Rabu, 03 Agustus 2011

CINTA DITOLAK DUKUN BERTINDAK


Maryam berjalan dengan gemulai melewati jalan setapak. Sebuah keranjang besar berisi kain cucian dijunjung di atas kepalanya. Raut wajahnya dihiasi senyum dan rona memerah menjalar di pipi yang berisi dan kelihatan segar. Rona kemerahan itu makin mempercantik wajah Maryam yang bulat telur. Sengatan matahari yang mulai terik seperti tak dirasakan, bahkan ia kelihatan begitu menikmatinya dengan berjalan pelan dan melenggang menahan beban di kepalanya.
”Baru selesai mencuci, Yam?” sapa seorang ibu yang kebetulan berpapasan dengan Maryam.
”Iya, Mak Ode. Akhirnya selesai juga,” jawab Maryam dan lenggangnya masih teratur menuju tempat tinggal yang sudah mulai kelihatan.
Ibu yang menyapanya tadi berhenti dan kemudian memperhatikan Maryam untuk beberapa saat. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan pelan ia berujar seolah bicara kepada diri sendiri, ”Maryam.... Maryam. Entah apa yang kau pikirkan. Ada rumah bagus di kota malah ditinggal” Maryam tidak menanggapi perkataan itu karena ia tidak mendengarnya.
Seorang anak perempuan kecil berlari menyongsongnya dan berteriak-teriak kegirangan,”Ibu, lihat, Cipa dapat macupilami dali oom Cipu.”
Maryam menyambutnya dengan kening berkerut. Langkahnya terhenti dan keranjang bawaannya diturunkan, ”Oom Cipu?”
”Iya, Ibu. Oom yang kemalen datang bawa cawo manis, yang bawa Cipa main di sawah Wak Nen,” gadis kecil itu menerangkan dengan antusias, lalu tertawa-tawa dan memperlihatkan mainan yang menyerupai monyet berwarna kuning berekor panjang pada Maryam. Maryam pun mengerti siapa yang dimaksud anaknya.
”Itu bukan Cipu namanya, Syifa. Itu Oom Sipru. Mana dia?” tanya Maryam
”Ada, duduk di bale-bale depan lumah,” jawab Syifa. Gadis kecil itu tiba-tiba teringat dengan tamunya dan ia segera membalikkan diri dan berlari meninggalkan ibunya yang sedang bimbang mempertimbangkan sesuatu. 
Maryam menyusul gadis kecilnya menuju beranda rumah. Keranjang kain  ditinggalkan di bawah jemuran yang berada di sisi kiri rumahnya. Maryam melihat laki-laki yang dimaksud sedang duduk menikmati rokok di atas bale-bale bambu. Bale-bale itu sengaja diletakkannya di beranda untuk tempat duduknya ketika menikmati sore bersama gadis kecilnya.
Maryam mendehem untuk memberi tahu kehadiran pada tamu yang sebenarnya tak dikehendaki. Laki-laki itu pura-pura terkejut melihat kedatangan Maryam dan berujar, ”Eh, sudah pulang, Yam?”
Maryam mengangguk dan menarik sudut bibirnya ke atas sedikit untuk memberikan kesan tersenyum. Walau bagaimana pun ia tak ingin dianggap sebagai perempuan yang tidak tahu sopan santun dan tidak ramah. Maryam memujuk gadis kecilnya masuk ke rumah sebab ia mau bicara dengan tamu. Syifa menuruti permintaan ibunya.
”Ada perlu apa, Bang Sipru?” tanya Maryam dengan suara rendah.
”Mau mendengar kepastian dari Dek Iyam atas usulan Abang kemaren. Apa jawabanmu Dek?” tanya Sipru sambil menggeser duduknya ke arah sudut bale-bale yang diduduki Maryam.
Maryam menunduk dan berujar dengan sangat pelan,”Maaf Bang. Bukankah sudah Iyam jawab sejak pertama kali Abang bertanya. Iyam tidak bisa menerima Abang sebagai pengganti ayahnya Syifa. Sekali lagi maaf, Bang. Iyam telah mengecewakan Abang.”
”Kenapa Yam? Sudah hampir lima tahun kau menjanda. Mengapa kau tolak tawaran baikku? Apa aku tak cukup berharga bagi dirimu dan anakmu?” tanya Sipru menahan kecewa dihatinya.
Maryam semakin menunduk dan dengan terbata-bata ia menjawab,”Bu...bukan be... begitu, Bang. Iyam masih ingin sendiri membesarkan Syifa.”
”Syifa sudah mulai besar. Apa ia tidak pernah menanyakan tentang kehadiran seorang bapak di tengah kalian?” kata Sipru sambil menatap tajam ke arah Maryam. Kegusaran hatinya terlihat jelas di wajah keras laki-laki itu.
”Syifa mengerti kalau bapaknya sudah meninggal sejak ia masih dalam kandungan. Ia tak pernah bertanya tentang hal itu seolah tahu pertanyaan seperti itu akan membuat Iyam resah. Iyam masih bisa mengatasi semua ini sendiri, Bang. Jadi, Abang jangan berharap lagi. Masih banyak perempuan lain yang bisa Abang ajak kawin,” jawab Maryam dengan yakin.
Maryam kenal betul siapa laki-laki yang dihadapannya. Sipru, centeng kampung yang memiliki tiga orang istri. Sejak ia masih gadis, Sipru selalu mendekatinya dengan berbagai cara. Predikatnya sebagai centeng kampung menyebabkan hati Iyam tak tertarik sedikit pun dengannya.
”Dan satu lagi, Bang. Jangan memberikan mainan apa pun dengan Syifa jika Abang tidak memahami jenis mainan yang sesuai untuk anak itu,” perkataan Maryam kali ini menyinggung perasaan Sipru.
”Apa salahnya aku memberinya mainan. Kau kira aku orang bodoh yang tak tahu mainan apa yang cocok untuk anak-anak. Kau memang perempuan sombong. Lihatlah! Karena kesombonganmu, kau tidak memiliki kebahagian!” kata Sipru dengan nada tinggi dan untuk mengurangi emosinya yang tiba-tiba memuncak ia berjalan mondar-mandir.
”Maaf, Bang. Jika niat Abang sudah disampaikan semua, dan tidak ada yang lainnya, Iyam pamit mau menjemur pakaian,” kata Maryam dengan lembut namun tegas makin membuat emosi Sipru meningkat.
”Cih, sombongnya kau!” kata Sipru dan meludah ke samping. Sipru berlalu dengan tergesa-gesa membawa kekecewaan hatinya.
Maryam hanya memandang hampa kepergian laki-laki itu. Tidak lama, kemudian Maryam melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda karena harus melayani tamu yang tak dikehendakinya itu.
Sipru merasa sangat kecewa dengan penolakan Maryam. Penolakan yang telah berkali-kali membuat ia berpikiran ingin mencelakai. Langkah tergesa-gesa tersebut membawanya ke sebuah gubuk di pinggir hutan yang sangat dikenal oleh orang kampungnya. Gubuk yang dihuni oleh seorang dukun santet yang sangat ditakuti dan tak seorang pun berani mengusiknya.
Setelah mengetuk pintu tiga kali dan terdengar suara mendehem tanda orang yang di dalam mengetahui datangnya tamu, Sipru membuka pintu pelahan. Kepalanya menyembul dari balik pintu dan memandang sekeliling ruangan yang gelap. Matanya butuh waktu untuk membiasakan melihat dalam ruangan yang bercahaya minim tersebut.
”Siapa!” terdengar suara bentakan dari sudut ruangan.
”Aku Tok, Sipru,” jawab Sipru ragu setelah mendengar bentakan tersebut.
”Mau apa kemari?” tanya penghuni gubuk dengan intonasi yang sama keras dengan sebelumnya.
”Aku perlu pertolongan Datok. Bisakah Datok menolongku?” ujar Sipru masih berdiri di ambang pintu.
”Masuklah!” perintah Datok dengan suara parau.
Sipru masuk dengan perasaan masih ragu sebab pertama kali masuk ke gubuk yang sejak kecil ia takuti. Dengan mengumpulkan segenab keberanian, akhirnya Sipru berhasil menyampaikan maksud hatinya. Datok mendengarkan dengan seksama dan sesekali kepalanya mengangguk-angguk. Lalu ia memberikan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh Sipru dan laki-laki itu mengerti apa yang diinginkan sang Datok. Sipru berjanji akan membawa seluruh persyaratan itu nanti. Tak lama kemudian Sipru pamit meninggalkan gubuk itu dengan tergesa-gesa.
Segala persyaratan yang diminta Datok dicari dan telah dikumpulkannya. Berbagai macam kembang, benang bermacam warna, foto, kemenyan, pakaian dalam wanita dan beberapa perlengkapan lain dimasukkannya ke dalam kantong plastik. Setelah yakin tidak ada persyaratan yang tertinggal, Sipru kembali ke gubuk menemui Datok untuk segera menjalankan ritual yang akan mewujudkan keinginannya membuat Maryam gila.
Ritual aneh yang dilakukan Datok membuat bulu kuduk Sipru berdiri. Ia merasakan kehadiran makhluk gaib di sekitarnya. Dalam diam Sipru berharap ia tidak celaka dengan keinginannya itu. Di benaknya, makhluk gaib yang mengelilinginya tiba-tiba gusar dan mencekik lehernya beramai-ramai. Sipru seperti orang yang benar-benar tercekik dan ia berguling-guling di lantai. Sipru berusaha melepaskan cekikan tersebut dengan meronta dan melakukan perlawanan.
Sebuah tepukan di bahu menyadarkan dirinya. Dengan nafas terengah-engah ia berusaha duduk kembali. Ia memandang tak mengerti. Jika Maryam yang ingin dicelakainya, mengapa ia yang merasakannya.
”Aku kirim jin jemalang untuk buat orang yang kau maksud menjadi gila, mengapa pula sebelum terlaksana kau bertingkah seperti orang gila?” tanya Datok sambil menepuk bahunya.
”Entahlah, Tok. Jangan-jangan jin yang Datok kirim salah orang,”jawab Sipru.
”Hah? Mana pernah salah orang? Potonya jelas. Sama sekali tak mirip muka kau yang buruk itu,” jawab Datok dengan gusar,”Sekarang pulanglah. Mulai besok, perempuan tu akan berteriak-teriak menjelang tengah hari dan tengah malam.”
Sipru mengangguk dan ia menyelipkan beberapa lembar ratusan ribu ke tangan Datok. Kemudian Sipru keluar dengan perasaan ngeri yang luar biasa karena merasa telah mengalami hal gaib yang membuat dirinya merinding. Jika meninggalkan gubuk ia tergesa-gesa, mulai memasuki jalan desa Sipru mengendap-endap takut ada saksi yang melihat ia keluar dari gubuk dukun santet yang sangat ditakuti warga kampungnya.
Sehari dua hari, reaksi perdukunannya belum terlihat. Maryam masih saja melenggang berjalan di pasar atau jalan menuju sungai tempat ia biasa mencuci kain. Maryam masih saja duduk dengan tenang kala matahari pas dipuncaknya. Sipru merasa ia telah ditipu oleh dukun santet jelek yang ditemuinya. Ia berencana akan kembali menemui dukun tersebut keesokan harinya.
Tengah malam, orang yang ronda mengetuk kentungan berkali-kali, tanda ada peristiwa yang tidak diinginkan terjadi. Sipru yang masih bermain judi di salah satu warung ikut berlari menuju pos ronda. Orang telah ramai berkumpul, kemudian mereka bergerak menuju rumah Maryam. Informasi dari pemuda yang ronda, mereka mendengar teriakan dari rumah Maryam.
Sesampai di depan rumah Maryam, keheningan yang mereka dapati. Mareka saling berpandangan dan kemudian pandangan mereka beralih pada pemuda yang menyampaikan informasi tersebut. Sebelum sempat kepala kampung bertanya, tiba-tiba teriakan panjang dan menyayat terdengar dari dalam rumah.
Pintu rumah yang terkunci didobrak oleh warga yang berkumpul. Di tengah ruangan terlihat Maryam berlutut memegang kepalanya dan membenturkan ke lantai. Mulutnya berceloteh seperti orang yang sedang mengigau, kemudian jeritan panjang keluar dari mulutnya. Warga kampung yang terdiri dari bapak-bapak berusaha memegangnya. Maryam meronta-ronta dan mengeluarkan kata-kata aneh. Maryam kesurupan, demikian anggapan mereka. Enam orang bapak tidak mampu memegang Maryam.
Syifa gadis kecil Maryam meringkuk ketakutan di dalam kamar. Tubuh kecilnya menggigil dan masih terus menggigil ketika Mak Ode tetangga mereka merangkulnya. Gadis kecil itu begitu ketakutan melihat ibunya yang kesurupan. Akhirnya Mak Ode memutuskan membawa Syifa ke rumahnya, sementara Maryam masih menyeracau tak keruan dan sesekali berteriak panjang.
Berjam-jam Maryam bertingkah aneh begitu. Menjelang subuh, akhirnya ia terlelap dengan sendirinya di lantai. Kapala kampung memerintahkan istri-istri aparat kampung untuk menemani Maryam hingga pagi dan terbangun dengan sendirinya. Mereka dilarang menyentuh Maryam yang sudah terlelap di lantai.
Pukul sembilan pagi Maryam terbangun dan ia terheran-heran mendapati dirinya terbaring di lantai ruang tengah.
”Syukurlah. Kau sudah sadar, Maryam,” kata istri kepala kampung.
”Ada apa Mak? Kenapa Iyam tidur di lantai? Kenapa emak-emak berkumpul disini?” tanya Maryam masih kebingungan. 
”Kau kesurupan malam tadi, Yam. Kau berteriak-teriak dan menyeracau tak keruan,” Mak Ode berusaha menjelaskan.
”Syifa, mana?” tanya Maryam mencari anaknya dengan pandangan.
”Dia di rumah Mak, Yam. Jangan kau cemaskan. Dia baik-baik saja. Ini teh hangat, silahkan minum dan makanlah barang sedikit,” ujar Mak Ode sambil mendekatkan cangkir teh ke bibir Maryam yang duduk termangu.
Maryam masih terlihat bingung. Tiba-tiba kepalanya merasa sakit yang luar biasa. Ia mengeluh dan memegang kepalanya,”Aduh Mak, kepala Iyam sakit sekali.”
Ibu-ibu yang lain berkumpul di sekitar Maryam. Semua memperlihatkan rasa simpati yang luar biasa. Maryam adalah perempuan yang sangat disegani oleh mereka karena ketabahan dan kedermawanannya. Maryam yang ketika baru menikah seminggu tiba-tiba harus menerima kenyataan bahwa suaminya meninggal dalam sebuah kecelakaan di kota. Dengan ketabahannya Maryam menerima kabar tersebut dan dengan ketabahannya pula ia mengandung anak suaminya seorang diri tanpa ditunggu oleh sanak saudaranya yang jauh merantau. 
Mertua Maryam telah berkali-kali memujuknya untuk tinggal bersama mereka di kota. Namun Maryam lebih memilih tinggal di kampung bersama warga yang selama ini telah dianggapnya sebagai saudara. Maryam selalu menerima kiriman yang lebih dari cukup untuk hidupnya sehari-hari di desa. Kiriman dari mertuanya yang kaya raya digunakannya untuk memberdayakan usaha warga kampung. Selama hampir lima tahun telah tampak perkembangan kampung tempat tinggalnya. Semua itu berkat kedermawanannya.
Selama hidup berdua dengan anaknya, Maryam hampir tidak pernah mengeluh sakit. Ia selalu ceria dan menyapa warga kampung yang ditemuinya dimana saja. Ketika ia bertingkah aneh seperti orang kesurupan, hampir semua warga kampung prihatin dan mendoakannya. Hanya satu orang yang merasa puas, yaitu Sipru. Sipru puas sakit hatinya terbalas. Bila cinta ditolak, maka dukun yang bertindak, demikian Sipru berpendapat.
Siang itu kembali Maryam kehilangan kesadaran. Ia berteriak-teriak dan berusaha membenturkan kepalanya di dinding. Ibu-ibu yang sejak subuh menunggunya kalang kabut dan memanggil perangkat kampung untuk memegang Maryam yang terus meronta.
Dokter puskesmas datang untuk melihat kondisi Maryam dan berusaha memberi suntikan penenang. Maryam bukan hanya meronta, ia juga mahir melompat dan memukul. Dokter muda yang telah siap-siap menyuntiknya menjadi sasaran pukulannya. Dengan meringis menahan sakit, dokter memerintahkan warga lainnya memegang Maryam beramai-ramai mengingat tenaga Maryam menjadi berlipat ganda. Akhirnya Maryam berhasil diberi suntikan penenang dan setengah jam kemudian ia tertidur.
Telah berhari-hari kondisi Maryam semakin memprihatinkan. Waktu sadar Maryam makin sedikit. Bila awalnya kesurupan berlangsung dua sampai tiga jam sehari, makin lama waktu kesurupan pun makin panjang. Kadang ia lupa dengan Syifa gadis kecilnya yang selalu ketakutan menyaksikan bundanya berteriak dan meronta.
Kepala kampung mengadakan rapat dengan aparatnya tentang kondisi Maryam dan mencari solusi yaitu langkah apa yang akan diambil untuk menolongnya. Beberapa orang menyarankan agar Maryam dibawa ke dukun untuk mengusir jin yang mengganggunya. Saran itu langsung ditolak oleh pemuka adat dan agama. Mereka lebih menyukai bila Maryam dibawa ke kota untuk dirukyah oleh ahlinya.
”Begini saja, pertama, kondisi Maryam harus kita kabarkan pada mertuanya. Kedua, kita tunggu pendapat mertuanya. Ketiga, sementara itu, Mak Ode tolong jaga dan rawat Assyifa,” demikian akhirnya keputusan kepala kampung.
Orang tua Andhika yang masih dianggap mertua Maryam segera ke kampung begitu mendengar kabar dari warga yang menelponnya. Maryam mereka dapati dalam keadaan terikat di tempat tidur puskesmas. Keadaannya sangat memprihatinkan. Dokter puskesmas menyarankan agar Maryam dibawa ke rumah sakit besar untuk dilakukan scanning bagian kepala sebab keluhan Maryam selalu berawal dari rasa sakit yang amat sangat di kepalanya.
Maryam dan Syifa dibawa ke kota. Maryam langsung dibawa ke rumah sakit dan diperiksa kondisinya. Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan berulah diketahui bahwa ada jaringan yang tumbuh tidak normal di otaknya dan mempengaruhi jalan pikirannya sehingga diantara rasa sakit yang luar biasa Maryam berhalusinasi diserang oleh sekelompok orang yang tidak dikenalnya.
Berbulan-bulan Maryam dirawat di rumah sakit dan kondisinya makin membaik. Sesekali warga kampung menjenguknya di kota. Kemudian menyampaikan kemajuan pengobatan Maryam pada warga lainnya. Mereka gembira karena Maryam sudah mulai membaik. Hanya satu orang yang marasa tidak senang karena masih menyimpan dendam kesumat pada Maryam. Mendengar kondisi Maryam yang semakin membaik, Sipru berencana menemui Datok dukun santet yang terasing itu.
Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Sipru langsung menerobos ke gubuk tua di pinggir hutan yang dulu pernah didatanginya berbulan yang lalu. Ia langsung duduk bersimpuh dihadapan Datok yang masih duduk di sudut ruangan yang sama dengan tempat ia duduk ketika pertama kali ditemui oleh Sipru. Datok masih kelihatan tertidur dalam duduknya. Sipru menunggu dengan perasaan tak sabar.
Lenguhan panjang mengagetkan Sipru. Ia melihat wajah keriput dan kotor Datok bergerak-gerak, dan mulutnya menguap dengan lebar menebarkan bau busuk yang membuat mual perut Sipru. Sipru meludah ke samping tempat duduknya.
”Datok,” panggil Sipru.
”Hmm...,” dengan malas Datok membuka matanya.
”Aku minta tolong lagi untuk menyengsarakan Maryam. Kalau bisa kali ini Datok buat mati saja dia,” tutur Sipru dengan kesumat yang tidak kunjung padam.
”Uh, kejam nian. Jampi-jampi apa yang kau inginkan,” tanya Datok
”Buat dia mati, Tok!” perintah Sipru.
”Mati ya? Baiklah. Merapat kau sikit,” Datok melambaikan tangannya menyuruh Sipru mendekat kepadanya. Sipru mendekat sambil menahan nafas. Alangkah baunya orang tua itu.
”Hai, penguasa hutan, raja segala jemalang. Datang kat sini bawa jompa jampi, puah sakali puah, sakali cuah, tar gedotarrrrrrr, bolang baling pikir sinting jamaling. Puah, puah,” Datok masih terus membacakan jampi-jampi untuk memanggil jin pencabut nyawa.
Sipru terkejut melihat mulut Datok mengeluarkan busa. Kemudian tubuh Datok bergetar hebat dan seperti tercekik lehernya, mata Datok terbeliak. Kejadian itu berlangsung cepat. Dan kemudian tubuh Datok terkulai lemas tak berdaya, namun masih dalam posisi duduk. Sipru menunggu reaksi selanjutnya. Setengah jam, tidak ada reaksi apa-apa dari Datok. Sipru mulai kuatir. Jangan-jangan orang tua itu yang mati, bukan Maryam seperti permintaannya. Ajiannya berbalik menyerang diri Datok.
”Datok....,” panggil Sipru. Yang di panggil diam tidak menyahut.
”Datok,” sekali lagi Sipru memanggil dan ia menyentuh tubuh yang terkulai. Begitu disentuh, tubuh Datuk langsung rebah ke samping dan gemirincing suara besi beradu terdengar dari kakinya yang bersila.
Sipru melihat ke arah kaki Datok. Kedua pergelangan kakinya dilingkari oleh rantai yang cukup besar. Sipru heran dan makin mendekat meneliti Datok yang dianggapnya sakti itu. Ternyata benar, Datok telah menghembuskan nafas terakhirnya setengah jam yang lalu setelah ia berkelenjotan sakratul maut.
Dari luar rumah terdengar langkah orang. Sipru kebingungan hendak bersembunyi. Sebelum sempat ia berdiri mencari persembunyian, pintu gubuk tersebut dibuka oleh seseorang. Orang tersebut terkejut dan bertanya,”Siapa disitu?”
”Aku, Sipru. Datok sudah meninggal,” jawab Sipru kebingungan.
Orang itu menarik nafas panjang,”Akhirnya, berakhir juga penderitaan bapakku.”
”Bapakmu? Siapa dia?” tanya Sipru tak mengerti dan ia tidak mengenal orang itu.
”Dia bapakku. Kami dulu tinggal di kampung sebelah. Tapi sejak bapak tidak waras karena obsesinya menjadi dukun terkenal, kami menahannya disini karena tempat ini yang disukainya. Setiap hari kami bergantian datang mengurusnya. Begitulah selama bertahun-tahun. Agar dia tidak mengganggu orang lain, kami terpaksa mengikatnya dengan rantai,” demikian penjelasan orang tersebut.
Sipru menelan ludahnya yang tiba-tiba terasa pahit. Ternyata selama ini ia minta tolong pada orang gila. Dan ia merasa marah dan malu sekali sebab Maryam sakit bukan karena santet yang dimintanya tapi memang karena ada penyakit di kepalanya seperti yang dikabarkan warga kampung. Jauh di lubuk hatinya, ada sebentuk penyesalan yang mulai menyamarkan dendam kesumatnya terhadap perempuan yang telah berkali-kali menolak cintanya. Ia sadar tidak selayaknya ia berpendapat ’cinta ditolak dukun bertindak,’ toh Maryam masih saja menolaknya hingga saat ini. Itulah kenyataan pahit yang harus diterimanya.
Sipru pulang dengan perasaan galau. Semua rasa bercampur aduk dihatinya. Marah, kesal dan malu pada kebodohannya yang mencari dukun santet untuk mengatasi masalah. Untung tidak ada warga kampung yang tahu dengan kebodohannya tersebut sehingga kewibawannya masih terjaga dan ia masih dapat mempertahankan predikatnya sebagai centeng kampung. Ia bertekad akan berusaha merubah perangainya yang tidak tidak disenangi warga kampung dan ingin menjadi pahlawan sungguhan seperti Robin Hood, centeng yang disayangi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar