Selasa, 22 Maret 2011

SURAT CINTAKU


 Aku menemukan sesuatu ditumpukan berkas tua yang terletak di dasar lemari pakaian. Sudah bertahun-tahun sejak pindah rumah, tidak pernah ku sentuh. Di bawah tumpukan berkas usang yang nyaris terlupakan mencuat selembar berkas yang dilaminating dengan sudut-sudut yang tumpul. Aku menariknya perlahan agar berkas-berkas di atasnya tidak terusik.
Setelah seluruhnya berhasil ditarik, aku melihat foto-fotoku di masa lalu yang disusun sedemikian rupa dalam berbagai fose, tersenyum, tertawa, menangis dan manyun. Semua foto itu tersusun rapi tanpa celah dalam laminating plastik. Kedua sisinya diisi penuh oleh foto-fotoku masa kuliah dulu.
Aku tersenyum dan mulai mengenang berbagai peristiwa yang mengiringi keberadaan foto-foto itu. Sudah terlalu lama rasanya. Dan senyumku semakin lebar setelah menemukan tulisanku di tepi kanan salah satu sisi kumpulan foto tersebut. Tulisan yang tersusun rapi dan demikian kecilnya sehingga tidak mudah lagi dibaca karena mata tuaku yang mulai menurun kemampuannya. Huruf-huruf yang tertulis lebih kecil dari semut gula yang sedang beriringan.
Ternyata ini adalah salah satu surat cintaku yang pernah kutuliskan untuk kekasih hatiku. Surat tanpa tanggal tersebut aku perkirakan dibuat pada tahun 1991, hampir 20 tahun yang lalu. Ketika itu aku mulai belajar mencintai lawan jenis dengan cara yang layak menurutku, setelah orang tua mendesakku untuk segera menentukan pilihan hati.
”Jika tidak ada satu orang pun yang berkenan dihatimu dari calon yang kami sodorkan, maka, bawalah pilihan hatimu sendiri ke sini,” demikian papa mengultimatumku.
”Tunggu sajalah, pa. Kalau memang ada jodoh, nanti akan datang dengan sendirinya. Dijodohkan? Jelas aku tak mau!” aku berusaha menekan kata-kataku agar tidak terdengar kasar.
”Mau ditunggu berapa lama lagi? Umurmu sudah berapa? Pokoknya, kami beri waktu enam bulan. Bawalah siapapun yang berkenan dihatimu. Jika tak ada, maka kami yang akan memilihkannya untukmu!” suara papa semakin meninggi. Aku tahu, aku tak bisa lagi membantahnya.
Dengan alasan itulah, aku akhirnya memilih dia sebagai calon pendamping hidupku. Meskipun kami terpisah jauh, dia di Bandung sementara aku di Padang, namun aku punya satu keyakinan, bahwa niat yang tulus dan disertai usaha yang sungguh-sungguh, maka hati Tuhanpun akan tersentuh.
Aku mulai membaca surat cintaku itu.
”Ada yang pernah mengatakan, ’cinta itu datang melanda seperti air bah dan sanggup menerobos celah yang paling sempit yaitu hatiku, hatimu, hati kita, hati manusia. Ia dapat menyusup ke dalam sukma yang paling dalam. Kekuatannya begitu dahsyat dan sanggup memporak-porandakan keteguhan karang keangkuhan hati manusia.’

Dulu. Bagiku kata-kata itu tiada maknanya, laksana untaian kata yang tidak mampu menghiasi jiwa.

Kini. Ada kamu membangkitkan gairah hidupku dan membuatku berpikir tentang makna. Makna kecintaan. Ada kita.

Kerinduan adalah temanku dalam sepi, tanpa kamu disisiku. Hari-hariku bercengkrama dengan ingatan tentang kamu. Harapanku, bila sampai saatnya kita bersama mengobati kerinduan panjang selama ini,  kita tak akan terpisahkan oleh apapun.

Kuncup-kuncup di hatiku yang telah bersemi harum mewangi memboyongku menuju angan yang begitu indah dan penuh harapan, tentang kita. Kini kusadari artinya, aku sangat mencintai kamu.

Tak ingin kudustai hatiku. Walau jujur adalah pekerjaan yang maha berat, namun harus kuyakini itulah yang terbaik buatku, buatmu dan buat kita. Kusingkirkan rasa malu dan kuakui setulus hatiku, aku mencintaimu.

Sayangku,
Akankah aku hampa pada angan yang terlalu muluk membujuk hatiku? Padamulah jawabnya.

Selagi ada waktu kita mengejar cita untuk selanjutnya meraih angan dan impian yang belum terwujud selama ini, secara perlahan tapi pasti. Satu yang kita perlukan selain dari tekad yaitu kesetiaan dan kepercayaan. Aku mempercayaimu dan bertekad akan menyetiaimu. Akan begitu jugakah hatimu?”

Surat itupun berakhir dengan paraf kecil dariku.

Hatiku tersentuh, seolah kembali merasakan kesyahduan dan kesenduan hati pada waktu itu. Cintaku terpisah oleh bentangan jarak yang sangat jauh. Namun hatiku begitu dekat dengannya. Perasaan itu, perasaan yang telah lama terlupakan. Aku merasakannya kembali, seperti cinta baru bersemi.
Aku terkejut, karena tiba-tiba ada sepasang tangan melingkari pinggangku dari belakang. Tanpa menoleh, aku tahu siapa dia.
”Apa yang dilihat, dik?” bisiknya ditelingaku.
”Surat cintaku pada kekasih yang begitu jauh terpisah dari diriku,” jawabku sekenanya. Dadaku berdebar keras dan aku tak sanggup menoleh. Aku hanya tertunduk dan menikmati pelukannya.
”Aku yang menyimpannya ditumpukan berkas dalam lemari. Dan sekali-sekali aku membacanya,” aku terkejut dengan perkataannya.
”Untuk apa dibaca kembali?” tanyaku keheranan.
”Untuk mengembalikan perasaan indah yang pernah kurasakan bersamamu,” ia makin mempererat pelukannya.
”Ya, aku pun merasakannya sekarang, terima kasih. Rasanya ada yang kembali setelah hilang sekian lama,” ujarku lirih dengan jantung yang kian cepat debarannya.
”Simpanlah baik-baik, agar kamu dapat membacanya dan mengembalikan indahnya cinta diperasaanmu,” bisiknya lembut dan kemudian ia mengecup pelan ubun-ubunku.
Aku mengangguk, dan mukaku makin terasa panas karena gejolak yang tiba-tiba muncul. Aku sayang dia. Aku mencintainya sepenuh hatiku. Dialah kekasih hatiku sepanjang waktu hingga akhir hayatku.

20/3-11



3 komentar:

  1. Ka, susah kali mbacanya, coba tulisannya dibikin berwarna lain, hitam atau apa gitu...usulan nih, penasaran mau baca...

    BalasHapus
  2. yap, sudah bisa dibaca sekarang..mantap Ka....oke juga tuh cerpen...

    BalasHapus