Kamis, 16 Juni 2011

KARENA JANJI


Airin melangkah dengan gemulai di sisi Andra. Mereka bergandengan memasuki ruang resepsi. Para undangan telah memenuhi ruangan dan duduk dengan khidmat menyaksikan prosesi pernikahan dengan adat Jawa. Tabuhan gamelan dan nyanyian sinden yang tadi terdengar kini hilang dan digantikan dengan celotehan pembawa acara yang sama sekali tidak dimengerti Airin.
Airin mengambil posisi berdiri dekat meja hidangan sementara Andra mencari tempat duduk yang masih kosong meninggalkan Airin sendiri. Airin lebih tertarik dengan hidangan yang beraneka ragam dari pada serangkaian prosesi yang sama sekali tidak dimengertinya dan sebenarnya acara seperti ini membuat hatinya sedih sebab ia menjadi teringat kondisi rumah tangganya dari awal hingga detik ini.
Setelah prosesi selesai, para undangan dipersilahkan menikmati hidangan. Airin menarik lengan Andra dan mengajaknya meninggalkan gedung tersebut sebab ia sama sekali tak menyukai acara seperti itu apalagi tidak ada yang dikenalnya selain suaminya.
”Makan dululah. Kok buru-buru?” tanya Andra yang keberatan dengan permintaan Airin.
”An, kamu tau aku tidak pernah suka acara beginian. Apalagi aku tidak mengenal mereka,” jawab Airin agak ketus.
”Sabar bentar napa? Ini klienku. Tak enak kalau kita buru-buru cabut. Kali ini tolong mengertilah,” pinta Andra seperti sebuah paksaan yang didukung tatapan tajamnya.
Airin cemberut dan mendengus pelan. Ia terpaksa mengalah dan mengikuti kemauan suaminya. Airin memutuskan duduk di pojok sambil menikmati sejumput buah potong yang dipilihnya sendiri. Ia menatap sedih ke arah Andra yang sibuk bercengkrama dengan teman-temannya sementara ia ditinggal sendirian di tengah lautan manusia yang tak dikenalnya sehingga ia benar-benar merasa terasing.
Angan Airin melayang jauh, kembali pada masa lalu saat setelah pesta pernikahannya. Andra sibuk melayani teman-temannya sampai subuh sehingga dirinya tak terjamah sama sekali. Hari-hari selanjutnya pun tidak begitu menggembirakan. Andra kelihatan dingin dan aktifitas keintiman suami istri sangat jarang dilakukan.
Airin pernah menanyakan hal tersebut, namun Andra tak pernah memberi jawaban yang masuk akal. Jawabannya selalu berubah-ubah sehingga Airin tidak pernah tahu alasan sebenarnya. Akhirnya Airin tak pernah lagi bertanya dan tidak terlalu mempedulikan hal tersebut.
Kadang Airin berpikir,’jangan-jangan suamiku homoseksual’. Sebelum menikah, mereka sempat berpacaran selama beberapa tahun. Andra sama sekali tidak pernah memperlihatkan gejala menyimpang tersebut. Namun frekuensi keintiman yang sangat kurang membuat Airin tak habis pikir dan terbersit sedikit kecurigaan dihatinya.
Setelah tujuh tahun usia pernikahan mereka, akhirnya Airin melahirkan seorang anak perempuan yang cantik. Airin menunggu kelahiran anaknya dengan harap-harap cemas sebab sebelumnya ia sempat keguguran. Ketika Nazwa lahir dengan selamat dan tak kurang satu apa pun, Airin sangat bahagia. Hari-hari Airin selalu disibukkan mengurus Nazwa setelah pekerjaan di kantornya selesai.
Satu hal lagi yang sangat mengherankan Airin, sejak Nazwa lahir Andra tidak mau lagi tidur sekamar dengannya. Alasan yang dikemukakannya adalah tidak suka terganggu dengan suara tangis bayi ketika ia tidur malam hari sebab ia perlu bangun pagi dengan kondisi fit mengingat pekerjaannya sebagai fotografer membutuhkan kejelian dan ketajaman pandangan. Airin protes. Tapi tak ada gunanya. Andra tetap tidur di kamar yang lain dan ia dibiarkan mengurus Nazwa sendiri.
Semula Airin mengira hal itu mungkin disebabkan Andra yang menginginkan anak laki-laki sehingga ia kurang merasa senang ketika Nazwa lahir. Tetapi ternyata dugaannya itu tidak benar sebab jika sore hari setelah Andra pulang kerja, ia selalu menggendong Nazwa untuk sekedar jalan-jalan sore di kompleks perumahan tempat mereka tinggal. Berarti ada alasan lain yang tak pernah mau diungkapkannya meskipun Airin berkali-kali menanyakan.
Parahnya lagi, sejak pisah kamar Andra pun praktis tak pernah menyentuhnya secara pribadi. Airin kerap mempertanyakan hal itu, namun bila pertanyaan tersebut dilontarkannya, maka Andra akan berlalu dengan diam dan beberapa hari menenggelamkan dirinya di studio seolah sibuk dengan pekerjaannya.
Pada tahun pertama pisah ranjang, hampir setiap malam Airin menangis menyesali nasibnya. Ia merasa diabaikan dan ditelantarkan sebagai istri. Kehidupan rumah tangganya benar-benar dingin. Airin bukan tidak berusaha mencari penyebabnya, namun hingga saat ini ia belum memperoleh jawaban dari keanehan sikap Andra tersebut.
Jika berada di luar rumah, mereka terlihat seperti sebuah keluarga yang harmonis. Airin selalu mendampingi Andra setiap ia bertemu dengan klien penting atau hanya sekedar memenuhi undangan makan dari rekan mereka. Airin pun menyembunyikan kondisi tersebut dari keluarganya. Ia tak ingin keadaan rumah tangganya menjadi beban pikiran ibu dan ayah yang sudah tua.
Jauh di lubuk hatinya, Airin berontak dan ingin lepas dari keadaan ini. Itu juga sebabnya ia sangat tidak suka bila diundang pada suatu resepsi pernikahan. Ia merasa pernikahannya telah lama hancur sejak Andra memutuskan pisah ranjang. Empat tahun ia mencoba bertahan dan selama itu pula tiap malam ia berdoa pada Tuhan agar diberi jalan yang terbaik bagi dirinya.
Penderitaan batin yang dirasakannya lambat laun merubah pandangannya terhadap nilai-nilai yang harusnya dianut dalam suatu perkawinan. Jika pada mulanya ia masih melayani kebutuhan suaminya selain yang satu itu, maka belakangan ini ia sudah tidak lagi melakukannya. Ia tak pernah lagi menghidangkan makanan buat Andra bahkan ia tak peduli jika Andra pulang atau tidak sekalipun.
Airin juga tidak lagi menuntut haknya sebagai istri yang menginginkan segala kebutuhan terpenuhi oleh suaminya. Bahkan uang gaji pun sudah tidak diberikan Andra kepadanya. Airin membiayai hidupnya berdua dengan Nazwa dengan bekerja sehingga tidak terlalu membutuhkan uluran tangan Andra untuk memberi mereka makan.
Beberapa malam yang lalu, setelah shalat tahajut dan memohon ampunan dari Tuhan, tiba-tiba terbesit dipikirannya untuk mengajukan cerai pada Andra. Airin merasa pernikahan ini sudah tidak ada gunanya dipertahankan. Ia sudah lelah dengan keadaan yang menyiksa batinnya. Bahkan akhir-akhir ini, ia mulai merasa mual setiap kali melihat wajah suaminya seolah yang dilihatnya adalah setumpuk kotoran yang harus segera dibersihkan.
Airin menyadari sepenuhnya bahwa perceraian adalah suatu jalan pemecahan yang diizinkan oleh Tuhan namun sekali gus sangat tidak disukai-Nya. Tapi, Airin sudah sampai pada titik nadir dan ia berbalik ke bawah ingin lepas dari ikatan yang menjerat lehernya dan membuat ia nyaris mati rasa. Walau bagaimana pun Tuhan menciptakannya lengkap sebagai manusia yang harusnya bisa menikmati berbagai rasa dalam hidup ini. Bukan hanya satu rasa yang membuatnya seperti mati suri selama ini.  
”Ayo kita pulang,” ajakan Andra mengagetkan Airin yang sedang melamun. Uluran tangan itu disambutnya dan ia berdiri mengikuti langkah Andra. Pesta telah usai, para tamu telah keluar dari gedung sejak tadi. Hanya beberapa orang yang masih berada di dalam karena urusan masing-masing.
Dalam perjalanan pulang, Airin bertanya,”Ini pertanyaan terakhirku Andra, tolong jawab sebelum aku mengambil sebuah keputusan tentang kita. Mengapa kamu begitu dingin? Kamu masih laki-laki normal kan?”
”Apa maksudmu Airin? Jelas aku laki-laki normal. Kamu tau itu!” keterkejutan terlihat nyata di raut wajah Andra.
”Mengapa kamu begitu dingin terhadap diriku? Bahkan aku merasakannya sejak kita baru saja menikah. Tidak cintakah kamu padaku?” suara Airin mulai meninggi menahan gejolak di hatinya.
”Jika tidak cinta, tak mungkin aku menikahimu,” jawab Andra sekenanya saja sementaranya matanya terus mengawasi jalan raya.
”Jadi mengapa? Jawab Andra!” pekik Airin yang telah dikuasai oleh amarah.
”Kamu terlalu berlebihan Airin. Apa seks begitu penting bagimu?” jawab Andra dengan emosi yang sama naiknya dengan Airin.
”Empat tahun Andra. Empat tahun kamu tidak menyentuhku sama sekali. Itu bukan masalah seks penting atau tidak. Tapi kamu telah menelantarkan aku. Baiklah Andra. Hari ini aku telah sampai pada satu keputusan. Ceraikan aku!” kata-kata Airin diselingi isak tangis tertahan.
Andra hanya diam menanggapinya seolah kata-kata Airin itu adalah gertakan saja. Tapi ia benar-benar keliru kali ini. Sesampai di rumah, Airin menyerahkan surat panggilan atas gugatan cerai yang telah diajukannya beberapa waktu yang lalu ke pengadilan agama.
”Andai saja tadi kamu menjawabnya, aku berniat menarik gugatanku. Tapi, ternyata kamu sama sekali tak pernah memikirkan aku dan Nazwa. Maka dari itu, penuhilah panggilan pengadilan agama ini, ” Airin berkata dengan tenang dan sangat lancar sebab ia telah menemukan dirinya kembali.
Andra menerima surat itu, membacanya dan kemudian termangu. Airin meninggalkannya sendirian dan ia menjemput Nazwa yang tadi dititipkan di rumah ibunya, tak berapa jauh dari rumahnya.
Pada ibunya ia menceritakan persoalan yang selama ini ditanggungnya sendiri dan keputusannya telah bulat untuk bercerai dengan Andra. Ibunya kaget dan berusaha menasehatinya untuk mengubah keputusan Airin. Namun argumen Airin membuat ibunya tak dapat memujuknya lagi. Anaknya yang biasa lembut sudah sampai pada batas kelembutannya menahan semua derita hidupnya seorang diri.
 Kembali dari menjemput Nazwa, Airin dikejutkan oleh tingkah Andra. Begitu  pintu rumah dibukanya, Andra menyongsong dan bersimpuh dihadapannya.
”Airin, tolong tarik kembali gugatan itu. Aku mohon.....,” katanya mengiba.
”Sudah terlambat Andra. Aku tak ingin menariknya kembali,” jawab Airin.
Andra memeluk erat kaki Airin dan menangis sejadi-jadinya,”Tolonglah Airin. Maafkan diriku. Apa kata orang tuaku nanti?”
”Ha? Kamu hanya memikirkan kata orang tuamu? Kamu tak memikirkan kami? Keterlaluan kamu Andra. Selamanya kamu hanya mementingkan diri sendiri. Sekarang, walau sudah tak terlalu penting lagi, jawablah pertanyaanku tadi. Mengapa kamu begitu dingin terhadap diriku, sementara katamu kamu mencintai aku,” kata Airin berusaha menarik kakinya. Ia merasa sangat risih diperlakukan demikian.
”Maafkan aku, Rin. Itu karena janjiku dengan Erna. Kamu tau aku juga pacaran dengannya ketika kita pacaran dulu. Ia sakit hati sekali ketika aku akhirnya menikahi kamu. Sehingga ia mau bunuh diri. Aku berusaha menyelamatkannya dari sayatan silet yang membuat darahnya nyaris habis. Setelah itu ia memaksaku berjanji untuk tidak menggauli kamu selagi ia tidak bisa merelakannya. Bila itu aku lakukan maka ia mengancamku akan bunuh diri lagi,” diantara isaknya Andra menjawab dan Airin sangat terkejut dengan jawaban itu. Ia tak menyangka sama sekali.
”Alangkah bodohnya kamu Andra. Andai kamu berterus terang dari awal maka tak akan begini jadinya. Sebelas tahun lebih kita menikah, tapi kamu masih terikat janji konyol dengan mantan pacarmu itu? Sama sekali aku tak menyangka. Jika demikian, maka tepatlah keputusanku ini. Tidak perlu kita teruskan pernikahan ini. Kamu bisa kembali padanya bila itu pilihanmu,” kata Airin sambil terus berusaha melepaskan diri dari Andra yang masih bersimpuh memeluk kakinya.
”Airin, aku telah memilih kamu,” lirih suara Andra mencoba melunakkan hati Airin, ”lagi pula Erna telah bersuami.”
”Iya. Kamu memilihku untuk disiksa batinnya. Tapi, terima kasih, akhirnya kamu mau membuka suara. Selama ini alasan jelek itu yang kamu simpan. Setiap aku bertanya tak pernah kamu mau memberi jawabnya. Ternyata....,” Airin tidak meneruskan perkataanya dan tertawa sinis.
Airin berlalu sambil menggeleng-geleng kepala. Benar-benar ia tidak menyangka alasan Andra. Dan ia bersyukur sekali telah mengambil keputusan ini. Ia merasa menjadi orang kembali. Ia menemukan hidupnya kembali yang bertahun-tahun sempat hilang terbawa nasib sial. Begitu bebas rasanya sehingga badannya begitu ringan dapat melayang kemana pun yang ia inginkan. Selama sebelas tahun lebih ternyata Andra hanya menjadi duri dalam dagingnya, berdenyut-denyut menyakitkan. Dan sekarang duri itu sudah berhasil dikeluarkannya. Tak pernah ia merasa begitu bahagia seperti saat ini, karena duri itu telah berhasil dikeluarkan dari hidupnya.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar