Jumat, 24 Juni 2011

SERIBU WAJAH CINTA


Om Pes telah terlelap dengan dengkuran berirama khas. Laki-laki itu tertidur kelelahan di sisi Chyntia. Chyntia mendorong tubuh gemuk laki-laki itu sedikit agar posisi tidurnya miring untuk mengurangi suara bising yang ditimbulkan oleh dengkurannya. Usaha itu berhasil dan suara dengkur itu mulai berkurang. Chyntia menarik nafas panjang dan menatap plafon kamar tidur hotel mewah yang berwarna putih bersih itu. Pikirannya menerawang seketika.
Chyntia bangkit dan dengan ringan melenggang menuju kamar mandi. Perlengkapan mandi telah tersedia dan Chyntia mulai membersihkan dirinya dengan menggunakan antiseptik untuk menjaga agar kuman tidak mudah masuk ke tubuhnya. Ia mengusap pelahan kulitnya dengan spons yang telah ditetesi antiseptik. Berkali-kali ia mengulang membilas tubuhnya. Rasanya tetap belum bersih. Akhirnya ia menyudahi mandinya dan segera berpakaian.
Arloji yang melingkar manis di pergelangan tangan Chyntia menunjukkan pukul empat sore. Om Pes masuh pulas di tempat tidur. Chyntia tak ingin mengusiknya. Ia menulis di secarik kertas,’Saya pulang dulu. Makasih.’
Chyntia meninggalkan lobi hotel dengan tergesa-gesa seperti sedang dikejar sesuatu. Di dalam taksi yang mengantarnya barulah Chyntia bernafas lega seperti terbebas dari sesuatu yang menakutkan. Hp-nya berbunyi, tanda ada pesan yang masuk.
Pengirim pesan tidak dikenal. Bunyinya,’Jika kamu tidak memilihku, maka tak satu orang pun dapat memilikimu.’ Alis mata Chyntia bertaut tanda ia sedang berpikir keras dengan menduga-duga siapa pengirim pesan tersebut.
”Uh, tak penting banget!” Chyntia menggerutu sendiri.
Sesampai di kamarnya, Chyntia kembali menerima sebuah pesan singkat,’Lihat chanel TV mu sekarang!’
Chyntia mulai kesal. Tapi ia mengikuti perintah sms tersebut dan segera menyalakan televisi. Beberapa kali ia pindah chanel, tidak ada yang istimewa. Akhirnya ia meninggalkan televisi dalam keadaan menyala dan mengganti pakaiannya.
”Seorang pejabat ditemukan tewas di kamar hotel.....,” sebuah berita yang terkilas dipendengaran Chyntia dan membuat dadanya berdebar kencang. Chyntia segera melihat dan mendengarkan dengan seksama.
”Oh!” jerit tertahan keluar dari mulut Chyntia. Berita itu amat mengagetkannya sebab Om Pes yang baru saja ditinggalkannya, mati dengan kondisi mengenaskan. Lehernya digorok, mukanya digurat dan darah membasahi tempat tidur.
Pikiran Chyntia bekerja cepat. Ia segera mengemasi pakaiannya dan memasukkannya ke dalam ransel semuatnya. Dengan bergegas dia meninggalkan rumah dan segera menuju ATM terdekat untuk mengambil uang. Ia menarik sebanyak lima kali dengan total 10 juta rupiah. Kemudian ia melaju meninggalkan ibukota.
Chyntia begitu ketakutan. Pegawai hotel pasti mengenalnya dan ia adalah orang terakhir bersama korban. Sudah tentu ia akan dijadikan tersangka utama. Chyntia tak sanggup membayangkan ia akan ditahan dan diintrogasi bahkan sangat mungkin mengalami penyiksaan. Berhari-hari Chyntia berpindah-pindah tempat bersembunyi. Dalam persembunyiannya ia berusaha mengingat siapa diantara pelanggannya yang paling mungkin melakukan hal tersebut. Tidak ditemukan jawabannya membuat Chyntia makin frustasi. Begitu banyak yang menyatakan cinta padanya walau cuma sesaat.
Dalam pelarian yang melelahkan dan menyiksa batinnya, Chyntia teringat tempat mengadu yang dulu sewaktu kecil diajarkan guru agamanya. Tuhan, itulah tempat sebaik-baiknya insan mengadukan nasibnya. Kebingungan membuatnya memasrahkan diri dan mencoba kembali menjalankan ritual yang telah lama ditinggalkannya sejak ia merasa begitu malu dihadapan Tuhan sebab kekotoran dirinya sebagai wanita panggilan.
Chyntia menangis tersedu-sedu menengadahkan tangannya memohon ampunan dan meminta pertolongan. Permintaannya tak berjawab. Namun ia tahu Tuhan sedang menegur dan memberi peringatan keras padanya. Akhirnya, ia tak tahan dengan siksa batin yang dideritanya selama pelarian. Chyntia menyerahkan diri ke kantor polisi terdekat.
Selama dalam tahanan beberapa kali Chyntia dipindahkan. Chyntia menyangkal tuduhan yang ditujukan kepadanya. Namun tampaknya tidak ada yang mau percaya dengan perkataannya. Tuduhan tertuju padanya tanpa terlihat kemungkinan untuk membela diri dengan pembuktian.
Penjara bukan tempat impian siapa pun. Penjara, seperti imej yang tertanam di kepala Chyntia adalah tempat yang begitu kejam dan penuh kekejian. Meskipun belum divonis bersalah, Chyntia yang harus mereguk pahitnya penjara tidak dapat menolak nasibnya. Profesinya sebagai penjaja cinta dijadikan lecehan oknum dan beberapa kali ia diperkosa oleh mereka. Tidak ada seorang manusia pun, walaupun ia pelacur, yang dengan senang hati menerima pemerkosaan yang dilakukan atas dirinya. Chyntia berteriak, berontak, namun mereka tidak peduli. Benar-benar keji perlakuan mereka.
Sejak menjadi tahanan polisi, tak seorang pun menjenguknya. Chyntia mendekam sendirian tanpa dipedulikan oleh keluarga atau sanak keluarga. Chyntia sejak kecil telah yatim piatu dan dirawat oleh bibi satu-satunya. Ketika ia beranjak remaja, pamannya amat tertarik pada kemolekan tubuhnya dan hampir setiap hari membisikkan kata cinta. Ketika tiba-tiba ia hamil, bukan pembelaan yang diperoleh dari bibinya, Chyntia malah disiksa, diinjak dan ditendang hingga mengalami pendarahan hebat. Hidup masih melekat dibadannya dan ia diselamatkan oleh seseorang dari penderitaan tersebut.
Mamah Ami mengangkatnya menjadi anak. Chyntia di sekolahkan kembali hingga menamatkan SMA yang sempat terbengkalai. Profesi mamah sebagai wanita panggilan akhirnya menular padanya. Awalnya mamah menentang keinginannya tersebut, namun penyakit kotor yang menggerogoti mamah menyebabkan hilang mata pencariannya. Untuk bertahan, Chyntia memutuskan meneruskan profesi mamah setelah berkali-kali lamaran pekerjaannya ditolak.
Sedikit berbeda dari mamah, Chyntia yang berparas cantik dengan kulit putih bersih memiliki langganan orang-orang penting dari golongan atas. Meskipun berbeda karakter langganannya, tetap saja Chyntia disebut penjaja cinta. Beribu macam bentuk cinta ditemuinya, namun tidak satu pun melekat dihatinya. Semuanya hanya cinta semu sesaat saja. Profesi itu telah dijalaninya selama bertahun-tahun.
Telah beberapa bulan Chyntia menderita dalam tahanan. Tubuhnya semakin kurus dan wajahnya makin cekung, namun kecantikannya masih belum memudar. Ia mencoba untuk bertahan dan tabah menjalani hari-hari yang penuh siksa batin. Suatu hari ia menerima kiriman makanan dari orang yang tak dikenalnya. Ia membuka rantang yang diberikan kepadanya dengan hati-hati. Pada tempat paling atas ia temukan sebuah surat tanpa nama pengirim. Surat itu dibukanya dan ia mulai membaca.
’Jika kamu dari dulu setuju menjadi simpananku tanpa ikatan, maka nasibmu tak akan berakhir begini. Sekarang kuberi kesempatan terakhir padamu. Bila kamu mengikuti keinginku itu maka aku akan menyewa pengacara handal untukmu, dan kebebasan di depan matamu.’
Chyntia terkesiap. Dia tahu siapa orang ini. Hanya satu orang pernah memintanya menjadi simpanan tanpa ikatan perkawinan. Orang itu tak akan menikahinya walaupun hanya nikah siri. Ya, Tuhan... berarti orang inilah yang melakukan pembunuhan keji itu dan melimpahkan kesalahan padanya. Chyntia tak lagi mempedulikan makanan yang dikirimkan tersebut. Rantang itu diberikannya pada seorang teman baru yang kebetulan telah beberapa hari ini ditahan karena kesalahan yang hampir sama dengannya, pembunuhan.
Doanya selama ini terjawab. Setiap malam Chyntia berdoa agar diberi petunjuk oleh Tuhan tentang pembunuh sebenarnya. Petunjuk itu sudah datang. Sekarang tinggal bagaimana memanfaatkan petunjuk yang minim untuk mengumpulkan bukti bahwa ia tak bersalah. Chyntia memeras otak untuk menemukan jalan yang terbaik.
Waktu kunjungan pengacara dimanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Ia memperlihatkan surat yang baru saja diterimanya, dan menceritakan kecurigaannya terhadap seseorang. Selain itu, Chyntia juga teringat Hp nya yang terjatuh di bawah tempat tidur ketika ia bergegas melarikan diri tempo hari. Di dalam Hp itu tersimpan pesan dari orang yang sama menjelang pembunuhan tersebut terkuak dan disiarkan media massa. Sementara Hp yang disita polisi ada satu sms lagi yang dikirimnya. Pengacara Chyntia berjanji menguak misteri tersebut hingga tuntas. Ia akan mengusahakan semaksimal mungkin.
”Tapi hati-hati Amu, orang itu sangat berpengaruh. Tidak mudah mencari bukti, bahkan mungkin semua bukti telah dihilangkannya dan ia telah menyediakan alibi yang kuat agar ia tak tersentuh hukum,” kata Chyntia mengingatkan pengacaranya.
”Sudah tentu saya akan ekstra hati-hati setelah mengetahui siapa dia. Kamu yang tabah ya. Apakah masih terjadi pelecehan lagi terhadap dirimu?” tanya pengacara muda itu dengan penuh perhatian. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa hati pemuda itu telah terpaut pada wanita cantik yang sedang dibelanya.
”Tidak. Sejak kamu melaporkannya, tidak ada yang berani kurang ajar denganku lagi. Terima kasih Amu,” jawab Chyntia. Waktu membatasi mereka dan pengacara muda itu meninggalkannya. Sebelum meninggalkan Chyntia, masih sempat sang pengacara menatapnya lembut, menggenggam tangannya dan memberi kata-kata penyemangat.
Belum lama pengacara meninggalkannya, Chyntia dipanggil kembali sebab ada tamu untuknya. Chyntia heran sebab selama ditahan ia belum pernah menerima tamu selain pengacaranya. Tamu yang dimaksud sama sekali tidak dikenalnya tapi kepada penjaga ia mengaku kerabat Chyntia.
”Maaf, anda siapa?” tanya Chyntia.
”Saya Arol, bu. Saya disuruh menunggu jawaban ibu,” jawab tamu itu dengan sopan.
”Jawaban apa?” tanya Chyntia lagi.
”Kiriman makanan tadi, bu,” jawab tamu itu sambil menunduk, mungkin seperti kebiasaan di rumah majikannya.
”Hmm, katakan pada pak Bing, beri waktu saya untuk berpikir,” kata Chyntia dan ia sengaja menyebut nama itu dan mengamati reaksi sang tamu
”Baik, bu. Nanti saya sampaikan dengan bapak,” tamu itu kemudian pamit. Jawaban tamu itu makin menguatkan dugaan Chyntia terhadap orang yang menfitnahnya sedemikia rupa.
Proses berjalan terus. Chyntia benar-benar memasrahkan diri pada sang pencipta yang memiliki dirinya. Dalam tahanan ini, ia merasakan telah menemukan cinta sejati. Cinta yang begitu indah dan tak pernah melecehkannya, menyakitinya apalagi menyiksanya. Ia selalu dikunjungi setiap dirinya membutuhkan. Setiap waktu ia bebas berkeluh kesah pada kekasih hatinya itu. Walau sepertinya hanya mendengarkan saja, jauh dilubuk hatinya, Chyntia selalu mendengar panggilan sayang dan nasehat-nasehat melalui surat yang telah sejak lama dipersiapkan oleh kekasih untuk dirinya.
Sejak Chyntia menemukan kekasih hatinya dalam bentuk cinta yang kian hari kian menggunung, Chyntia tak pernah lagi berpikir tuk kembali pada cinta lamanya yang tampil dalam seribu bentuk yang asing baginya. Ia tak ingin berpaling kebelakang dan berniat melupakan masa lalunya dan membuka lembaran baru dengan kekasih pilihan hatinya. Kekasih yang amat mengerti dan menyayanginya
Chyntia tak pernah merasa malu atau takut untuk menceritakan kebobrokan masa lalunya pada sang kekasih karena tanpa diceritakan secara mendetail pun kekasihnya telah lebih mengetahui dibanding dirinya sendiri. Hidup Chyntia mulai bergairah kembali. Ketegaran yang diperlihatkannya memang luar biasa. Tak pernah sekali pun ia absen menghadiri sidang bahkan tak pernah ada alasan sakit untuk menunda sidangnya.
Siang ini adalah pembacaan putusan atas tuduhan pembunuhan yang tidak pernah dilakukannya. Chyntia berdiri dengan tegar mendengar hakim membacakan putusan. Dalam hati, tak putus-putusnya ia mohon perlindungan dan keadilan dari Tuhan. Dan akhirnya putusan itu telah jatuh. Chyntia dinyatakan tidak bersalah dalam hal pembunuhan yang dimaksud dan dengan pernyataan tersebut nama baiknya dipulihkan kembali, serta negara harus membayarnya selama masa tahanan.
Air matanya turun tanpa dapat dicegah ketika mendengar putusan tersebut. Perjuangan panjang yang dilalui untuk membuktikan fitnah telah menimpa dirinya ternyata berbuah manis. Bahkan yang teramat manis, melebihi dari segala manisan di muka bumi ini adalah rasa cinta yang mendalam pada kekasih hati yang ditemuinya ketika ia menjalani proses tersebut.
Amu, pengacara muda itu mendekati Chyntia dan demi kepatutan ia mengulurkan tangan memberi selamat. Jika mengikut hatinya, ia ingin memeluk wanita itu karena gembiraan yang meledak meletup atas keberhasilannya membela Chyntia. Keberhasilan yang membuat namanya sebagai pengacara makin terangkat dan yang lebih penting ia berhasil menyelamatkan wanita yang akhir-akhir ini mengusik hatinya.
”Selamat Tia. Semoga kamu bahagia dengan keputusan ini,” ucap Amu dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.
”Terima kasih Amu. Semua juga berkat perjuanganmu. Terima kasih karena mempercayaiku dan mengusahakannya untukku. Aku permisi dulu sebentar. Nanti kamu kutemui lagi,” ujar Chyntia yang telah lepas dari ketegangannya menunggu putusan dan senyum juga menghiasi wajahnya.
”Mau kemana?” tanya Amu keheranan sebab setahunya Chyntia tidak ada tempat yang akan didatangi selain kembali ke rumahnya.
”Menemui kekasihku dulu,”jawab Chyntia sambil tersenyum aneh.
”Kekasih?” Amu semakin heran,”Dimana kekasihmu itu?”
”Tidak jauh kok. Di mushalla belakang. Kamu dapat menungguku disini jika kamu mau. Atau ikut serta denganku, jika kamu menginginkannya,” jawab Chyntia sambil membuka tasnya yang berisi mukena.
Mengertilah Amu siapa yang dimaksud,”Aku akan menyertaimu, namun izinkan aku memintamu untuk menjadi pengikutku, berdiri di baris belakang diriku.”
Mereka tersenyum dan beriringan keluar ruang sidang yang telah sunyi ditinggalkan sejak tadi. Siang yang penuh rahmat dan keberkahan bagi ummat yang tahu bersyukur. Dan kumandang azan siang itu memanggil mereka untuk bertemu dengan sang penentu nasib. Bagi Chyntia, ia telah mantap memutuskan untuk mengajukan diri menjadi kekasih Sang Pencipta karena cintanya tumbuh dalam lingkup kasih sayang yang tak berbatas. Dan cintanya itu kian hari kian membesar hingga tak bisa terukur lagi, hanya pada Tuhan yang maha pengasih dan maha penyayang.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar