Jumat, 06 Mei 2011

ISTRI POLITIK




Petra menebarkan senyum ke seluruh masyarakat yang sejak tadi mengelu-elukan kedatangannya beserta suaminya yang telah dua periode menjadi pejabat daerah. Kepada orang-orang yang mengulurkan tangan sebisanya ia membalas menjabat tangan mereka atau sekurang-kurangnya menyentuh dengan tangan. Agar tidak mengecewakan yang lainnya, ia melambaikan tangan ke arah mereka.
Para ajudan suaminya dan pihak kepolisian berusaha melapangkan jalan dengan mengarahkan masyarakat untuk membentuk barisan di sisi jalan yang akan dilalui oleh dirinya beserta rombongan. Petra masih harus terus menarik kedua sudut bibir ke atas untuk memberi kesan senyum walau dihatinya ada perasaan jenuh dengan mimik wajah yang harus ditampilkannya, rona senyum yang menawan.
”Uf...,” Petra menghembuskan nafas dengan keras setelah ia berhasil masuk ke mobil yang tak lama kemudian disusul oleh suaminya.
”Acara kali ini cukup sukses. Lihat antusias masyarakat menyambut kamu tadi,” kata suaminya sambil mengulurkan tangan,”selamat, ya.”
”Makasih,” jawab Petra singkat dan ia menyambut tangan suaminya dengan acuh tak acuh.
Beberapa ratus meter berikutnya, mobil tersebut berhenti. Suaminya keluar dan pindah ke mobil lainnya.
”Sampai ketemu besok. Ingat, perlihatkan semangatmu dan tampakkan bahwa kamu bisa jadi pemimpin yang baik bagi mereka,” demikian kata sang suami sebelum meninggalkannya berdua dengan supir.
Petra mengangguk dan menatap punggung suaminya dengan pandangan hampa seolah menatap kepergian orang yang tak dikenal. Mobil suaminya meluncur lebih dahulu, barulah kendaraan yang ditumpanginya bergerak perlahan.
”Pak, jangan pulang dulu. Kita keliling-keliling saja,” perintah Petra pada supir. Sang supir mengikuti perintah majikannya seolah telah paham apa yang diinginkan.
Petra memandang kosong ke luar. Kehampaan mengisi ruang hatinya. Lakon yang harus dijalaninya terasa begitu berat dan amat menyiksa. Hampir tiap malam ia harus menghapal dialog dan melatih ekspresi wajah agar dapat tampil prima di atas panggung. Ia sedang memainkan lakon politik dan peran utama yang diperolehnya berkat dukungan penuh dari sutradara yaitu suaminya.
Agenda hariannya padat. Petra disibukkan dengan berbagai acara dalam rangka menjual diri kepada publik agar ambisi sutradara untuk menjadikannya orang nomor satu di daerah ini terwujud. Pagi hari sosialisasi, siang hari makan bersama ibu-ibu PKK atau majelis ta’lim, sore hari menyalurkan bantuan ke daerah-daerah miskin. Ia benar-benar tak ada waktu untuk dirinya sendiri, malam pun harus diisi dengan latihan adegan yang akan dilakoni keesokan harinya.
Hari demi hari Petra lalui dengan perasaan tertekan dan siksaan batin yang demikian kuat menghimpitnya. Kadang ia ragu apakah menjadi orang nomor satu itu benar impiannya atau hanya sekedar pelarian kecewa hati. Meskipun orang-orang terdekatnya mendukung niat tersebut, namun jauh di lubuk hatinya bukan itu yang dicarinya. Ia mencari yang sangat dicintainya dan telah bertahun-tahun hilang yaitu suaminya.
Meskipun mereka masih terikat tali perkawinan, namun semua itu hanya simbolis. Kenyataannya, dalam kehidupan sehari-hari mereka hampir tak pernah bersama. Jika akhir-akhir ini bersama, itu disebabkan dukungan untuk menjadi orang nomor satu, bukan sebagai suami yang mengayominya, menjaga dan menyayanginya.
Sejak jadi pejabat daerah, suaminya menjadi sangat sibuk. Hampir tak ada waktu di rumah. Tiap minggu ada saja acara ke luar kota. Jika kembali dari berbagai kegiatan, suaminya tidak langsung pulang menemuinya. Suaminya mampir dulu ke tempat istri-istri siri yang disembunyikan dari mata publik untuk menjaga kewibawaannya. Jika pulang ke rumah pun hanya untuk mandi dan mengganti pakaian saja. Tegur sapa menjadi barang yang langka bagi mereka.
Kemesraan yang telah sirna diantara mereka menjadikan mereka seperti orang yang tidak saling mengenal. Semuanya penuh basa basi dan terasa sangat menyiksa bagi Petra. Pada awalnya ia telah berusaha memperbaiki keadaan tersebut dengan mengurangi kesibukan di luar rumah. Ternyata itu belumlah cukup bagi suaminya yang memiliki pesona tersendiri bagi banyak perempuan. Dengan alasan ketidak-mampuannya memberi keturunan, ia terpaksa merelakan diri dimadu jika itu membuat suaminya senang. Hatinya tercabik-cabik dengan alasan yang memojokkan itu. Namun kepasrahan dan rasa tak berdaya menyebabkan ia terpaksa menyetujui keinginan tersebut. Suaminya sangat pandai memanipulasi dirinya sehingga dalam ketakberdayaan Petra harus mampu menutupi keadaan yang menghisap habis cahaya kehidupannya ini.
Itu pun belumlah cukup, demi ambisi sang suami ia juga rela dijual kepada publik. Apalagi ambisi tersebut mendapat dukungan dari orang tua Petra yang merupakan salah satu orang ternama di daerah ini. Pengaruh orang tuanya cukup besar terhadap politik setempat. Kemauan suaminya mendapat dukungan penuh dari ayahnya yang tidak pernah tahu bahwa anaknya telah diperlakukan dengan tidak adil. Petra menahan semuanya dengan pertahanan yang berlapis hingga kondisi rumah tangganya tidak diketahui siapa pun termasuk orang tuanya.
Awalnya, Petra beranggapan jika ia memenuhi keinginan dan ambisi suaminya untuk menjadi orang nomor satu maka sang suami pasti akan mendampinginya dan lambat laun ia dapat menarik kembali ke sisinya. Harapan yang tumbuh menyebabkannya menyetujui ide tersebut. Bujukan sang suami meluluhkan hatinya walaupun ia sama sekali tak menyukai politik. Hatinya lebih memilih hidup tenang di sisi suaminya. Ia begitu mendambakan kebahagian bersama dengan suaminya kembali. Asa yang entah kapan akan terwujud.
Memang benar sang suami menjadi lebih sering berada di sisinya. Hampir sepanjang siang Petra selalu bersama sang suami menghadapi masyarakat yang akan dipengaruhinya dalam pemilihan yang akan datang. Dari hari ke hari kondisi tersebut stagnan, tidak berkembang sama sekali. Kebersamaan mereka hanya sebatas itu. Harapannya hanya tinggal harapan, lagi-lagi kehampaan menerpa hatinya yang telah lama menyepi. Pertahanan berlapis yang dibangunnya pun mulai goyah. Kekecewaan demi kekecewaan mengikis pondasi pertahanannya.
”Pa, aku ingin bertemu sekarang. Ada hal penting yang akan aku sampaikan,” Petra menghubungi sang suami yang baru saja meninggalkannya dengan mobil lain.
”Ada apa? Kita baru saja bersama, kenapa tidak tadi saja kamu sampaikan,” formalitas sekali nadanya. Petra benci itu. Sangat membenci keformalan seperti itu.
”Ini baru terpikir dan penting bagi perkembangan pencalonanku,” tegas Petra berkata dan ia mengharapkan sang suami mau berbalik dan menemuinya.
”Hmm, baiklah, jika itu untuk membicarakan tentang pemilihan, di Resto saja ya,” jawab suaminya.
Setengah jam berikutnya mereka bertemu di sebuah restoran besar di kota ini. Makan malam sudah terhidang. Meskipun dirasa telat untuk makan, Petra telah memesannya terlebih dahulu sebab sejak siang mereka berdua memang belum makan.
”Apa yang mau kamu bicarakan?” tanya suaminya kelihatan tak sabar.
”Pa, aku ingin mengakhiri semuanya!” kata Petra pelan namun tegas.
”Apa maksudmu?” suara sang suami meninggi dan menatapnya tajam.
”Aku akan mundur dari pencalonan, aku sudah tidak berminat,” Petra menjawab tegas dan membalas tatapan tajam suaminya.
 ”Mengapa? Ini kesempatan yang sangat baik bagimu? Respon masyarakat sangat positif. Kamu sudah di atas angin. Mengapa tiba-tiba berpikir konyol seperti itu?” suara suaminya semakin meninggi.
”Karena itu bukan kemauanku. Aku tidak mau diperalat,” jawab Petra sedikit ketus.
”Siapa yang memperalatmu? Ini kesempatan yang baik untukmu. Kenapa kamu sia-siakan. Berapa banyak biaya yang sudah dikeluarkan. Berapa banyak waktumu telah terbuang. Kenapa singkat sekali pikiranmu?” ia menggenggam tangan Petra dan meremasnya kuat menandakan ada kegelisahan yang amat sangat disana.
”Bukankah itu kemauanmu, Pa? Aku tidak menginginkan jadi orang nomor satu. Keinginanku sederhana saja cukup jadikan aku istri nomor satumu! Dan aku tak pernah peduli dengan dana yang telah dikeluarkan kerena bukan berasal dari kantong kita.” ketus Petra menanggapi.
”Kemana arah bicaramu? Kamu masih istriku kan?” suaminya bertanya heran.
”Tapi sudah bertahun-tahun kamu tidak perlakukan aku seperti istri layaknya. Aku hanya istri politikmu. Sebagai maskot yang tak boleh punya perasaan. Aku ini masih manusia normal. Sekarang, aku memutuskan untuk keluar dari semua ini. Aku akan mundur,” kata-kata Petra lugas, tegas dan seperti tidak dapat ditawar lagi keputusannya itu.
”Ma...,” suaminya melunak, tapi hati Petra sudah tidak dapat dilunakkan lagi.
”Terima kasih, kerena kamu masih ingat panggilan itu. Tapi untuk kali ini saja, hargai keputusanku!” Petra sama sekali tidak terpengaruh dengan nada bicara suaminya.
”Ma, tolonglah. Sadarilah bahaya yang sedang mengancamku. Sebentar lagi masa jabatanku berakhir. Kamu kan tau kalau pejabat turun, banyak bahaya yang mengintainya,” suara suaminya melunak dan pandangannya seperti minta dikasihani.
Petra mengerti arah pembicaraan suaminya. Tapi ia telah menentukan sikapnya. Ia tidak mau meneruskan situasi yang telah lama menyiksanya. Ia tidak mau lagi diperlakukan dengan semena-mena dan penuh ketidak-adilan.
”Maaf, Pa. Keputusanku sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat. Aku ingin keluar dari situasi ini,” Petra menunduk menahan tangisnya. Air matanya telah mengering bertahun-tahun yang lalu sehingga tangisnya hanya jatuh ke dalam hati.
”Ma...penjara Ma... relakah Mama kalau aku dipenjara?” tanya yang sangat memelas.
”Lebih baik aku melihatmu di penjara dari pada setiap hari di rumah istri yang lain tanpa sekali pun kamu mau menginap di rumahku. Sekali lagi maaf, Pa.”
”Tegakah kamu? Kamu sudah tidak mencintaiku lagi,” nada suaranya makin putus asa.
”Tega jugakah Papa membiarkanku sendiri selama ini? Ternyata memang tega kan? Jauh di lubuk hatiku, aku masih mencintaimu. Salahku selama ini adalah terlalu memperturutkan keinginanmu sehingga kamu lupa diri, Pa. Karena itu, kembalilah padaku dengan suka rela. Aku menerima kamu apa adanya. Apa dan bagaimanapun keadaanmu,”makin tegas Perta berujar.
”Sekali pun hidupku berakhir di penjara? Tidak adakah cara yang lebih baik?”
”Ya. Sekalipun kamu harus masuk penjara, aku akan mendampingimu, karena aku masih mencintaimu hingga detik ini.”
Akhir pembicaraan, keduanya terpekur di restoran yang sudah sejak tadi ditutup. Dan hari telah menjelang pagi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar