Minggu, 19 Juni 2011

PILIHAN HATI


Nasabah yang berurusan lumayan banyak, bahkan lebih banyak dari biasanya. Nomor antri untuk ke costumer service hingga lepas tengah hari telah mencapai 120 orang. Dua orang CS yang melayani agak kewalahan sebab sebagian besar dari nasabah membuka rekening baru yang membutuhkan waktu lebih lama bila dibandingkan permintaan pengecekan saldo rekening. Satpam sejak sepuluh menit yang lalu menghentikan pemberian nomor antrian sebab sudah menjelang waktu tutup pelayanan nasabah.
“Silahkan, Pak. Apa yang bisa saya bantu?” tanya Wenny pada nasabah terakhir.
Wenny masih menebarkan senyum manisnya walau kelalahan terlihat dari parasnya yang manis. Baginya kesibukan seperti ini merupakan hiburan perintang waktu yang akhir-akhir ini membuatnya resah bila dilewati dengan berdiam diri. Hanya kesibukan yang dapat membuatnya lupa akan persoalan hati yang menghimpitnya.
Setelah jam kerjanya berakhir, Wenny masih betah berdiam diri di ruangan tersebut. Meskipun sudah tidak ada pekerjaan lagi namun ia menunggu rekan terakhirnya pulang. Bahkan jika akhir bulan ia pulang hingga jam 10 malam menunggu bagian akunting menyiapkan laporan bulanan.
“Baru pulang, Wen?” tegur ibu ketika membukakan pintu untuknya.
“Iya, Bu,” jawab Wenny, “Wenny capek, mau langung mandi aja. Gerah, Bu.”
“Cepat mandinya, ya. Kami tunggu di meja makan. Ibu masak asam pedas baung, kesukaanmu,” kata ibunya.
Wenny mengangguk dan tersenyum. Kemudian ia langsung menghilang di balik pintu kamarnya. Akhir-akhir ini ia berusaha menghindari orang tuanya. Ia tak ingin mendengar pertanyaan ibunya tentang hubungan asmaranya dengan Heri. Ibu meminta Wenny segera mengakhiri hubungan tersebut. Hal itulah yang mengganggu pikirannya dua bulan belakangan ini hingga Wenny memilih tenggelam dalam pekerjaannya dari pada berenang di air mata ibu yang memohon untuk melupakan kekasihnya.
”Wen...,” panggil ibunya,”cepatlah keluar dari kamarmu. Kita makan dulu, nanti maagmu kambuh. Sudah terlalu malam ini.”
Wenny sejak tadi telah selesai mandi dan duduk melamun di tepi ranjang. Dengan  malas ia bangkit dari duduknya dan keluar menuju ruang makan. Ibu dan ayahnya sudah duduk menunggunya. Wenny duduk dan menunggu orang tuanya menyendok nasi. Ia makan dengan diam dan seolah-olah sedang menikmati makanannya.
”Bagaimana kabar Heri, Wen?” ibunya mulai membuka pembicaraan.
”Mungkin dia baik-baik saja, Bu.” jawab Wenny sekenanya,”Sudah seminggu ini Wen tidak kontak dengannya.”
”Apa kamu sudah mengatakan tentang keputusan yang harus kamu ambil?” tanya ibu sambil menatap Wenny penuh selidik.
Wenny menggeleng dan berkata,”Belum, Bu. Wen tidak tega. Bukankah dari awal perkenalan bang Heri sudah mengatakan mencari calon istri, dan Wen mengajukan diri untuk itu. Wen masih belum  bisa mengatakannya, Bu.”
”Jangan ditunda-tunda lagi, nak. Lebih cepat lebih baik agar dia bisa mencari orang lain dan tak berharap denganmu. Manado itu sangat jauh, sayang. Tak mungkin kamu ikut kesana. Tegakah kamu meninggalkan kami yang sudah tua ini?” kata ibunya dengan mata berkaca-kaca tanda tangis akan pecah bila Wenny tidak segera mengikuti kemauannya.
Wenny menarik nafas panjang. Alangkah berat beban perasaannya kali ini. Ia amat mencintai Heri, namun di sisi lain orang tua yang terlebih dahulu dicintainya menyuruh Wenny untuk menjauhi laki-laki yang dicintainya hanya karena alasan jarak yang amat jauh terbentang diantara mereka.
”Akan Wen usahakan secepatnya, Bu. Berilah Wenny sedikit waktu lagi,” jawab Wenny pelan dan sambil menahan hatinya yang tiba-tiba terasa sakit seperti ditusuk ribuan jarum halus.
”Ingat nak, ridhonya Tuhan tergantung dari ridhonya orang tua,” tegas ayahnya dan kalimat itu selalu menjadi senjata bagi mereka untuk memaksakan kehendak.
Setelah mengemaskan meja makan, Wenny pamit untuk segera beristirahat sebab ia merasa lelah dan esok hari harus masuk kerja pukul tujuh pagi. Wenny segera masuk kamar dan kemudian menumpahkan tangis yang sejak tadi ditahannya. Ia menangis sejadi-jadinya dengan bersidekap pada bantal guling agar isaknya tak terdengar keluar. Ia meratapi nasib cintanya yang tak pernah direstui orang tua.
Dulu, enam tahun ia menjalin kasih dengan Ferdi. Hanya karena Ferdi menggeluti bidang musik, yang menurut orang tuanya tidak memiliki masa depan, Wenny disuruh untuk melupakan cinta pertamanya itu. Wenny berontak dan lari dari orang tuanya dengan cara pindah kos tanpa memberitahukan mereka. Ketika itu Wenny masih kuliah dan tinggal di kota yang berbeda dengan orang tuanya.
Dalam pelariannya, Wenny sakit keras hingga teman sekamarnya terpaksa menghubungi orang tuanya. Akhirnya Wenny dijemput dan orang tuanya merawat dengan kasih sayang siang dan malam. Hati Wenny begitu menyesal telah mengabaikan perintah orang tua sehingga Tuhan menegurnya dengan menimpakan musibah tersebut.
Setelah sembuh, Wenny kembali meneruskan kuliahnya yang sempat terbengkalai. Setahun lebih skripsinya tak disentuh hingga ia harus mengganti judul dan mengulang dari awal kembali. Ia bertemu dengan Heri pertama kali melalui internet. Heri begitu baik dan penuh perhatian. Heri memberinya semangat untuk segera menyelesaikan kuliahnya.
Awal perkenalannya, Heri berterus terang sedang mencari calon istri dari kampungnya yang mau dibawa ke Manado tempat ia ditugaskan. Wenny yang terlanjur menyukai perhatiannya akhirnya bersedia menjadi kekasih Heri setelah terlebih dahulu mohon izin dari orang tuanya karena tak ingin peristiwa lama terulang kembali kelak.
Orang tua Wenny mengizinkan, bahkan reaksi mereka terhadap Heri memperlihatkan bahwa mereka menyukai pilihan anaknya itu ketika Heri menemui mereka lebaran tahun lalu. Wenny begitu bahagia melihat reaksi orang tuanya yang memberi sinyal merestui. Heri pun langsung mengemukakan niatnya akan melamar bila diizinkan. Dalam hal ini orang tua Wenny minta penangguhan hingga Wenny selesai kuliah. Hal itu jugalah yang memacu Wenny untuk segera menyelesaikan kuliah. Dan nasib baik juga memihak padanya. Begitu tamat S1,  Wenny pun lulus tes di salah satu bank dan di tempatkan di kota yang sama dengan orang tuanya.
Ternyata kemudian Wenny dihadapkan pada persoalan lain. Kenyataan sebenarnya, orang tua Wenny memberi izin hanya karena tidak ingin anaknya larut dalam kesedihan berpisah dari pacar pertamanya dan izin itu hanya bersifat sementara hingga anak mereka bisa bangkit kembali. Setelah Wenny menyelesaikan kuliah dan bekerja, menurut orang tuanya, Wenny akan lebih dewasa menanggapi persoalan hidupnya.
Dengan alasan bahwa Manado terlalu jauh bagi mereka, sementara mereka tidak bisa berpisah dari anak bungsunya itu, mereka meminta Wenny untuk mempertimbangkan kembali keputusan memilih Heri menjadi pendamping hidupnya kelak.
”Kalau hanya itu, kan nanti bang Heri bisa mengurus pindah ke sini, Bu. Lagi pula tempat mana sih yang jauh sekarang ini. Jika Ibu rindu, Ibu dapat ke sana dengan pesawat. Bahkan kalo sekedar bicara dapat menggunakan Hp,” demikian argumen yang diajukan Wenny dengan orang tuanya.
”Bukan begitu, Wen. Jika mendadak kamu sakit disana, mana bisa kami sewaktu-waktu terbang kesana karena pesawat ada jadwalnya bahkan rezeki juga ada waktunya tercurah. Lagi pula bukan mudah mengurus pindah. Pak Long kamu saja dua puluh tahun mengurus pindah, tapi tak pernah berhasil dipindahkan kesini. Ngomong memang mudah, tapi Ibu tak sanggup berpisah jauh dari anak-anak Ibu. Tolonglah mengerti. Ibu sudah tua dan sudah tak sekuat dulu. Diabet membuat langkah Ibu terbatas karena kelelahan. Tolonglah mengerti. Kamu belum lama berhubungan dengannya, sudah tentu tidak terlalu susah melupakannya. Lagi pula hubungan kalian selama ini hanya hubungan jarak jauh,” ibunya berbicara sambil terisak-isak. Jika demikian, Wenny tak sanggup lagi membantah ibunya.
”Beri Wenny waktu, Bu,” pinta Wenny memelas.
Orang tuanya keliru. Meskipun belum lama mengenal Heri, namun hati Wenny dari awal telah memilihnya dan ia sudah mempersiapkan diri untuk menjadi seorang istri bagi orang yang dicintainya itu. Bahkan getar cintanya lebih besar dari getar ketika bersama Ferdi. Wenny benar-benar dihadapkan pada dilema dan ia tak yang tahu mana satu harus dipilihnya; orang tempatnya melabuhkan cinta hingga akhir hidupnya atau orang tuanya yang telah mencintai dirinya seumur hidup.
Setiap malam, Wenny sengaja bangun untuk tahajud dan memohon petunjuk dari Tuhan agar diberikan jalan yang terbaik tanpa harus melukai salah satu dari orang-orang yang dicintainya. Andai kata bunuh diri diizinkan, maka ia akan memilih jalan itu agar tidak harus memilih salah satu dari orang-orang yang dicintainya dengan melukai yang lainnya.
Malam ini, usai isak tangisnya sesaat, Wenny memutuskan untuk istiqarah memohon petunjuk pilihan mana yang harus diambilnya. Dengan khusu’ Wenny berdoa dan isak tangis kembali menyeruak dari sela bibirnya dan air mata bercucuran tiada henti hingga menjelang subuh. Ia tertidur sebentar dan tersenyum seperti mimpi indah dalam tidur yang sekejap itu.
Ketika azan subuh berkumandang, Wenny terbangun dan segera berwudhu dan shalat. Matanya yang membangkak segera dikompres agar bengkaknya berkurang dan riasan mata menutupi agar tidak ada yang tahu bahwa sepanjang malam dilaluinya dengan tangis. Ia berangkat kerja seperti biasanya dan seolah hari ini sama dengan hari kemarin, tidak ada yang aneh terjadi.
Hari ini Wenny pulang lebih awal dari biasanya. Jam lima sore ia telah sampai di rumah. Dengan langkah ringan dan senyum sumringah ia mengucapkan salam. Ibunya heran menyambut kedatangan Wenny yang tak seperti biasa. Lebih heran lagi ketika sebuah truk masuk pekarangan rumah mereka dan menurunkan kayu bakar demikian banyaknya.
“Wen, kok tumben pulang cepat?” tanya ibunya.
“Ini hari istimewa, Bu. Mana Ayah?” Wenny balik bertanya sambil tersenyum misterius.
”Trus, itu truk, siapa yang suruh kesini bawa kayu bakar?” tanya ibunya makin heran.
”Wenny, Bu,” jawab Wenny singkat.
Kayu bakar telah diturunkan dan disusun sedemikian rupa. Wenny berdiri di tengah susunan kayu tersebut. Ayah dan ibu berdiri tak jauh darinya, memandang dengan penuh keheranan. Mereka memandang putri mereka dengan gelisah dan menunggu penjelasan.
Dari dalam lingkaran susunan kayu bakar Wenny tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Kondisi yang bertolak belakang ini membuat ibunya memiliki dugaan jelek tentang tingkah putri bungsunya itu.
”Ibu,” kata Wenny pelan,”sungguh anak Ibu ini tidak mau menjadi anak durhaka. Ayah, tak ada yang anakmu harapkan dalam hidup ini selain dari ridho Tuhan. Tapi, Ibu, Ayah, hati Wenny telah memilih bang Heri untuk menjadi pendamping hidup hingga akhir hayat. Karena itu, jika Ibu dan Ayah tidak meridhoi pilihan anakmu ini, jangan jadikan Wenny anak durhaka. Jerigen itu bensin isinya dan di sampingnya pemetik api. Silahkan Ibu mulai membakar kayu ini agar Wenny tidak mati dalam kedurhakaan terhadap orang tua dan ridho Tuhan masih ada pada Wenny.”
Ibunya menangis dan memeluk erat ayahnya.
”Apa-apaan ini?”tanya ayahnya tidak mengerti.
”Ibu. Jika ibu memaksa Wen melupakan bang Heri, itu sama artinya ibu membunuh Wen pelan-pelan karena Wen tak akan sanggup melupakannya. Wen yakin dengan pilihan ini. Tapi, Wen tidak mau menjadi anak durhaka, Wen tak mau hidup tanpa ridho Tuhan. Maka dari itu, sebelum Wen jadi penghuni neraka karena menentang perintah orang tua, lebih baik Ibu dan Ayah menyaksikan Wen dibakar oleh api pilihan Wen ini,” lirih kata Wenny dan air matanya mulai bercucuran.
”Wenny...,Wenny...,”erang ibunya, ”jangan begitu nak. Semua masih bisa kita bicarakan.”
”Ini sudah waktunya Ibu. Wenny tak sanggup menanggungnya lagi. Jangan suruh Wen memilih antara Ibu dan bang Heri. Hari ini, giliran Ibu dan Ayah yang harus memilih,” jawaban Wenny memperlihatkan kemantapan hatinya.
Wenny memejamkan matanya menunggu keputusan orang tuanya. Ia benar-benar pasrah. Tak henti-hentinya ia memanjatkan doa pada yang maha kuasa agar orang tuanya diberi kelunakan hati menerima pilihannya.
Tak lama kemudian Wenny mendengar bunyi kayu yang jatuh berserakan. Namun Wenny masih tegak diam dan terpejam menunggu nasibnya. Kamudian ia merasa ditarik dan ibunya memeluk erat dirinya.
”Intan payung, buah hati Ibu... jangan begini nak. Mana ada orang tua yang sanggup menyaksikan anak kesayangannya dibakar oleh kayu ini,” kata ibunya disela isak yang makin menguat. Wenny masih diam dengan mata terpejam.
”Keluar dari tumpukan kayu ini, sayang,” ayahnya ikut memujuk. Namun Wenny masih tegak dengan kokoh, tak mau beranjak.
”Ooooi anak Ibu, buah hati Ibu. Berat nian pilihan yang kau balikkan kepada kami. Jelas kami lebih memilih keselamatanmu, kebahagiaanmu,” isak ibunya yang semakin melemah. Wenny mengerti, itulah jawaban yang ditunggunya.
”Terima kasih, Ibu. Restuilah anakmu ini dengan penuh keikhlasan. Jangan pernah menyangsikan takdir Tuhan, Bu. Tidak ada tempat yang jauh di muka bumi ini oleh Tuhan. Mengapa Ibu mengatakan jauh bila di hati Ibu selalu ada anak ibu ini,” Wenny membalas pelukan ibunya dan mereka saling bertangisan dalam pelukan yang kian erat.
Beban berat itu pun lepas sudah dari hati Wenny. Restu ibu telah dikantongi dan kini tinggal ia mengabari bang Heri tercinta untuk segera mengirim utusan buat melamarnya. Dalam isak tangis yang panjang, kebahagian datang menjelang dan kelegaan itu luar biasa rasanya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar