Senin, 09 Mei 2011

SELAMAT JALAN KASIH


Malam semakin kelam. Rembulan sembunyi di balik awan, kadang mengintip malu-malu namun bersembunyi kembali. Waktu yang terus berlalu menyebabkan malam makin larut dan kesunyian makin terasa. Keheningan yang mencekam bersanding dengan kegelapan mencuatkan kegelisahan yang kian mendalam. Gitar yang sejak tadi menemaniku, ku sandarkan ke dinding karena mulai terasa berat dalam pangkuan.
Aku termangu, masih enggan meninggalkan tempat duduk yang telah empat jam lebih menyangga bokongku. Sudah panas rasanya. Tapi aku tak peduli. Dengan pemilik warung aku mengatakan akan bergadang di tempat ini, dan aku sudah mengantongi izin untuk itu.
Ini rokok terakhir yang kusulut dari bungkus kedua sejak sore. Sejak tadi mulutku sudah seperti sepur tua yang mengeluarkan asap tiap sebentar. Kadang-kadang aku mempermainkannya dengan membentuk bulatan-bulatan yang bergulung-gulung. Sekali-sekali aku menepisnya membuyarkan gulungan asap tersebut.
Kegelisahan merambat pelan ke hatiku. Aku tidak tahu dari mana datangnya perasaan itu. Tapi makin lama, perasaan itu makin menyesakkan dadaku. Aku segera mematikan puntung yang masih tinggal setengah, mengira itu penyebab sesak yang tiba-tiba kurasakan. Namun itu juga tidak membuat dadaku lapang. Perasaan gelisah ini sebenarnya telah hadir sejak tadi. Aku berusaha merintanginya dengan main gitar. Lewat tengah malam kegelisahan itu makin menjadi.
”Aguuuus...,” suara lirih panjang yang sangat pelan nyaris seperti berbisik di telingaku.
Refleks aku menoleh ke kiri asal suara tersebut. Sekelebat bayangan bergerak cepat dan kemudian berdiri tepat dihadapanku, hanya beberapa langkah dari tempat dudukku. Makin lama bayangan itu makin jelas.
“Aku minta maaf…,” suaranya demikian pilu dan raut wajahnya terlihat sendu.
”Kirana? Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kamu tidak salah apa-apa padaku,” jawabku dengan debaran aneh di dada. Berikutnya, tenggorokanku rasa tersumbat batu sebesar kepalan tangan.
”Aku hanya ingin mendengar kata maaf dari bibirmu. Maafkan aku yang telah mengusik ketenteraman hatimu,” kata-kata yang keluar dari bibirnya makin lirih dan terdengar makin jauh. Aku tak sanggup menjawabnya.
Makin lama bayangan itu kian memudar dan tatapan matanya semakin kosong, tak bercahaya seperti hampir padam pelita kehidupannya.
”Agus..,” bisiknya lirih,”rasa sayang padamu ku bawa sampai mati...,” itulah kata terakhir yang kudengar sebelum bayangan itu benar-benar hilang dari pandangan.
Aku tersadar dari ketersimaanku. Aku mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Tak ku temukan bayangan tadi dalam siluet subuh yang telah menjelang.
”Ternyata hanya mimpi,” batinku menengahi ketakjubanku pada peristiwa yang baru kualami. Aku yakin, aku tertidur sekejap tadi. Walau aku masih ragu apakah benar demikian, namun itulah jawaban untuk menenteramkan hatiku.
KIRANA adalah nama yang mengusik hatiku beberapa bulan belakangan ini. Nama yang sempat menghiasi hari-hariku dengan cinta kasih yang membuai dan melambungkan angan jauh menembus langit biru.
Kirana yang selalu kuimpikan dan yang mampu menggugah hasrat hatiku. Yang selalu membuaiku dengan tutur kata manis nan memabukkan. Yang selalu tampil bersahaja namun sangat anggun dan pancaran kasih sayangnya mampu melembutkan kekerasan hatiku, mampu meluluhkan kecongkakanku.
Namun Kirana adalah Kirana yang tidak mungkin dapat kumiliki meskipun segala puja dan puji ku tujukan padanya. Kirana adalah sosok impian yang telah menjadi milik orang lain dan dengan segala santunnya ia begitu mengabdi pada suaminya.
Hubungan kami tidak lebih dari barisan dialog yang terus-menerus muncul dan bersahut-sahutan di Hpku. Perhatiannya, kata-katanya yang begitu indah seperti berpuisi menyentuh hati dan perasaanku. Aku selalu berkhayal andai dia benar-benar menjadi kekasihku.
Dari awal Kirana telah mengingatkan kalau hubungan kami hanya sebatas pertemanan biasa yang akan dibumbui kemesraan sebab ia memiliki misi tertentu. Aku tidak lupa namun perasaanku tak bisa berdusta. Seiring berjalannya waktu perasaan cinta makin membuncah dan sangat sulit ku tahan.
Nalarku kadang tidak bekerja dengan baik. Dan aku lupa kalau ia telah menjadi milik orang lain. Tanpa kusadari sepenuhnya aku sangat menikmati hubungan yang terbentuk sebagai sebuah sensasi yang maha dahsyat. Namun, suatu ketika arus kesadaran kembali mengingatkanku akan hakekat sebenarnya.
Aku ingin bebas dari belenggu asmara yang membuatku bahagia sekaligus merana. Jika aku masih berhubungan dengannya melalui media pesan elektronik  aku semakin kacau, maka aku putuskan untuk melepaskan diri dari kontak dengan mengganti kartu ponsel dan menghapus akun facebook atas namaku. Aku akan hilang kontak dengan seluruh temanku, tapi biarlah bila itu lebih baik. Lagi pula hanya untuk sementara, sampai aku mampu mengontrol hatiku. Bila semua telah kembali sesuai pada tempatnya maka aku akan mencari mereka kembali.
Hari-hari selanjutnya aku berteman dengan sepi, untung ada gitar yang dengan setia menemani malamku. Namun kerinduan tetap saja mendera dan sekuat tenaga aku menahannya.
Sebulan yang lalu ketika kartu lama ku aktifkan untuk menghubungi sahabatku di Jakarta sebuah sms masuk dan isinya sangat mengejutkan hatiku.
’ternyata aku terkena kanker stadium 4,’ singkat bunyi pesan itu tapi rasanya seperti petir di tengah hari terik. Pesan singkat itu dikirim 8 jam sebelumnya, berarti sekitar tengah malam. Ada dorongan besar dalam jiwaku yang mendesak untuk menemuinya. Hati kecilku menyanggah sebab saat itu entah mengapa kerinduanku memuncak dan hal tersebut mempengaruhi benteng pertahanan yang sudah kubangun sejak memutuskan akan melupakannya. Jika aku menemuinya maka rasa cinta yang kupendam akan kembali menyeruak ke permukaan dan aku tidak akan mampu menutupinya lagi.
Bayangan yang hadir menjelang subuh tadi menyisakan kegelisahan panjang. Setelah mandi dan sarapan, aku mengaktifkan Hp dan sebuah pesan masuk. Ternyata dari sahabatku. Aku segera membukanya.
’Jika kamu tak ingin menyesal seumur hidup, segera ke alamat ini...’ demikian isi pesan itu. Pesan yang misterius dan benar-benar membuat kepalaku berdenyut.
Tiba-tiba jantungku berdetak kencang, perasaan semakin tak karuan. Jika itu tak penting sekali, tidak mungkin sahabatku mengirim pesan singkat yang bernada mendesak begitu. Alamat itu asing bagiku, tapi aku dapat mencarinya.
Dengan rasa penasaran yang luar biasa akhirnya kutemukan alamat yang dimaksud. Sebuah rumah besar berhalaman luas dan begitu banyak orang yang berkumpul disana.
”Hmm, rumah siapa ini?” bisikku, bicara pada diri sendiri.
Aku mengedarkan pandangan ke segala penjuru, berharap menemukan orang yang ku kenal. Semuanya asing bagiku. Seseorang menepuk bahuku dari belakang. Aku terkejut dan segera membalikkan badan.
”Rudi?” tanyaku keheranan melihat sahabatku berada disini.”Kapan datang? Ini rumah keluargamu?”
”Aku berangkat dengan pesawat malam tadi. Sampai tengah malam,” jawab sahabatku. Ia menuntunku masuk ke dalam rumah lewat beranda samping. Bau khas tercium olehku. Wewangian yang membuat perasaanku semakin tak enak.
”Ada apa, Rud? Ini seperti suasana kematian. Siapa yang meninggal?” tanyaku setelah sampai di suatu ruangan yang luas.
Rudi menunjuk ke tengah ruangan. Mataku mengikuti arah yang ditunjuk. Di tengah ruangan itu, begitu jelas ada sesosok mayat yang tebujur kaku ditutupi kain batik. Beberapa orang duduk di sampingnya.
”Demi Tuhan, Rud. Itu siapa?” tanyaku sambil mencengkeram bahu kirinya. Tiba-tiba kepanikan menjalari jiwaku.
”Itu Kirana, Gus. Ia pergi menjelang subuh tadi. Kanker telah merenggutnya dari kita. Ia hanya mampu bertahan sebulan saja,” jawaban sahabatku itu membuat seluruh tubuhku bergetar. Kakiku menjadi berat untuk dilangkahkan.
Rudi menuntunku hingga sampai di sisi mayat yang terbujur kaku itu. Kain penutup wajah yang berupa selendang tipis disingkapkannya. Dan aku menatap wajah pucat pasi yang diam dengan mata terpejam dan bibir seperti tersenyum. Ia seperti tertidur saja layaknya.
Aku tak tau harus mengapa. Jiwaku seperti ikut hilang bersamanya. Seseorang menyodorkan sebuah amplop padaku. Aku melihatnya.
”Mas, maaf, aku tidak tau kalau Kirana sakit,”terbata-bata aku mengucapkan kata itu pada suaminya. Ia mengangguk dan menyerahkan amplop itu ke tanganku.
”Sebelum ia pergi, ia mengatakan ingin mendengar kata maaf dari bibirmu. Paling tidak begitulah igauannya,” kata Andrian ,”Sekarang dihadapanku, tolong ucapkan.”
Aku mengalihkan pandangan ke wajah yang sudah tak bercahaya itu,”Aku memaafkanmu, Kirana. Aku memaafkanmu....,” tak terasa air mata mulai turun mengalir di pipiku. Andrian menepuk-nepuk bahuku dan meninggalkanku sendirian. Rudi pun ikut meninggalkanku. Mataku tak lepas dari wajah pucat pasi itu.
Begitu ingin aku mengecup dahinya sebagai ucapan maaf dan sesalku. Tapi demi kepatutan dan keangungan namanya aku menahan diri dan jari jemariku menyentuh wajahnya sebagai pengganti keinginanku. Wajah yang tidak hanya pasi namun sudah dingin lali. ”Selamat jalan kasih...” bisikku sangat pelan dan setelah itu aku menyeka air mata yang tiba-tiba menderas mengalir di pipiku. Air mata langka yang hampir tak pernah aku keluarkan seumur hidupku. Kali ini tanpa dapat kutahan ia turun seperti hujan.
Setelah prosesi berakhir.
Surat yang sejak tadi ku pegang, mulai kubuka dan kubaca.

”Agus, teman baikku,
Aku menyadari umurku sedang dikejar waktu. Bila sampai waktu ku, ku ingin kamu tau bahwa aku menyayangimu sama seperti dengan yang lainnya, tiada kubedakan. Jangan pernah mengukur cinta dan kasih sayangku, karena cintaku sedalam samudera dan kasih sayangku seluas angkasa.”

Singkat surat itu, namun aku merasa bernaung di bawah cinta kasih seorang Kirana. Selamat jalan Kirana....

2 komentar: