari solusi yaitu langkah apa yang akan diambil untuk menolongnya. Beberapa orang menyarankan agar Maryam dibawa ke dukun untuk mengusir jin yang mengganggunya. Saran itu langsung ditolak oleh pemuka adat dan agama. Mereka lebih menyukai bila Maryam dibawa ke kota untuk dirukyah oleh ahlinya.
”Begini saja, pertama, kondisi Maryam harus kita kabarkan pada mertuanya. Kedua, kita tunggu pendapat mertuanya. Ketiga, sementara itu, Mak Ode tolong jaga dan rawat Assyifa,” demikian akhirnya keputusan kepala kampung.
Orang tua Andhika yang masih dianggap mertua Maryam segera ke kampung begitu mendengar kabar dari warga yang menelponnya. Maryam mereka dapati dalam keadaan terikat di tempat tidur puskesmas. Keadaannya sangat memprihatinkan. Dokter puskesmas menyarankan agar Maryam dibawa ke rumah sakit besar untuk dilakukan scanning bagian kepala sebab keluhan Maryam selalu berawal dari rasa sakit yang amat sangat di kepalanya.
Maryam dan Syifa dibawa ke kota. Maryam langsung dibawa ke rumah sakit dan diperiksa kondisinya. Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan berulah diketahui bahwa ada jaringan yang tumbuh tidak normal di otaknya dan mempengaruhi jalan pikirannya sehingga diantara rasa sakit yang luar biasa Maryam berhalusinasi diserang oleh sekelompok orang yang tidak dikenalnya.
Berbulan-bulan Maryam dirawat di rumah sakit dan kondisinya makin membaik. Sesekali warga kampung menjenguknya di kota. Kemudian menyampaikan kemajuan pengobatan Maryam pada warga lainnya. Mereka gembira karena Maryam sudah mulai membaik. Hanya satu orang yang marasa tidak senang karena masih menyimpan dendam kesumat pada Maryam. Mendengar kondisi Maryam yang semakin membaik, Sipru berencana menemui Datok dukun santet yang terasing itu.
Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Sipru langsung menerobos ke gubuk tua di pinggir hutan yang dulu pernah didatanginya berbulan yang lalu. Ia langsung duduk bersimpuh dihadapan Datok yang masih duduk di sudut ruangan yang sama dengan tempat ia duduk ketika pertama kali ditemui oleh Sipru. Datok masih kelihatan tertidur dalam duduknya. Sipru menunggu dengan perasaan tak sabar.
Lenguhan panjang mengagetkan Sipru. Ia melihat wajah keriput dan kotor Datok bergerak-gerak, dan mulutnya menguap dengan lebar menebarkan bau busuk yang membuat mual perut Sipru. Sipru meludah ke samping tempat duduknya.
”Datok,” panggil Sipru.
”Hmm...,” dengan malas Datok membuka matanya.
”Aku minta tolong lagi untuk menyengsarakan Maryam. Kalau bisa kali ini Datok buat mati saja dia,” tutur Sipru dengan kesumat yang tidak kunjung padam.
”Uh, kejam nian. Jampi-jampi apa yang kau inginkan,” tanya Datok
”Buat dia mati, Tok!” perintah Sipru.
”Mati ya? Baiklah. Merapat kau sikit,” Datok melambaikan tangannya menyuruh Sipru mendekat kepadanya. Sipru mendekat sambil menahan nafas. Alangkah baunya orang tua itu.
”Hai, penguasa hutan, raja segala jemalang. Datang kat sini bawa jompa jampi, puah sakali puah, sakali cuah, tar gedotarrrrrrr, bolang baling pikir sinting jamaling. Puah, puah,” Datok masih terus membacakan jampi-jampi untuk memanggil jin pencabut nyawa.
Sipru terkejut melihat mulut Datok mengeluarkan busa. Kemudian tubuh Datok bergetar hebat dan seperti tercekik lehernya, mata Datok terbeliak. Kejadian itu berlangsung cepat. Dan kemudian tubuh Datok terkulai lemas tak berdaya, namun masih dalam posisi duduk. Sipru menunggu reaksi selanjutnya. Setengah jam, tidak ada reaksi apa-apa dari Datok. Sipru mulai kuatir. Jangan-jangan orang tua itu yang mati, bukan Maryam seperti permintaannya. Ajiannya berbalik menyerang diri Datok.
”Datok....,” panggil Sipru. Yang di panggil diam tidak menyahut.
”Datok,” sekali lagi Sipru memanggil dan ia menyentuh tubuh yang terkulai. Begitu disentuh, tubuh Datuk langsung rebah ke samping dan gemirincing suara besi beradu terdengar dari kakinya yang bersila.
Sipru melihat ke arah kaki Datok. Kedua pergelangan kakinya dilingkari oleh rantai yang cukup besar. Sipru heran dan makin mendekat meneliti Datok yang dianggapnya sakti itu. Ternyata benar, Datok telah menghembuskan nafas terakhirnya setengah jam yang lalu setelah ia berkelenjotan sakratul maut.
Dari luar rumah terdengar langkah orang. Sipru kebingungan hendak bersembunyi. Sebelum sempat ia berdiri mencari persembunyian, pintu gubuk tersebut dibuka oleh seseorang. Orang tersebut terkejut dan bertanya,”Siapa disitu?”
”Aku, Sipru. Datok sudah meninggal,” jawab Sipru kebingungan.
Orang itu menarik nafas panjang,”Akhirnya, berakhir juga penderitaan bapakku.”
”Bapakmu? Siapa dia?” tanya Sipru tak mengerti dan ia tidak mengenal orang itu.
”Dia bapakku. Kami dulu tinggal di kampung sebelah. Tapi sejak bapak tidak waras karena obsesinya menjadi dukun terkenal, kami menahannya disini karena tempat ini yang disukainya. Setiap hari kami bergantian datang mengurusnya. Begitulah selama bertahun-tahun. Agar dia tidak mengganggu orang lain, kami terpaksa mengikatnya dengan rantai,” demikian penjelasan orang tersebut.
Sipru menelan ludahnya yang tiba-tiba terasa pahit. Ternyata selama ini ia minta tolong pada orang gila. Dan ia merasa marah dan malu sekali sebab Maryam sakit bukan karena santet yang dimintanya tapi memang karena ada penyakit di kepalanya seperti yang dikabarkan warga kampung. Jauh di lubuk hatinya, ada sebentuk penyesalan yang mulai menyamarkan dendam kesumatnya terhadap perempuan yang telah berkali-kali menolak cintanya. Ia sadar tidak selayaknya ia berpendapat ’cinta ditolak dukun bertindak,’ toh Maryam masih saja menolaknya hingga saat ini. Itulah kenyataan pahit yang harus diterimanya.
Sipru pulang dengan perasaan galau. Semua rasa bercampur aduk dihatinya. Marah, kesal dan malu pada kebodohannya yang mencari dukun santet untuk mengatasi masalah. Untung tidak ada warga kampung yang tahu dengan kebodohannya tersebut sehingga kewibawannya masih terjaga dan ia masih dapat mempertahankan predikatnya sebagai centeng kampung. Ia bertekad akan berusaha merubah perangainya yang tidak tidak disenangi warga kampung dan ingin menjadi pahlawan sungguhan seperti Robin Hood, centeng yang disayangi.

Jumat, 24 Juni 2011

SERIBU WAJAH CINTA


Om Pes telah terlelap dengan dengkuran berirama khas. Laki-laki itu tertidur kelelahan di sisi Chyntia. Chyntia mendorong tubuh gemuk laki-laki itu sedikit agar posisi tidurnya miring untuk mengurangi suara bising yang ditimbulkan oleh dengkurannya. Usaha itu berhasil dan suara dengkur itu mulai berkurang. Chyntia menarik nafas panjang dan menatap plafon kamar tidur hotel mewah yang berwarna putih bersih itu. Pikirannya menerawang seketika.
Chyntia bangkit dan dengan ringan melenggang menuju kamar mandi. Perlengkapan mandi telah tersedia dan Chyntia mulai membersihkan dirinya dengan menggunakan antiseptik untuk menjaga agar kuman tidak mudah masuk ke tubuhnya. Ia mengusap pelahan kulitnya dengan spons yang telah ditetesi antiseptik. Berkali-kali ia mengulang membilas tubuhnya. Rasanya tetap belum bersih. Akhirnya ia menyudahi mandinya dan segera berpakaian.
Arloji yang melingkar manis di pergelangan tangan Chyntia menunjukkan pukul empat sore. Om Pes masuh pulas di tempat tidur. Chyntia tak ingin mengusiknya. Ia menulis di secarik kertas,’Saya pulang dulu. Makasih.’
Chyntia meninggalkan lobi hotel dengan tergesa-gesa seperti sedang dikejar sesuatu. Di dalam taksi yang mengantarnya barulah Chyntia bernafas lega seperti terbebas dari sesuatu yang menakutkan. Hp-nya berbunyi, tanda ada pesan yang masuk.
Pengirim pesan tidak dikenal. Bunyinya,’Jika kamu tidak memilihku, maka tak satu orang pun dapat memilikimu.’ Alis mata Chyntia bertaut tanda ia sedang berpikir keras dengan menduga-duga siapa pengirim pesan tersebut.
”Uh, tak penting banget!” Chyntia menggerutu sendiri.
Sesampai di kamarnya, Chyntia kembali menerima sebuah pesan singkat,’Lihat chanel TV mu sekarang!’
Chyntia mulai kesal. Tapi ia mengikuti perintah sms tersebut dan segera menyalakan televisi. Beberapa kali ia pindah chanel, tidak ada yang istimewa. Akhirnya ia meninggalkan televisi dalam keadaan menyala dan mengganti pakaiannya.
”Seorang pejabat ditemukan tewas di kamar hotel.....,” sebuah berita yang terkilas dipendengaran Chyntia dan membuat dadanya berdebar kencang. Chyntia segera melihat dan mendengarkan dengan seksama.
”Oh!” jerit tertahan keluar dari mulut Chyntia. Berita itu amat mengagetkannya sebab Om Pes yang baru saja ditinggalkannya, mati dengan kondisi mengenaskan. Lehernya digorok, mukanya digurat dan darah membasahi tempat tidur.
Pikiran Chyntia bekerja cepat. Ia segera mengemasi pakaiannya dan memasukkannya ke dalam ransel semuatnya. Dengan bergegas dia meninggalkan rumah dan segera menuju ATM terdekat untuk mengambil uang. Ia menarik sebanyak lima kali dengan total 10 juta rupiah. Kemudian ia melaju meninggalkan ibukota.
Chyntia begitu ketakutan. Pegawai hotel pasti mengenalnya dan ia adalah orang terakhir bersama korban. Sudah tentu ia akan dijadikan tersangka utama. Chyntia tak sanggup membayangkan ia akan ditahan dan diintrogasi bahkan sangat mungkin mengalami penyiksaan. Berhari-hari Chyntia berpindah-pindah tempat bersembunyi. Dalam persembunyiannya ia berusaha mengingat siapa diantara pelanggannya yang paling mungkin melakukan hal tersebut. Tidak ditemukan jawabannya membuat Chyntia makin frustasi. Begitu banyak yang menyatakan cinta padanya walau cuma sesaat.
Dalam pelarian yang melelahkan dan menyiksa batinnya, Chyntia teringat tempat mengadu yang dulu sewaktu kecil diajarkan guru agamanya. Tuhan, itulah tempat sebaik-baiknya insan mengadukan nasibnya. Kebingungan membuatnya memasrahkan diri dan mencoba kembali menjalankan ritual yang telah lama ditinggalkannya sejak ia merasa begitu malu dihadapan Tuhan sebab kekotoran dirinya sebagai wanita panggilan.
Chyntia menangis tersedu-sedu menengadahkan tangannya memohon ampunan dan meminta pertolongan. Permintaannya tak berjawab. Namun ia tahu Tuhan sedang menegur dan memberi peringatan keras padanya. Akhirnya, ia tak tahan dengan siksa batin yang dideritanya selama pelarian. Chyntia menyerahkan diri ke kantor polisi terdekat.
Selama dalam tahanan beberapa kali Chyntia dipindahkan. Chyntia menyangkal tuduhan yang ditujukan kepadanya. Namun tampaknya tidak ada yang mau percaya dengan perkataannya. Tuduhan tertuju padanya tanpa terlihat kemungkinan untuk membela diri dengan pembuktian.
Penjara bukan tempat impian siapa pun. Penjara, seperti imej yang tertanam di kepala Chyntia adalah tempat yang begitu kejam dan penuh kekejian. Meskipun belum divonis bersalah, Chyntia yang harus mereguk pahitnya penjara tidak dapat menolak nasibnya. Profesinya sebagai penjaja cinta dijadikan lecehan oknum dan beberapa kali ia diperkosa oleh mereka. Tidak ada seorang manusia pun, walaupun ia pelacur, yang dengan senang hati menerima pemerkosaan yang dilakukan atas dirinya. Chyntia berteriak, berontak, namun mereka tidak peduli. Benar-benar keji perlakuan mereka.
Sejak menjadi tahanan polisi, tak seorang pun menjenguknya. Chyntia mendekam sendirian tanpa dipedulikan oleh keluarga atau sanak keluarga. Chyntia sejak kecil telah yatim piatu dan dirawat oleh bibi satu-satunya. Ketika ia beranjak remaja, pamannya amat tertarik pada kemolekan tubuhnya dan hampir setiap hari membisikkan kata cinta. Ketika tiba-tiba ia hamil, bukan pembelaan yang diperoleh dari bibinya, Chyntia malah disiksa, diinjak dan ditendang hingga mengalami pendarahan hebat. Hidup masih melekat dibadannya dan ia diselamatkan oleh seseorang dari penderitaan tersebut.
Mamah Ami mengangkatnya menjadi anak. Chyntia di sekolahkan kembali hingga menamatkan SMA yang sempat terbengkalai. Profesi mamah sebagai wanita panggilan akhirnya menular padanya. Awalnya mamah menentang keinginannya tersebut, namun penyakit kotor yang menggerogoti mamah menyebabkan hilang mata pencariannya. Untuk bertahan, Chyntia memutuskan meneruskan profesi mamah setelah berkali-kali lamaran pekerjaannya ditolak.
Sedikit berbeda dari mamah, Chyntia yang berparas cantik dengan kulit putih bersih memiliki langganan orang-orang penting dari golongan atas. Meskipun berbeda karakter langganannya, tetap saja Chyntia disebut penjaja cinta. Beribu macam bentuk cinta ditemuinya, namun tidak satu pun melekat dihatinya. Semuanya hanya cinta semu sesaat saja. Profesi itu telah dijalaninya selama bertahun-tahun.
Telah beberapa bulan Chyntia menderita dalam tahanan. Tubuhnya semakin kurus dan wajahnya makin cekung, namun kecantikannya masih belum memudar. Ia mencoba untuk bertahan dan tabah menjalani hari-hari yang penuh siksa batin. Suatu hari ia menerima kiriman makanan dari orang yang tak dikenalnya. Ia membuka rantang yang diberikan kepadanya dengan hati-hati. Pada tempat paling atas ia temukan sebuah surat tanpa nama pengirim. Surat itu dibukanya dan ia mulai membaca.
’Jika kamu dari dulu setuju menjadi simpananku tanpa ikatan, maka nasibmu tak akan berakhir begini. Sekarang kuberi kesempatan terakhir padamu. Bila kamu mengikuti keinginku itu maka aku akan menyewa pengacara handal untukmu, dan kebebasan di depan matamu.’
Chyntia terkesiap. Dia tahu siapa orang ini. Hanya satu orang pernah memintanya menjadi simpanan tanpa ikatan perkawinan. Orang itu tak akan menikahinya walaupun hanya nikah siri. Ya, Tuhan... berarti orang inilah yang melakukan pembunuhan keji itu dan melimpahkan kesalahan padanya. Chyntia tak lagi mempedulikan makanan yang dikirimkan tersebut. Rantang itu diberikannya pada seorang teman baru yang kebetulan telah beberapa hari ini ditahan karena kesalahan yang hampir sama dengannya, pembunuhan.
Doanya selama ini terjawab. Setiap malam Chyntia berdoa agar diberi petunjuk oleh Tuhan tentang pembunuh sebenarnya. Petunjuk itu sudah datang. Sekarang tinggal bagaimana memanfaatkan petunjuk yang minim untuk mengumpulkan bukti bahwa ia tak bersalah. Chyntia memeras otak untuk menemukan jalan yang terbaik.
Waktu kunjungan pengacara dimanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Ia memperlihatkan surat yang baru saja diterimanya, dan menceritakan kecurigaannya terhadap seseorang. Selain itu, Chyntia juga teringat Hp nya yang terjatuh di bawah tempat tidur ketika ia bergegas melarikan diri tempo hari. Di dalam Hp itu tersimpan pesan dari orang yang sama menjelang pembunuhan tersebut terkuak dan disiarkan media massa. Sementara Hp yang disita polisi ada satu sms lagi yang dikirimnya. Pengacara Chyntia berjanji menguak misteri tersebut hingga tuntas. Ia akan mengusahakan semaksimal mungkin.
”Tapi hati-hati Amu, orang itu sangat berpengaruh. Tidak mudah mencari bukti, bahkan mungkin semua bukti telah dihilangkannya dan ia telah menyediakan alibi yang kuat agar ia tak tersentuh hukum,” kata Chyntia mengingatkan pengacaranya.
”Sudah tentu saya akan ekstra hati-hati setelah mengetahui siapa dia. Kamu yang tabah ya. Apakah masih terjadi pelecehan lagi terhadap dirimu?” tanya pengacara muda itu dengan penuh perhatian. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa hati pemuda itu telah terpaut pada wanita cantik yang sedang dibelanya.
”Tidak. Sejak kamu melaporkannya, tidak ada yang berani kurang ajar denganku lagi. Terima kasih Amu,” jawab Chyntia. Waktu membatasi mereka dan pengacara muda itu meninggalkannya. Sebelum meninggalkan Chyntia, masih sempat sang pengacara menatapnya lembut, menggenggam tangannya dan memberi kata-kata penyemangat.
Belum lama pengacara meninggalkannya, Chyntia dipanggil kembali sebab ada tamu untuknya. Chyntia heran sebab selama ditahan ia belum pernah menerima tamu selain pengacaranya. Tamu yang dimaksud sama sekali tidak dikenalnya tapi kepada penjaga ia mengaku kerabat Chyntia.
”Maaf, anda siapa?” tanya Chyntia.
”Saya Arol, bu. Saya disuruh menunggu jawaban ibu,” jawab tamu itu dengan sopan.
”Jawaban apa?” tanya Chyntia lagi.
”Kiriman makanan tadi, bu,” jawab tamu itu sambil menunduk, mungkin seperti kebiasaan di rumah majikannya.
”Hmm, katakan pada pak Bing, beri waktu saya untuk berpikir,” kata Chyntia dan ia sengaja menyebut nama itu dan mengamati reaksi sang tamu
”Baik, bu. Nanti saya sampaikan dengan bapak,” tamu itu kemudian pamit. Jawaban tamu itu makin menguatkan dugaan Chyntia terhadap orang yang menfitnahnya sedemikia rupa.
Proses berjalan terus. Chyntia benar-benar memasrahkan diri pada sang pencipta yang memiliki dirinya. Dalam tahanan ini, ia merasakan telah menemukan cinta sejati. Cinta yang begitu indah dan tak pernah melecehkannya, menyakitinya apalagi menyiksanya. Ia selalu dikunjungi setiap dirinya membutuhkan. Setiap waktu ia bebas berkeluh kesah pada kekasih hatinya itu. Walau sepertinya hanya mendengarkan saja, jauh dilubuk hatinya, Chyntia selalu mendengar panggilan sayang dan nasehat-nasehat melalui surat yang telah sejak lama dipersiapkan oleh kekasih untuk dirinya.
Sejak Chyntia menemukan kekasih hatinya dalam bentuk cinta yang kian hari kian menggunung, Chyntia tak pernah lagi berpikir tuk kembali pada cinta lamanya yang tampil dalam seribu bentuk yang asing baginya. Ia tak ingin berpaling kebelakang dan berniat melupakan masa lalunya dan membuka lembaran baru dengan kekasih pilihan hatinya. Kekasih yang amat mengerti dan menyayanginya
Chyntia tak pernah merasa malu atau takut untuk menceritakan kebobrokan masa lalunya pada sang kekasih karena tanpa diceritakan secara mendetail pun kekasihnya telah lebih mengetahui dibanding dirinya sendiri. Hidup Chyntia mulai bergairah kembali. Ketegaran yang diperlihatkannya memang luar biasa. Tak pernah sekali pun ia absen menghadiri sidang bahkan tak pernah ada alasan sakit untuk menunda sidangnya.
Siang ini adalah pembacaan putusan atas tuduhan pembunuhan yang tidak pernah dilakukannya. Chyntia berdiri dengan tegar mendengar hakim membacakan putusan. Dalam hati, tak putus-putusnya ia mohon perlindungan dan keadilan dari Tuhan. Dan akhirnya putusan itu telah jatuh. Chyntia dinyatakan tidak bersalah dalam hal pembunuhan yang dimaksud dan dengan pernyataan tersebut nama baiknya dipulihkan kembali, serta negara harus membayarnya selama masa tahanan.
Air matanya turun tanpa dapat dicegah ketika mendengar putusan tersebut. Perjuangan panjang yang dilalui untuk membuktikan fitnah telah menimpa dirinya ternyata berbuah manis. Bahkan yang teramat manis, melebihi dari segala manisan di muka bumi ini adalah rasa cinta yang mendalam pada kekasih hati yang ditemuinya ketika ia menjalani proses tersebut.
Amu, pengacara muda itu mendekati Chyntia dan demi kepatutan ia mengulurkan tangan memberi selamat. Jika mengikut hatinya, ia ingin memeluk wanita itu karena gembiraan yang meledak meletup atas keberhasilannya membela Chyntia. Keberhasilan yang membuat namanya sebagai pengacara makin terangkat dan yang lebih penting ia berhasil menyelamatkan wanita yang akhir-akhir ini mengusik hatinya.
”Selamat Tia. Semoga kamu bahagia dengan keputusan ini,” ucap Amu dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.
”Terima kasih Amu. Semua juga berkat perjuanganmu. Terima kasih karena mempercayaiku dan mengusahakannya untukku. Aku permisi dulu sebentar. Nanti kamu kutemui lagi,” ujar Chyntia yang telah lepas dari ketegangannya menunggu putusan dan senyum juga menghiasi wajahnya.
”Mau kemana?” tanya Amu keheranan sebab setahunya Chyntia tidak ada tempat yang akan didatangi selain kembali ke rumahnya.
”Menemui kekasihku dulu,”jawab Chyntia sambil tersenyum aneh.
”Kekasih?” Amu semakin heran,”Dimana kekasihmu itu?”
”Tidak jauh kok. Di mushalla belakang. Kamu dapat menungguku disini jika kamu mau. Atau ikut serta denganku, jika kamu menginginkannya,” jawab Chyntia sambil membuka tasnya yang berisi mukena.
Mengertilah Amu siapa yang dimaksud,”Aku akan menyertaimu, namun izinkan aku memintamu untuk menjadi pengikutku, berdiri di baris belakang diriku.”
Mereka tersenyum dan beriringan keluar ruang sidang yang telah sunyi ditinggalkan sejak tadi. Siang yang penuh rahmat dan keberkahan bagi ummat yang tahu bersyukur. Dan kumandang azan siang itu memanggil mereka untuk bertemu dengan sang penentu nasib. Bagi Chyntia, ia telah mantap memutuskan untuk mengajukan diri menjadi kekasih Sang Pencipta karena cintanya tumbuh dalam lingkup kasih sayang yang tak berbatas. Dan cintanya itu kian hari kian membesar hingga tak bisa terukur lagi, hanya pada Tuhan yang maha pengasih dan maha penyayang.
  

Minggu, 19 Juni 2011

PILIHAN HATI


Nasabah yang berurusan lumayan banyak, bahkan lebih banyak dari biasanya. Nomor antri untuk ke costumer service hingga lepas tengah hari telah mencapai 120 orang. Dua orang CS yang melayani agak kewalahan sebab sebagian besar dari nasabah membuka rekening baru yang membutuhkan waktu lebih lama bila dibandingkan permintaan pengecekan saldo rekening. Satpam sejak sepuluh menit yang lalu menghentikan pemberian nomor antrian sebab sudah menjelang waktu tutup pelayanan nasabah.
“Silahkan, Pak. Apa yang bisa saya bantu?” tanya Wenny pada nasabah terakhir.
Wenny masih menebarkan senyum manisnya walau kelalahan terlihat dari parasnya yang manis. Baginya kesibukan seperti ini merupakan hiburan perintang waktu yang akhir-akhir ini membuatnya resah bila dilewati dengan berdiam diri. Hanya kesibukan yang dapat membuatnya lupa akan persoalan hati yang menghimpitnya.
Setelah jam kerjanya berakhir, Wenny masih betah berdiam diri di ruangan tersebut. Meskipun sudah tidak ada pekerjaan lagi namun ia menunggu rekan terakhirnya pulang. Bahkan jika akhir bulan ia pulang hingga jam 10 malam menunggu bagian akunting menyiapkan laporan bulanan.
“Baru pulang, Wen?” tegur ibu ketika membukakan pintu untuknya.
“Iya, Bu,” jawab Wenny, “Wenny capek, mau langung mandi aja. Gerah, Bu.”
“Cepat mandinya, ya. Kami tunggu di meja makan. Ibu masak asam pedas baung, kesukaanmu,” kata ibunya.
Wenny mengangguk dan tersenyum. Kemudian ia langsung menghilang di balik pintu kamarnya. Akhir-akhir ini ia berusaha menghindari orang tuanya. Ia tak ingin mendengar pertanyaan ibunya tentang hubungan asmaranya dengan Heri. Ibu meminta Wenny segera mengakhiri hubungan tersebut. Hal itulah yang mengganggu pikirannya dua bulan belakangan ini hingga Wenny memilih tenggelam dalam pekerjaannya dari pada berenang di air mata ibu yang memohon untuk melupakan kekasihnya.
”Wen...,” panggil ibunya,”cepatlah keluar dari kamarmu. Kita makan dulu, nanti maagmu kambuh. Sudah terlalu malam ini.”
Wenny sejak tadi telah selesai mandi dan duduk melamun di tepi ranjang. Dengan  malas ia bangkit dari duduknya dan keluar menuju ruang makan. Ibu dan ayahnya sudah duduk menunggunya. Wenny duduk dan menunggu orang tuanya menyendok nasi. Ia makan dengan diam dan seolah-olah sedang menikmati makanannya.
”Bagaimana kabar Heri, Wen?” ibunya mulai membuka pembicaraan.
”Mungkin dia baik-baik saja, Bu.” jawab Wenny sekenanya,”Sudah seminggu ini Wen tidak kontak dengannya.”
”Apa kamu sudah mengatakan tentang keputusan yang harus kamu ambil?” tanya ibu sambil menatap Wenny penuh selidik.
Wenny menggeleng dan berkata,”Belum, Bu. Wen tidak tega. Bukankah dari awal perkenalan bang Heri sudah mengatakan mencari calon istri, dan Wen mengajukan diri untuk itu. Wen masih belum  bisa mengatakannya, Bu.”
”Jangan ditunda-tunda lagi, nak. Lebih cepat lebih baik agar dia bisa mencari orang lain dan tak berharap denganmu. Manado itu sangat jauh, sayang. Tak mungkin kamu ikut kesana. Tegakah kamu meninggalkan kami yang sudah tua ini?” kata ibunya dengan mata berkaca-kaca tanda tangis akan pecah bila Wenny tidak segera mengikuti kemauannya.
Wenny menarik nafas panjang. Alangkah berat beban perasaannya kali ini. Ia amat mencintai Heri, namun di sisi lain orang tua yang terlebih dahulu dicintainya menyuruh Wenny untuk menjauhi laki-laki yang dicintainya hanya karena alasan jarak yang amat jauh terbentang diantara mereka.
”Akan Wen usahakan secepatnya, Bu. Berilah Wenny sedikit waktu lagi,” jawab Wenny pelan dan sambil menahan hatinya yang tiba-tiba terasa sakit seperti ditusuk ribuan jarum halus.
”Ingat nak, ridhonya Tuhan tergantung dari ridhonya orang tua,” tegas ayahnya dan kalimat itu selalu menjadi senjata bagi mereka untuk memaksakan kehendak.
Setelah mengemaskan meja makan, Wenny pamit untuk segera beristirahat sebab ia merasa lelah dan esok hari harus masuk kerja pukul tujuh pagi. Wenny segera masuk kamar dan kemudian menumpahkan tangis yang sejak tadi ditahannya. Ia menangis sejadi-jadinya dengan bersidekap pada bantal guling agar isaknya tak terdengar keluar. Ia meratapi nasib cintanya yang tak pernah direstui orang tua.
Dulu, enam tahun ia menjalin kasih dengan Ferdi. Hanya karena Ferdi menggeluti bidang musik, yang menurut orang tuanya tidak memiliki masa depan, Wenny disuruh untuk melupakan cinta pertamanya itu. Wenny berontak dan lari dari orang tuanya dengan cara pindah kos tanpa memberitahukan mereka. Ketika itu Wenny masih kuliah dan tinggal di kota yang berbeda dengan orang tuanya.
Dalam pelariannya, Wenny sakit keras hingga teman sekamarnya terpaksa menghubungi orang tuanya. Akhirnya Wenny dijemput dan orang tuanya merawat dengan kasih sayang siang dan malam. Hati Wenny begitu menyesal telah mengabaikan perintah orang tua sehingga Tuhan menegurnya dengan menimpakan musibah tersebut.
Setelah sembuh, Wenny kembali meneruskan kuliahnya yang sempat terbengkalai. Setahun lebih skripsinya tak disentuh hingga ia harus mengganti judul dan mengulang dari awal kembali. Ia bertemu dengan Heri pertama kali melalui internet. Heri begitu baik dan penuh perhatian. Heri memberinya semangat untuk segera menyelesaikan kuliahnya.
Awal perkenalannya, Heri berterus terang sedang mencari calon istri dari kampungnya yang mau dibawa ke Manado tempat ia ditugaskan. Wenny yang terlanjur menyukai perhatiannya akhirnya bersedia menjadi kekasih Heri setelah terlebih dahulu mohon izin dari orang tuanya karena tak ingin peristiwa lama terulang kembali kelak.
Orang tua Wenny mengizinkan, bahkan reaksi mereka terhadap Heri memperlihatkan bahwa mereka menyukai pilihan anaknya itu ketika Heri menemui mereka lebaran tahun lalu. Wenny begitu bahagia melihat reaksi orang tuanya yang memberi sinyal merestui. Heri pun langsung mengemukakan niatnya akan melamar bila diizinkan. Dalam hal ini orang tua Wenny minta penangguhan hingga Wenny selesai kuliah. Hal itu jugalah yang memacu Wenny untuk segera menyelesaikan kuliah. Dan nasib baik juga memihak padanya. Begitu tamat S1,  Wenny pun lulus tes di salah satu bank dan di tempatkan di kota yang sama dengan orang tuanya.
Ternyata kemudian Wenny dihadapkan pada persoalan lain. Kenyataan sebenarnya, orang tua Wenny memberi izin hanya karena tidak ingin anaknya larut dalam kesedihan berpisah dari pacar pertamanya dan izin itu hanya bersifat sementara hingga anak mereka bisa bangkit kembali. Setelah Wenny menyelesaikan kuliah dan bekerja, menurut orang tuanya, Wenny akan lebih dewasa menanggapi persoalan hidupnya.
Dengan alasan bahwa Manado terlalu jauh bagi mereka, sementara mereka tidak bisa berpisah dari anak bungsunya itu, mereka meminta Wenny untuk mempertimbangkan kembali keputusan memilih Heri menjadi pendamping hidupnya kelak.
”Kalau hanya itu, kan nanti bang Heri bisa mengurus pindah ke sini, Bu. Lagi pula tempat mana sih yang jauh sekarang ini. Jika Ibu rindu, Ibu dapat ke sana dengan pesawat. Bahkan kalo sekedar bicara dapat menggunakan Hp,” demikian argumen yang diajukan Wenny dengan orang tuanya.
”Bukan begitu, Wen. Jika mendadak kamu sakit disana, mana bisa kami sewaktu-waktu terbang kesana karena pesawat ada jadwalnya bahkan rezeki juga ada waktunya tercurah. Lagi pula bukan mudah mengurus pindah. Pak Long kamu saja dua puluh tahun mengurus pindah, tapi tak pernah berhasil dipindahkan kesini. Ngomong memang mudah, tapi Ibu tak sanggup berpisah jauh dari anak-anak Ibu. Tolonglah mengerti. Ibu sudah tua dan sudah tak sekuat dulu. Diabet membuat langkah Ibu terbatas karena kelelahan. Tolonglah mengerti. Kamu belum lama berhubungan dengannya, sudah tentu tidak terlalu susah melupakannya. Lagi pula hubungan kalian selama ini hanya hubungan jarak jauh,” ibunya berbicara sambil terisak-isak. Jika demikian, Wenny tak sanggup lagi membantah ibunya.
”Beri Wenny waktu, Bu,” pinta Wenny memelas.
Orang tuanya keliru. Meskipun belum lama mengenal Heri, namun hati Wenny dari awal telah memilihnya dan ia sudah mempersiapkan diri untuk menjadi seorang istri bagi orang yang dicintainya itu. Bahkan getar cintanya lebih besar dari getar ketika bersama Ferdi. Wenny benar-benar dihadapkan pada dilema dan ia tak yang tahu mana satu harus dipilihnya; orang tempatnya melabuhkan cinta hingga akhir hidupnya atau orang tuanya yang telah mencintai dirinya seumur hidup.
Setiap malam, Wenny sengaja bangun untuk tahajud dan memohon petunjuk dari Tuhan agar diberikan jalan yang terbaik tanpa harus melukai salah satu dari orang-orang yang dicintainya. Andai kata bunuh diri diizinkan, maka ia akan memilih jalan itu agar tidak harus memilih salah satu dari orang-orang yang dicintainya dengan melukai yang lainnya.
Malam ini, usai isak tangisnya sesaat, Wenny memutuskan untuk istiqarah memohon petunjuk pilihan mana yang harus diambilnya. Dengan khusu’ Wenny berdoa dan isak tangis kembali menyeruak dari sela bibirnya dan air mata bercucuran tiada henti hingga menjelang subuh. Ia tertidur sebentar dan tersenyum seperti mimpi indah dalam tidur yang sekejap itu.
Ketika azan subuh berkumandang, Wenny terbangun dan segera berwudhu dan shalat. Matanya yang membangkak segera dikompres agar bengkaknya berkurang dan riasan mata menutupi agar tidak ada yang tahu bahwa sepanjang malam dilaluinya dengan tangis. Ia berangkat kerja seperti biasanya dan seolah hari ini sama dengan hari kemarin, tidak ada yang aneh terjadi.
Hari ini Wenny pulang lebih awal dari biasanya. Jam lima sore ia telah sampai di rumah. Dengan langkah ringan dan senyum sumringah ia mengucapkan salam. Ibunya heran menyambut kedatangan Wenny yang tak seperti biasa. Lebih heran lagi ketika sebuah truk masuk pekarangan rumah mereka dan menurunkan kayu bakar demikian banyaknya.
“Wen, kok tumben pulang cepat?” tanya ibunya.
“Ini hari istimewa, Bu. Mana Ayah?” Wenny balik bertanya sambil tersenyum misterius.
”Trus, itu truk, siapa yang suruh kesini bawa kayu bakar?” tanya ibunya makin heran.
”Wenny, Bu,” jawab Wenny singkat.
Kayu bakar telah diturunkan dan disusun sedemikian rupa. Wenny berdiri di tengah susunan kayu tersebut. Ayah dan ibu berdiri tak jauh darinya, memandang dengan penuh keheranan. Mereka memandang putri mereka dengan gelisah dan menunggu penjelasan.
Dari dalam lingkaran susunan kayu bakar Wenny tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Kondisi yang bertolak belakang ini membuat ibunya memiliki dugaan jelek tentang tingkah putri bungsunya itu.
”Ibu,” kata Wenny pelan,”sungguh anak Ibu ini tidak mau menjadi anak durhaka. Ayah, tak ada yang anakmu harapkan dalam hidup ini selain dari ridho Tuhan. Tapi, Ibu, Ayah, hati Wenny telah memilih bang Heri untuk menjadi pendamping hidup hingga akhir hayat. Karena itu, jika Ibu dan Ayah tidak meridhoi pilihan anakmu ini, jangan jadikan Wenny anak durhaka. Jerigen itu bensin isinya dan di sampingnya pemetik api. Silahkan Ibu mulai membakar kayu ini agar Wenny tidak mati dalam kedurhakaan terhadap orang tua dan ridho Tuhan masih ada pada Wenny.”
Ibunya menangis dan memeluk erat ayahnya.
”Apa-apaan ini?”tanya ayahnya tidak mengerti.
”Ibu. Jika ibu memaksa Wen melupakan bang Heri, itu sama artinya ibu membunuh Wen pelan-pelan karena Wen tak akan sanggup melupakannya. Wen yakin dengan pilihan ini. Tapi, Wen tidak mau menjadi anak durhaka, Wen tak mau hidup tanpa ridho Tuhan. Maka dari itu, sebelum Wen jadi penghuni neraka karena menentang perintah orang tua, lebih baik Ibu dan Ayah menyaksikan Wen dibakar oleh api pilihan Wen ini,” lirih kata Wenny dan air matanya mulai bercucuran.
”Wenny...,Wenny...,”erang ibunya, ”jangan begitu nak. Semua masih bisa kita bicarakan.”
”Ini sudah waktunya Ibu. Wenny tak sanggup menanggungnya lagi. Jangan suruh Wen memilih antara Ibu dan bang Heri. Hari ini, giliran Ibu dan Ayah yang harus memilih,” jawaban Wenny memperlihatkan kemantapan hatinya.
Wenny memejamkan matanya menunggu keputusan orang tuanya. Ia benar-benar pasrah. Tak henti-hentinya ia memanjatkan doa pada yang maha kuasa agar orang tuanya diberi kelunakan hati menerima pilihannya.
Tak lama kemudian Wenny mendengar bunyi kayu yang jatuh berserakan. Namun Wenny masih tegak diam dan terpejam menunggu nasibnya. Kamudian ia merasa ditarik dan ibunya memeluk erat dirinya.
”Intan payung, buah hati Ibu... jangan begini nak. Mana ada orang tua yang sanggup menyaksikan anak kesayangannya dibakar oleh kayu ini,” kata ibunya disela isak yang makin menguat. Wenny masih diam dengan mata terpejam.
”Keluar dari tumpukan kayu ini, sayang,” ayahnya ikut memujuk. Namun Wenny masih tegak dengan kokoh, tak mau beranjak.
”Ooooi anak Ibu, buah hati Ibu. Berat nian pilihan yang kau balikkan kepada kami. Jelas kami lebih memilih keselamatanmu, kebahagiaanmu,” isak ibunya yang semakin melemah. Wenny mengerti, itulah jawaban yang ditunggunya.
”Terima kasih, Ibu. Restuilah anakmu ini dengan penuh keikhlasan. Jangan pernah menyangsikan takdir Tuhan, Bu. Tidak ada tempat yang jauh di muka bumi ini oleh Tuhan. Mengapa Ibu mengatakan jauh bila di hati Ibu selalu ada anak ibu ini,” Wenny membalas pelukan ibunya dan mereka saling bertangisan dalam pelukan yang kian erat.
Beban berat itu pun lepas sudah dari hati Wenny. Restu ibu telah dikantongi dan kini tinggal ia mengabari bang Heri tercinta untuk segera mengirim utusan buat melamarnya. Dalam isak tangis yang panjang, kebahagian datang menjelang dan kelegaan itu luar biasa rasanya.  

Kamis, 16 Juni 2011

KARENA JANJI


Airin melangkah dengan gemulai di sisi Andra. Mereka bergandengan memasuki ruang resepsi. Para undangan telah memenuhi ruangan dan duduk dengan khidmat menyaksikan prosesi pernikahan dengan adat Jawa. Tabuhan gamelan dan nyanyian sinden yang tadi terdengar kini hilang dan digantikan dengan celotehan pembawa acara yang sama sekali tidak dimengerti Airin.
Airin mengambil posisi berdiri dekat meja hidangan sementara Andra mencari tempat duduk yang masih kosong meninggalkan Airin sendiri. Airin lebih tertarik dengan hidangan yang beraneka ragam dari pada serangkaian prosesi yang sama sekali tidak dimengertinya dan sebenarnya acara seperti ini membuat hatinya sedih sebab ia menjadi teringat kondisi rumah tangganya dari awal hingga detik ini.
Setelah prosesi selesai, para undangan dipersilahkan menikmati hidangan. Airin menarik lengan Andra dan mengajaknya meninggalkan gedung tersebut sebab ia sama sekali tak menyukai acara seperti itu apalagi tidak ada yang dikenalnya selain suaminya.
”Makan dululah. Kok buru-buru?” tanya Andra yang keberatan dengan permintaan Airin.
”An, kamu tau aku tidak pernah suka acara beginian. Apalagi aku tidak mengenal mereka,” jawab Airin agak ketus.
”Sabar bentar napa? Ini klienku. Tak enak kalau kita buru-buru cabut. Kali ini tolong mengertilah,” pinta Andra seperti sebuah paksaan yang didukung tatapan tajamnya.
Airin cemberut dan mendengus pelan. Ia terpaksa mengalah dan mengikuti kemauan suaminya. Airin memutuskan duduk di pojok sambil menikmati sejumput buah potong yang dipilihnya sendiri. Ia menatap sedih ke arah Andra yang sibuk bercengkrama dengan teman-temannya sementara ia ditinggal sendirian di tengah lautan manusia yang tak dikenalnya sehingga ia benar-benar merasa terasing.
Angan Airin melayang jauh, kembali pada masa lalu saat setelah pesta pernikahannya. Andra sibuk melayani teman-temannya sampai subuh sehingga dirinya tak terjamah sama sekali. Hari-hari selanjutnya pun tidak begitu menggembirakan. Andra kelihatan dingin dan aktifitas keintiman suami istri sangat jarang dilakukan.
Airin pernah menanyakan hal tersebut, namun Andra tak pernah memberi jawaban yang masuk akal. Jawabannya selalu berubah-ubah sehingga Airin tidak pernah tahu alasan sebenarnya. Akhirnya Airin tak pernah lagi bertanya dan tidak terlalu mempedulikan hal tersebut.
Kadang Airin berpikir,’jangan-jangan suamiku homoseksual’. Sebelum menikah, mereka sempat berpacaran selama beberapa tahun. Andra sama sekali tidak pernah memperlihatkan gejala menyimpang tersebut. Namun frekuensi keintiman yang sangat kurang membuat Airin tak habis pikir dan terbersit sedikit kecurigaan dihatinya.
Setelah tujuh tahun usia pernikahan mereka, akhirnya Airin melahirkan seorang anak perempuan yang cantik. Airin menunggu kelahiran anaknya dengan harap-harap cemas sebab sebelumnya ia sempat keguguran. Ketika Nazwa lahir dengan selamat dan tak kurang satu apa pun, Airin sangat bahagia. Hari-hari Airin selalu disibukkan mengurus Nazwa setelah pekerjaan di kantornya selesai.
Satu hal lagi yang sangat mengherankan Airin, sejak Nazwa lahir Andra tidak mau lagi tidur sekamar dengannya. Alasan yang dikemukakannya adalah tidak suka terganggu dengan suara tangis bayi ketika ia tidur malam hari sebab ia perlu bangun pagi dengan kondisi fit mengingat pekerjaannya sebagai fotografer membutuhkan kejelian dan ketajaman pandangan. Airin protes. Tapi tak ada gunanya. Andra tetap tidur di kamar yang lain dan ia dibiarkan mengurus Nazwa sendiri.
Semula Airin mengira hal itu mungkin disebabkan Andra yang menginginkan anak laki-laki sehingga ia kurang merasa senang ketika Nazwa lahir. Tetapi ternyata dugaannya itu tidak benar sebab jika sore hari setelah Andra pulang kerja, ia selalu menggendong Nazwa untuk sekedar jalan-jalan sore di kompleks perumahan tempat mereka tinggal. Berarti ada alasan lain yang tak pernah mau diungkapkannya meskipun Airin berkali-kali menanyakan.
Parahnya lagi, sejak pisah kamar Andra pun praktis tak pernah menyentuhnya secara pribadi. Airin kerap mempertanyakan hal itu, namun bila pertanyaan tersebut dilontarkannya, maka Andra akan berlalu dengan diam dan beberapa hari menenggelamkan dirinya di studio seolah sibuk dengan pekerjaannya.
Pada tahun pertama pisah ranjang, hampir setiap malam Airin menangis menyesali nasibnya. Ia merasa diabaikan dan ditelantarkan sebagai istri. Kehidupan rumah tangganya benar-benar dingin. Airin bukan tidak berusaha mencari penyebabnya, namun hingga saat ini ia belum memperoleh jawaban dari keanehan sikap Andra tersebut.
Jika berada di luar rumah, mereka terlihat seperti sebuah keluarga yang harmonis. Airin selalu mendampingi Andra setiap ia bertemu dengan klien penting atau hanya sekedar memenuhi undangan makan dari rekan mereka. Airin pun menyembunyikan kondisi tersebut dari keluarganya. Ia tak ingin keadaan rumah tangganya menjadi beban pikiran ibu dan ayah yang sudah tua.
Jauh di lubuk hatinya, Airin berontak dan ingin lepas dari keadaan ini. Itu juga sebabnya ia sangat tidak suka bila diundang pada suatu resepsi pernikahan. Ia merasa pernikahannya telah lama hancur sejak Andra memutuskan pisah ranjang. Empat tahun ia mencoba bertahan dan selama itu pula tiap malam ia berdoa pada Tuhan agar diberi jalan yang terbaik bagi dirinya.
Penderitaan batin yang dirasakannya lambat laun merubah pandangannya terhadap nilai-nilai yang harusnya dianut dalam suatu perkawinan. Jika pada mulanya ia masih melayani kebutuhan suaminya selain yang satu itu, maka belakangan ini ia sudah tidak lagi melakukannya. Ia tak pernah lagi menghidangkan makanan buat Andra bahkan ia tak peduli jika Andra pulang atau tidak sekalipun.
Airin juga tidak lagi menuntut haknya sebagai istri yang menginginkan segala kebutuhan terpenuhi oleh suaminya. Bahkan uang gaji pun sudah tidak diberikan Andra kepadanya. Airin membiayai hidupnya berdua dengan Nazwa dengan bekerja sehingga tidak terlalu membutuhkan uluran tangan Andra untuk memberi mereka makan.
Beberapa malam yang lalu, setelah shalat tahajut dan memohon ampunan dari Tuhan, tiba-tiba terbesit dipikirannya untuk mengajukan cerai pada Andra. Airin merasa pernikahan ini sudah tidak ada gunanya dipertahankan. Ia sudah lelah dengan keadaan yang menyiksa batinnya. Bahkan akhir-akhir ini, ia mulai merasa mual setiap kali melihat wajah suaminya seolah yang dilihatnya adalah setumpuk kotoran yang harus segera dibersihkan.
Airin menyadari sepenuhnya bahwa perceraian adalah suatu jalan pemecahan yang diizinkan oleh Tuhan namun sekali gus sangat tidak disukai-Nya. Tapi, Airin sudah sampai pada titik nadir dan ia berbalik ke bawah ingin lepas dari ikatan yang menjerat lehernya dan membuat ia nyaris mati rasa. Walau bagaimana pun Tuhan menciptakannya lengkap sebagai manusia yang harusnya bisa menikmati berbagai rasa dalam hidup ini. Bukan hanya satu rasa yang membuatnya seperti mati suri selama ini.  
”Ayo kita pulang,” ajakan Andra mengagetkan Airin yang sedang melamun. Uluran tangan itu disambutnya dan ia berdiri mengikuti langkah Andra. Pesta telah usai, para tamu telah keluar dari gedung sejak tadi. Hanya beberapa orang yang masih berada di dalam karena urusan masing-masing.
Dalam perjalanan pulang, Airin bertanya,”Ini pertanyaan terakhirku Andra, tolong jawab sebelum aku mengambil sebuah keputusan tentang kita. Mengapa kamu begitu dingin? Kamu masih laki-laki normal kan?”
”Apa maksudmu Airin? Jelas aku laki-laki normal. Kamu tau itu!” keterkejutan terlihat nyata di raut wajah Andra.
”Mengapa kamu begitu dingin terhadap diriku? Bahkan aku merasakannya sejak kita baru saja menikah. Tidak cintakah kamu padaku?” suara Airin mulai meninggi menahan gejolak di hatinya.
”Jika tidak cinta, tak mungkin aku menikahimu,” jawab Andra sekenanya saja sementaranya matanya terus mengawasi jalan raya.
”Jadi mengapa? Jawab Andra!” pekik Airin yang telah dikuasai oleh amarah.
”Kamu terlalu berlebihan Airin. Apa seks begitu penting bagimu?” jawab Andra dengan emosi yang sama naiknya dengan Airin.
”Empat tahun Andra. Empat tahun kamu tidak menyentuhku sama sekali. Itu bukan masalah seks penting atau tidak. Tapi kamu telah menelantarkan aku. Baiklah Andra. Hari ini aku telah sampai pada satu keputusan. Ceraikan aku!” kata-kata Airin diselingi isak tangis tertahan.
Andra hanya diam menanggapinya seolah kata-kata Airin itu adalah gertakan saja. Tapi ia benar-benar keliru kali ini. Sesampai di rumah, Airin menyerahkan surat panggilan atas gugatan cerai yang telah diajukannya beberapa waktu yang lalu ke pengadilan agama.
”Andai saja tadi kamu menjawabnya, aku berniat menarik gugatanku. Tapi, ternyata kamu sama sekali tak pernah memikirkan aku dan Nazwa. Maka dari itu, penuhilah panggilan pengadilan agama ini, ” Airin berkata dengan tenang dan sangat lancar sebab ia telah menemukan dirinya kembali.
Andra menerima surat itu, membacanya dan kemudian termangu. Airin meninggalkannya sendirian dan ia menjemput Nazwa yang tadi dititipkan di rumah ibunya, tak berapa jauh dari rumahnya.
Pada ibunya ia menceritakan persoalan yang selama ini ditanggungnya sendiri dan keputusannya telah bulat untuk bercerai dengan Andra. Ibunya kaget dan berusaha menasehatinya untuk mengubah keputusan Airin. Namun argumen Airin membuat ibunya tak dapat memujuknya lagi. Anaknya yang biasa lembut sudah sampai pada batas kelembutannya menahan semua derita hidupnya seorang diri.
 Kembali dari menjemput Nazwa, Airin dikejutkan oleh tingkah Andra. Begitu  pintu rumah dibukanya, Andra menyongsong dan bersimpuh dihadapannya.
”Airin, tolong tarik kembali gugatan itu. Aku mohon.....,” katanya mengiba.
”Sudah terlambat Andra. Aku tak ingin menariknya kembali,” jawab Airin.
Andra memeluk erat kaki Airin dan menangis sejadi-jadinya,”Tolonglah Airin. Maafkan diriku. Apa kata orang tuaku nanti?”
”Ha? Kamu hanya memikirkan kata orang tuamu? Kamu tak memikirkan kami? Keterlaluan kamu Andra. Selamanya kamu hanya mementingkan diri sendiri. Sekarang, walau sudah tak terlalu penting lagi, jawablah pertanyaanku tadi. Mengapa kamu begitu dingin terhadap diriku, sementara katamu kamu mencintai aku,” kata Airin berusaha menarik kakinya. Ia merasa sangat risih diperlakukan demikian.
”Maafkan aku, Rin. Itu karena janjiku dengan Erna. Kamu tau aku juga pacaran dengannya ketika kita pacaran dulu. Ia sakit hati sekali ketika aku akhirnya menikahi kamu. Sehingga ia mau bunuh diri. Aku berusaha menyelamatkannya dari sayatan silet yang membuat darahnya nyaris habis. Setelah itu ia memaksaku berjanji untuk tidak menggauli kamu selagi ia tidak bisa merelakannya. Bila itu aku lakukan maka ia mengancamku akan bunuh diri lagi,” diantara isaknya Andra menjawab dan Airin sangat terkejut dengan jawaban itu. Ia tak menyangka sama sekali.
”Alangkah bodohnya kamu Andra. Andai kamu berterus terang dari awal maka tak akan begini jadinya. Sebelas tahun lebih kita menikah, tapi kamu masih terikat janji konyol dengan mantan pacarmu itu? Sama sekali aku tak menyangka. Jika demikian, maka tepatlah keputusanku ini. Tidak perlu kita teruskan pernikahan ini. Kamu bisa kembali padanya bila itu pilihanmu,” kata Airin sambil terus berusaha melepaskan diri dari Andra yang masih bersimpuh memeluk kakinya.
”Airin, aku telah memilih kamu,” lirih suara Andra mencoba melunakkan hati Airin, ”lagi pula Erna telah bersuami.”
”Iya. Kamu memilihku untuk disiksa batinnya. Tapi, terima kasih, akhirnya kamu mau membuka suara. Selama ini alasan jelek itu yang kamu simpan. Setiap aku bertanya tak pernah kamu mau memberi jawabnya. Ternyata....,” Airin tidak meneruskan perkataanya dan tertawa sinis.
Airin berlalu sambil menggeleng-geleng kepala. Benar-benar ia tidak menyangka alasan Andra. Dan ia bersyukur sekali telah mengambil keputusan ini. Ia merasa menjadi orang kembali. Ia menemukan hidupnya kembali yang bertahun-tahun sempat hilang terbawa nasib sial. Begitu bebas rasanya sehingga badannya begitu ringan dapat melayang kemana pun yang ia inginkan. Selama sebelas tahun lebih ternyata Andra hanya menjadi duri dalam dagingnya, berdenyut-denyut menyakitkan. Dan sekarang duri itu sudah berhasil dikeluarkannya. Tak pernah ia merasa begitu bahagia seperti saat ini, karena duri itu telah berhasil dikeluarkan dari hidupnya.