Rabu, 23 Maret 2011

Kasmaran


Pesanan sudah terhidang dihadapan kami. Meja makan menjadi penuh dengan bermacam-macam makanan yang dipesan.Anak-anakku antusias melihat makanan yang telah terletak dihadapan masing-masing.
”Kita mulai makannya, bu?” tanya anak tengahku yang kelihatan sudah tak sabaran.
”Hmm... baiklah, berdoalah dulu sebelum makan. Berdoa masing-masing,” jawabku sambil membetulkan posisi sendok garpu di piring anak bungsuku.
Anak-anakku dengan semangat mulai menikmati makanan yang berada di depan mereka. Kelihatan begitu berseleranya sehingga tidak mempedulikan yang lainnya. Aku tersenyum melihat kegembulan ketiga anakku.
Pandanganku beralih pada sosok tenang dihadapanku. Dengan pelan tapi pasti ia pun mulai menyantap makanannya. Tiba-tiba ia mengangkat wajahnya dan tepat menatap wajahku.
”Kenapa belum juga dimulai makannya, Di?” tanyanya.
Aku tersenyum dipaksakan, ”Seleraku makin parah.”
”Cobalah makan perlahan. Enak kok! Atau, mau disuapkan?” tanyanya penuh perhatian.
”Tak usah. Bisa makan sendiri,” ujarku pelan.
Aku menatap nasi goreng gila yang terhidang di depanku dengan perasaan tak menentu. Biasanya itu salah satu menu favoritku dan tak bisa kubiarkan dingin. Kali ini, perasaan mual mulai ku rasakan. ’Ya Tuhan....tolonglah aku. Hilangkan perasaan mual yang amat menyiksaku ini.’ Aku mulai menyendok makananku dan memasukkannya ke mulut. Dengan sangat pelan aku mulai mengunyah dan dengan susah payah akhirnya berhasil ku telan.
”Ibu kenapa? Mengapa akhir-akhir ini begitu susah makan?” anak tengahku bertanya.
”Entahlah. Tidur pun susah. Makanya selera makan dipengaruhinya.”
”Itu seperti penyakit ayam Atuk Dalang di serial Upin Ipin,” jelas anakku lebih lanjut, ”Ayam jantan Tuk Dalang jatuh hati dengan ayam kampung sebelah. Gejalanya, makan tak kenyang, tidur tak lena, mandipun tak basah.”
”Ha?” aku terperangah dan kemudian tawaku pun pecah, ”Hahaha...masa ibu disamakan dengan ayam Tuk Dalang. Ada-ada saja.”
”Tapi kan dua ciri-cirinya sudah ada pada ibu,” ia mencoba mempertahankan pendapatnya.
Aku menggeleng sambil tertawa. Aku kasmaran? Begitukah pikiran sederhana anakku?
Tiba-tiba aku merasa Raditya menatapku dengan pandangan menyelidik. Namun ia tak bersuara. Aku membalas tatapannya dengan tenang yang dipaksakan. Jauh di lubuk hatiku ada sebentuk kegelisahan yang dengan rapat kusimpan.
Akhirnya acara makan itupun berakhir. Lega sekali rasanya. Makananku bisa ludes dibantu oleh anakku menghabiskannya. Sungguh terasa bagai siksaan bagiku acara makan malam kali ini.
Aku duduk diam memandang lurus ke depan. Pikiranku menerawang jauh, amat jauh seolah aku telah menembus berlapi-lapis langit yang terbentang luas di atas kepalaku. Hiruk pikuk dan canda tawa anak-anakku di jok belakang sama sekali tak menggangguku. Pendengaranku hanya satu,’Sayangku....’
Aku menoleh ke kanan. Kulihat suamiku dengan tenang mengemudi. Sesekali jarinya menyentuh bibirku,”Manyuuuun,” katanya.
Keningku berkerut, ternyata bukan dia yang menyapaku dengan sebutan ’sayang’ tadi. Aku kembali diam dan menatap lurus ke depan. Perasaanku berkecamuk dan tiba-tiba jantungku berdetak makin kencang. Suara itu seperti tertiup angin dan singgah di telingaku. Suara berat memanggilku lirih,”Di...”
Itu dia. Dia berdiri tegak menatapku dengan senyum manis dibibirnya. Tangannya terentang seolah menungguku berlari ke dalam pelukannya.
”Lius...?” bibirku berujar pelan dan bergetar.
”Ada apa, Di?” tanya suamiku. Meski pelan, pertanyaan itu cukup mengejutkanku. Aku menggeleng dan tersadar bahwa semua itu hanya bayangan semu yang tak mungkin terjamah. Nyatanya aku masih duduk di samping suamiku.
Jam 11 malam, diperaduan malam ini.
Semua telah tertidur pulas. Anak-anakku telah tidur di tempat masing-masing. Seperti kebiasaanku, aku mengecek mereka satu persatu dan kemudian memastikan semua dalam keadaan baik-baik saja, pintu telah terkunci dan televisi telah dimatikan.
Aku merebahkan diri di tempat tidur. Di sisi kananku, Raditya telah pulas tertidur. Dengkur halus yang menyeruak dari celah bibirnya menandakan kepulasannya. Nafasnya teratur dan sebuah bantal guling berada dalam pelukannya. Aku mencium pipinya dan sudut bibirnya bergerak sedikit seolah merasakan ciuman lembutku di pipinya.
Aku menatap langit-langit kamar tidurku yang berwarna putih. Ingatanku menerawang jauh pada peristiwa sebulan yang lalu. Sebuah pertemuan yang tak direncanakan sebelumnya. Pertemuan yang hanya sekejap namun begitu berkesan bagiku sehingga membekas begitu dalam di sanubariku.
Baru pertama kali aku bertemu dengannya di sebuah pusat perbelanjaan. Ketika itu aku dan suamiku sedang memenuhi undangan rekan kerja untuk bertemu disana. Dia duduk tenang tidak jauh dari tempat dudukku. Ketika mataku terpaut padanya aku merasa keanehan dalam diriku. Dadaku berdebar kencang dan mataku nanar seperti hendak pingsan rasanya. Aduh, ada apa ini?
Kenapa perasaanku semakin sulit diatur? Kenapa hanya wajahnya saja yang terbayang, kenapa hanya suaranya saja yang terngiang? Semua pertanyaan itu terus berputar dibenakku. Untuk sesaat aku menyalahkan peningkatan produksi hormon dalam diriku. Tapi, benarkah itu penyebabnya?
Setiap malam, aku merasa dia selalu hadir di dekatku, walau hanya berdiri di sudut kamar sambil menatapku. Ketika ku pejamkan mata, aku justru mendengar langkahnya mendekat. Ada ketakutan dalam hatiku, takut hal itu benar adanya, sehingga akhirnya aku kembali membuka mataku agar bayangan itu tak mendekat dan tidak membangunkan suamiku yang telah terlelap. Hal itulah yang membuatku susah tidur sebulan terakhir ini.
Tidak hanya malam, siang pun aku diganggu oleh bayangannya. Saat masak, ada dia ditembok atas penggorengan. Saat menggosok, ada dia di alas setrikaan; saat mencuci, bayangannya ikut berputar di mesin cuci. Hal ini sangat membingungkanku. Ada apa denganku?
Aku mencoba bercerita dengan suamiku. Tanggapannya justru membuatku urung meneruskan cerita itu sehingga ia hanya bisa bertanya-tanya tanpa memperoleh jawaban yang akurat. Jika aku terlalu berterus terang maka aku merasa sangat berdosa dengannya sebab hatinya pasti akan luka.
Ternyata benar kata anakku. Aku sedang K A S M A R A N dengan bayang-bayang…. Barulah kini kusadari bahwa kasmaran itu amat menyiksa sebab datang pada waktu dan tempat yang tidak tepat. Ya Tuhan… berilah aku petunjuk. Lindungilah aku dari segala godaan syaitan yang selalu memunculkan bayang-bayang semu yang takkan pernah terjamah olehku.


11/3-11

2 komentar:

  1. Berjiwa besarlah kamu wahai temanku.....
    Junjung tinggilah kejujuran yang ada di hatimu, meski itu sangat pahit rasanya...

    BalasHapus