Sabtu, 21 Mei 2011

BIAS KASIH


“Aku pergi dulu, Ma. Masak yang enak nanti ya. Aku pulang cepat hari ini. Kamu masih cuti kan?” katanya sambil mengecup keningku.
Aku tersenyum dan mengangguk pelan. Aku mengiringinya hingga keluar pintu rumah dan melepaskannya dengan pandangan jengah. Kemudian aku menarik nafas panjang dan mengalihkan pandangan ke dalam rumah. Keadaan rumah seperti kapal pecah. Tisyu bekas berserakan di lantai. Pakaian bekas pakai menumpuk di salah satu sudut ruangan. Aku segera bergerak membereskannya.
Setelah kondisi rumah yang sembrawut berhasil ku rapikan, kini aku merambah ke dapur. Aku membuka kulkas dan melihat persedian apa saja yang ada disana. ”Hmm... sayur asem, ikan asin, tahu goreng, sambel terasi.... lumayan,” gumamku.
Semua ku kerjakan dengan penuh semangat. Aku ingin menyenangkan hatinya yang telah rela memberi naungan dan melindungiku. Aku, dengan segala kemalangan nasib membawaku kepadanya.
Inilah kisahku.
Aku pernah menikah tiga kali. Kegagalanku membina rumah tangga membuatku jadi gamang menjalani hidup ini. Selalu saja ada laki-laki yang berusaha mendekatiku setelah perceraian. Namun kegagalan membuatku berpikir ribuan kali untuk menjalin hubungan yang serius.
Mantan suamiku yang pertama pergi meninggalkanku sehari setelah kami menikah. Setelah malam pertama kami, ia hanya bertanya lirih, ”Dengan siapa kamu pernah melakukannya?” Aku hanya menatapnya tidak mengerti sebab aku yang berusia 14 tahun masih lugu tidak memahami maksud perkataannya tersebut. Setelah itu ia pergi dan tak pernah kembali lagi.
Setelah makin dewasa baru aku mengerti maksud pertanyaan tersebut. Ia menuduhku telah berhubungan dengan lelaki lain sebelum menikah. Ia tidak mendapati selaput daraku yang berdarah. Alangkah piciknya ia. Padahal belum pernah sekalipun aku melakukan hal itu selain pada malam pertama dengannya. Jika selaput daraku ternyata sudah robek sebelumnya, mana aku tahu disebabkan oleh apa. Bisa jadi disebabkan tungganganku setiap hari sepeda ontel bapakku untuk membawa kayu bakar buat dijual di pasar yang jaraknya 20 kilo meter dari rumah.
Memasuki usia 19 tahun seorang laki-laki yang kelihatannya begitu penyayang melamarku. Meskipun beda usia kami 15 tahun, namun aku bersedia menjadi istrinya. Pada awalnya ia memang sangat memperhatikanku bahkan pada hal-hal yang paling kecil sekali pun. Tengah malam aku terbangun sambil mengeluh haus, ia langsung bangun dan mengambilkan segelas air untukku. Aku diperlakukan seperti ratu. Aku sangat tersanjung kala itu.
Tubuhku makin gemuk sebab sehari-hari aku hanya memuaskan nafsu makanku. Semuanya sudah disediakan oleh pembantu yang berjumlah 10 orang. Taman yang luas menjadi tempatku menyenangkan diri menikmati bermacam-macam kembang yang tumbuh dan terawat dengan baik. Bagi orang yang melihat, aku seperti hidup di surga. Namun tidak demikian yang kurasakan. Aku merasa hidup di sangkar emas. Badanku terkurung namun hatiku mengembara ke negeri antah berantah yang semuanya berada dalam khayalku.
Jika aku ingin ke luar, maka suamiku akan mengerahkan sebagian pembantu menemaniku dan sadarlah aku bahwa tidak ada kebebasan untukku lagi. Aku mulai mengajukan protes pada suamiku. Namun hal itu tak pernah ditanggapinya. Ia hanya tersenyum tenang mendengar keluhan bahkan protes dengan nada keras dariku. Dalam pandanganku saat itu, suamiku adalah orang yang tak punya perasaan sama sekali.
Aku mulai merana. Aku berontak, namun tak berdaya. Kekuasaan suamiku demikian besarnya hingga aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku hampir tak menyentuh makanan sebagai reaksi dari sikapnya yang tak berperasaan. Tubuhku kembali langsing namun aku selalu merawatnya dengan perawatan kelas satu.
Masuk tahun kesepuluh pernikahan keduaku, aku belum juga diberi kesempatan menjadi seorang ibu. Aku mulai bertanya-tanya siapa diantara kami yang bermasalah pada kesuburan. Namun suamiku tak pernah mau membahasnya. Aku mulai mencurigainya. Jangan-jangan dia bermasalah pada organ reproduksinya.
Suatu hari, disebabkan kebosanan yang memuncak, aku diam-diam pergi ke mal sendirian dengan menaiki taksi. Aku berjalan sendiri dan bertemu dengan seorang teman dari kampungku. Dia menyapaku ramah. Dengan keterbatasan ingatanku, ia menerangkan siapa dirinya sehingga aku dapat mengingatnya kembali.
”Kamu kelihatan tidak bahagia, mana suamimu? Kok kamu pergi sendirian?” ia mengajukan sebuah pertanyaan yang tepat sekali pada sasarannya.
”Apa  aku kelihatan tak bahagia olehmu?” aku balik bertanya.
”Iya. Kamu terlihat murung dan sorot matamu seperti kesepian. Bahagiakah tampilanmu yang seperti itu?” ia mengamatiku dengan sorot mata menyelidik.
 Aku hanya tersenyum, tidak ingin menjawab pertanyaannya. Selanjutnya kami hanya membicarakan tentang kehidupan kami waktu di kampung dulu. Asyiknya bercerita menyebabkan aku lupa waktu dan entah dari mana tiba-tiba suamiku muncul di hadapanku. Dengan tenangnya ia mengajakku pulang dan dengan senyum misterinya ia pamit pada temanku.
”Jadi itu kerjamu ya? Menghilang diam-diam untuk bertemu dengan laki-laki lain. Apa tidak cukup perhatianku selama ini padamu hingga kamu masih mencari laki-laki lain?” tanya suamiku dengan dingin dan tatapannya, ya Tuhan, begitu dinginnya hingga aku menggigil hampir hypotermia.
”Aku baru bertemu dengannya. Ia temanku di kampung dulu. Dan baru ini aku begitu ingin keluar sendiri tanpa dikawal oleh penjaga,” jawabku dengan mengumpulkan segenap keberanian.
”Sekali katamu? Maaf, aku tak percaya. Sekali lancung di ujian, seumur hidup orang tak percaya. Mana ku tau kalau baru sekali. Mungkin di belakangku kamu sudah sering melakukannya. Jika kamu benar-benar ingin bebas, maka hari ini aku membebaskanmu dengan talak satu,” lembut kata-katanya namun seperti bunyi petir yang demikian kerasnya membuatku terkejut dan tak mampu berkata-kata. Aku terperangah. Semudah itu putusnya ikatan yang telah terjalin selama sepuluh tahun. Ternyata kami hanya menjalin benang rapuh. Dan dengan kepahitan aku menerima keputusannya tanpa diberi kesempatan untuk membela diri sedikit pun.
 Setelah itu aku mulai ragu menjalin hubungan dengan laki-laki lain. Wajahku yang katanya sangat cantik menyebabkan banyak laki-laki yang datang bahkan tak sedikit langsung melamarku. Tapi aku masih tak percaya dengan kesungguhan mereka untuk menikahiku. Entah mengapa akhirnya hatiku tertambat pada seorang pengangguran berbadan kekar yang sering lewat di depan rumah. Itulah cinta. Tidak tahu akan tumbuh dimana.
Dengan suamiku yang ketiga, aku menghadapi situasi yang jauh berbeda dari sebelumnya. Aku terpaksa bekerja untuk membiayai hidup kami. Dengan modal tampang yang kumiliki aku cukup mudah mendapat pekerjaan, apalagi selama menjadi istri mas Royan, suami keduaku, aku dibekalinya dengan berbagai kursus dan tingkat pendidikanku diperbaikinya dengan mengikuti ujian persamaan paket B dan C. Hingga akhirnya akupun dapat menamatkan kuliah.
Namun suami ketigaku selain pengangguran ternyata punya kegemaran berjudi. Jika ia kalah di meja judi maka kekesalan hati dilampiaskannya padaku. Aku harus mampu menahan pukulan dan tendangannya. Tidak jarang hingga aku jatuh tersungkur. Rumah dan segala perhiasan yang diberikan suami keduaku ludes di meja judi. Akhirnya kami mengontrak sebuah rumah kecil di pinggiran kota.
Aku bertetangga dengan Ipa yang hidup berdua dengan keponakan perempuannya. Ia sangat memperhatikanku. Jika pagi hari aku keluar dengan memar di wajah, maka ia memanggilku kemudian mengompres lebam tersebut dan untuk menyamarkannya aku diberi riasan khusus sehingga orang kantor tidak pernah tahu siksaan yang aku alami. Hanya pada Ipa aku berkeluh kesah tentang penderitaanku.
Ketika aku mulai hamil, aku berharap suamiku akan menjadi sadar bahwa ia akan segera menjadi seorang ayah dan sekaligus memiliki tanggung jawab yang besar terhadap diriku dan janinku. Namun, harapan hanya tinggal harapan. Suatu malam, di tengah hujan deras, ia menyeretku keluar dari rumah karena kejengkelannya terhadapku yang menolak tidur dengan teman judinya. Aku dipertaruhkan di meja judi. Aku merasa sangat terhina.
Aku menangis sejadi-jadinya. Dan berteriak-teriak, ”Ceraikan aku. Ternyata kamu bukan manusia!”
Aku bersimpuh, membiarkan hujan deras mengguyur tubuhku. Aku menggigil menahan rasa sakit yang amat sangat diseluruh tubuhku dan darah mengalir dari selengkanganku. Aku sadar, aku telah kehilangan janinku. Aku keguguran.
Aku bersidekap dan memanjatkan doa dalam isak tangis yang pilu,”Tuhan, dengan tak satupun yang kumiliki, aku menghadap Mu. Kumohon belas kasihan Mu atas diriku yang tengah didera sakit dan siksa. Tuhanku, sesungguhnya sakit hanyalah rasa dan siksa hanyalah derita. Hilangkan itu semua dari diriku agar aku dapat berdiri dan berjalan sesuai dengan perintah Mu.”
Sebelum kesadaranku hilang, aku masih merasakan seseorang memanggilku, ”Emaaa....,” lalu ia mendekapku dan berusaha menggendongku dipunggungnya. Berikutnya yang kutahu, aku dirawat berhari-hari di rumah Ipa tetangga sebelah yang selama ini selalu membantuku menghadapi berbagai persoalan hidup. Ia begitu perhatian dan melayaniku dengan penuh kasih sayang. Aku sangat berterima kasih padanya.
Selama proses perceraianku berlangsung aku menumpang di kontrakan Ipa. Setelah kesehatanku pulih, aku kembali masuk kerja dan rutinitas itu kujalani setiap hari kecuali minggu atau hari libur. Ipa selalu menghibur dan meyakinkan diriku bahwa aku dapat hidup bahagia meskipun tidak bersuami.
Ia kerap memelukku dan pelukan itu mampu menenangkanku. Kadang-kadang saat aku gelisah, ia tanpa ragu merengkuhku dan mengecup ubun-ubunku. Aku membiarkannya melakukan itu sebagai ungkapan rasa simpati padaku. Rasa aman dan terlindungi mengalir dalam diriku. Rasa yang kuat dan makin lama makin kuat, sehingga aku ragu, apakah aku telah jatuh cinta padanya.
Kami tidur dalam satu kamar, sementara keponakannya tidur di kamar belakang. Tidak jarang kami berpelukan ketika akan tidur. Ia membelai rambutku yang panjang dan aku menikmatinya sebelum aku benar-benar terlena.
Hari demi hari kemesraan kami makin bertambah. Ia tak pernah ragu-ragu lagi memelukku dan bahkan menciumku. Apalagi sejak keponakannya tidak tinggal serumah dengan kami. Entah kegilaan seperti apa yang kami lakukan. Tapi aku benar-benar merasa bahagia dan mungkin dia lah pelabuhan terakhirku, mesti mustahil dengan ikatan resmi.
Jam 12 lewat 10 ia pulang dengan membawa sebuah bingkisan. Aku menyambutnya dengan senyum termanis. Ia bergegas masuk rumah, mengatupkan pintu dan kemudian memelukku erat. Aku terkejut namun membalas pelukannya dengan hangat.
”Ada apa, Pa? Kok tumben, lain dari biasanya,” tanyaku setelah ia merenggangkan pelukan.
”Aku ingin bertanya serius padamu. Jawab dengan jujur. Bahagiakah kamu hidup bersamaku?” matanya menatap mataku dengan lembut dan senyum nakal menghiasi bibirnya.
Aku berpikir sejenak dan kemudian aku menjawabnya,”Iya, aku bahagia bersamamu. Bahkan ingin rasanya selamanya bersamamu.”
Kemudian ia kembali menarikku dalam pelukannya. Aku merebahkan kepalaku ke dadanya yang bergerak naik turun dengan teratur. Aku mendengar irama jantungnya yang semakin berdegup kencang.
”Aku membelikan sesuatu untukmu. Mudah-mudahan kamu menyukainya” lalu ia melepaskan pelukannya dan menyerahkan kemasan terbungkus rapi yang dibawanya tadi.
Aku membuka bungkusan itu dan kudapati isinya gaun malam yang amat cantik berwarna merah tua sangat kontras dengan kulit putihku. Aku langsung mengenakannya. Ketika aku tampil di depannya ia berguman pelan namun masih tertangkap di pendengaranku, ”Kamu memang cantik sekali. Rugilah orang-orang yang telah menyia-nyiakanmu.”  
”Terima kasih, aku sangat menyukainya,” ujarku dengan mata berkaca-kaca. Kutahan air mata yang hampir jatuh di pipiku.
Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku celana, lalu membukanya. Sebuah cincin mungil yang sederhana namun berkilau dikeluarkan dan langsung dikenakannya di jari manisku. Kali ini aku yang memeluk erat dirinya. Aku begitu terharu.
”Andai saja kita bisa menikah, maka akan ku nikahi dirimu segera. Namun, takdir menentukan lain. Hal itu mustahil terwujud. Aku menyayangimu dengan sepenuh hatiku. Aku mencintaimu seperti cinta seorang lelaki yang sedang kasmaran. Aku akan melindungimu dan akan menjagamu seumur hidupku. Apakah itu cukup bagimu?” pertanyaan yang membuat air mataku tak bisa ku bendung lagi.
”Aku juga sangat mencintaimu. Aku menerimamu apa adanya. Bagiku, cukuplah apa yang dapat kamu berikan. Aku tidak menuntut lebih dari itu. Perkawinan hanya sebuah ikatan yang sewaktu-waktu dapat putus. Tapi kasih sayang seperti ini takkan mudah memutuskannya,” jawabku disela isak tangis.
Kami saling berpelukan dan ia pun ikut menitikkan air matanya. Kami menyadari bahwa secara fisik kami adalah sejenis dan hal mustahil untuk bicara cinta lebih jauh dari sebuah harapan yang takkan mungkin terwujud. Bersamanya aku temukan kedamaian, dan bagiku itu telah lebih dari cukup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar