Rabu, 01 Juni 2011

Mutiara Hati


Soni menjangkau Hp yang sejak tadi telah berbunyi beberapa kali menandakan ada SMS masuk. Matanya masih susah dibuka karena malam tadi ia tidur lewat tengah malam. Setelah mengucek mata beberapa kali ia menatap layar Hp, ada tiga pesan yang masuk.
Soni mulai membuka kotak pesan. Pesan pertama dari adiknya yang menanyakan kabar bunda mereka. Pesan berikutnya dari seorang teman yang isinya tidak begitu penting. Pesan terakhir dari Mutia.
’Masih lama ya ngambeknya, Son?’ demikian bunyi SMS dari Mutia.  Soni tersenyum dan pesan tersebut sengaja tidak dibalasnya agar Mutia semakin penasaran.
Sebulan belakangan ini Mutia selalu mengirim pesan singkat yang isinya hanya sekedar menanyakan kabar atau hal-hal yang kurang penting lainnya. Soni tidak pernah menjawab walau dihati ia ingin membalasnya bahkan teramat ingin menelpon. Hasrat hati tersebut dengan susah payah ditahannya.
Hingga hari ini, telah delapan bulan Soni tidak menghubungi Mutia melalui Hp. Biasanya setiap hari ia yang selalu menelpon hanya sekedar bertanya kabar. Mutia selalu menjawab sekenanya saja tanpa gairah sama sekali seolah segan bicara dengannya. Selalu demikian dan tak pernah seperti harapannya yang sangat menginginkan Mutia menjawab dengan antusias dan penuh perhatian terhadap dirinya.
Sejak hubungan dengan suaminya mulai bermasalah, Mutia beberapa kali curhat dengan Soni. Soni selalu berusaha menghibur Mutia dan menasehatinya agar bersabar menghadapi persoalan yang mendera rumah tangganya. Bagi Soni, walaupun ia begitu mencintai Mutia, namun kebahagiaan Mutia adalah nomor satu.  Ia sama sekali tak berharap banyak apalagi sampai menginginkan Mutia menjadi miliknya karena ia sadar Mutia telah menjadi milik orang lain.
Mutia adalah cintanya sejak SMA. Perasaan cinta yang selalu tersimpan apik di hati Soni dan hampir tak terusik oleh apapun. Perasaan cinta yang tak pernah berbalas sebab Mutia begitu dingin terhadap dirinya. Mutia hanya menganggapnya sebagai teman, tidak lebih.
Soni selalu memantau keberadaan Mutia. Ia dengan berbagai cara selalu bisa menemukan Mutia. Hingga pada masanya ia merasa sudah cukup umur untuk beristri, Soni membicarakan masalah tersebut dengan ayahnya.
”Ison mencintai seorang perempuan. Tapi hingga saat ini dia kelihatannya tidak pernah mencintai Ison. Apakah Ison harus berteguh mengajaknya untuk menjadi istri?” tanya Soni pada ayahnya ketika itu.
”Jika perempuan itu tidak mencintaimu, buat apa kamu memaksanya untuk menjadi istrimu. Lupakan saja dia. Carilah perempuan lain yang dapat melabuhkan cintanya padamu,” demikian jawab ayah Soni.
Soni dapat mengerti alasan yang dikemukakan oleh ayahnya. Perempuan yang akan dijadikan istri adalah perempuan yang dapat menerima dirinya apa adanya, rela memberikan seluruh waktu untuk melayani dirinya. Jika perempuan itu tidak mencintainya mustahil ia akan memperoleh pengabdian yang tulus dari seorang istri.
Akhirnya pilihan Soni jatuh pada seorang perempuan yang baru dikenalnya beberapa bulan dan tanpa proses yang terlalu panjang ia mempersuntingnya. Namun nasib baik belum memihak padanya. Perkawinannya hanya bertahan kurang dari empat tahun dan akhirnya ia terpaksa menceraikan perempuan yang telah melahirkan dua orang anaknya. Perceraian itu sangat menyakitkan kedua belah pihak sehingga mantan istrinya membuat dinding pembatas yang hampir tak mungkin dilompatinya untuk bertemu apalagi berinteraksi dengan anak-anaknya.
Bertahun-tahun kesendiriannya, ia masih saja mencari Mutia yang ternyata telah bersuami pula. Sebesar apapun perasaan cintanya, sebesar apapun hasratnya terhadap Mutia, namun Soni selalu menaruh hormat pada perempuan itu. Tidak ada sedikit pun keinginannya untuk melecehkan Mutia dengan mengeluarkan kata-kata rayuan atau kata yang tidak pantas setiap kali mereka bicara di Hp.
Makin sering Soni bicara dengan Mutia, perasaan cintanya semakin mendalam. Apalagi ketika Mutia menceritakan bahwa bahteranya mulai oleng. Tumbuh sebentuk harapan di hati Soni, namun ia segera menepisnya. Satu sisi hatinya mengharapkan perceraian Mutia sebab dengan demikian ada harapan baginya untuk bersama. Sisi lain hatinya mengutuk keculasan niatnya yang mengharapkan keruntuhan rumah tangga orang yang amat dikasihinya. Akhirnya  Soni hanya mampu memberi nasehat agar Mutia senantiasa bersabar.
Dua puluh tiga tahun bukan waktu yang singkat untuk berharap. Soni merasa lelah. Ia ingin lepas dari rasa cintanya yang tak mungkin berbalas. Ia memutuskan untuk pergi menjauh dari Mutia dan takkan pernah menghubunginya lagi.
Keputusan sudah Soni buat dan ia benar-benar tidak pernah lagi menghubungi Mutia walaupun melalui Hp. Jika Hp-nya berbunyi dan ia melihat nomor Mutia, maka ia menahan diri agar tidak menjawab panggilan tersebut. Bahkan SMS Mutia tidak pernah sekalipun dibalasnya.
Pagi ini, selesai sarapan, Hp Soni kembali berbunyi. Ada sebuah pesan yang masuk. Pesan dari Mutia. Pesan tersebut mulai dibacanya.
’Son, rumah tanggaku tak bisa dipertahankan lagi. Aku telah resmi bercerai dengan suamiku.  Akupun menyadari bahwa selama sebelas tahun aku berusaha mencintainya, namun tidak berhasil karena sesungguhnya ia pun tidak mencintai aku. Setahun setelah pernikahanku, aku baru menyadari bahwa sesungguhnya aku mencintaimu. Tapi hal itu sudah terlambat sebab masing-masing kita telah punya pasangan. Setelah delapan bulan kamu menghilang, akupun mulai pesimis, jangan-jangan kamu sudah tidak mencintaiku lagi. Hari ini ulang tahunmu. Selamat ulang tahun Son, akupun harus tahu diri untuk pamit padamu.’ Sebuah pesan yang cukup panjang.
Soni terdiam di tempat duduknya. Selama dua puluh tiga tahun ia ingin tahu perasaan cinta Mutia terhadapnya, baru hari ini ia mengetahuinya. Hatinya serasa terbang, angannya melayang jauh menembus awan dan ia merasa sangat bahagia dengan pernyataan Mutia tersebut.
”Ternyata Mutia pun mencintaiku...,” desahnya dalam helaan nafas yang panjang.
Tanpa ragu Soni langsung mengemas pakaiannya dan ke bandara dengan harapan masih ada penerbangan ke Jakarta untuknya. Tuhan mengabulkan doa yang dipanjatkannya sepanjang perjalanan tadi. Ia mendapat penerbangan siang ini. Dan sore harinya Soni telah berada di dalam taksi menuju rumah Mutia.
Beberapa kali bel ditekannya, namun tak ada tanggapan. Soni berdiri dengan gelisah di beranda. Ia mencoba menelpon Mutia beberapa kali, namun tidak mendapat jawaban.
”Maaf mas,” tegur seorang ibu dari balik pagar rumah Mutia,”ibu Mutia di rumah sakit, ada kecelakaan beberapa jam yang lalu.”
”Apa?” Soni terkejut, ”Bagaimana keadaanya?”
”Parah sekali mas,” jawaban yang membuat jantung Soni serasa berhenti seketika.
Soni segera menanyakan alamat rumah sakit tersebut. Kemudian ia bergegas masuk kembali ke taksi yang masih menunggunya. Kemudian taksi melaju menuju rumah sakit yang dimaksud.
”Ya Tuhan... apa yang terjadi dengan Mutia. Lindungilah dia ya Allah,” desis Soni dan ia terus memanjatkan doa untuk orang yang sangat dicintainya itu. Hatinya begitu miris dan kegelisahannya semakin tak terkendali. Apakah ia masih sempat bertemu dengan Mutia?
Begitu memasuki rumah sakit, ia segera menuju ruang informasi.
”Saya mencari korban kecelakaan yang masuk pagi ini. Ibu Mutia,” kata Soni dengan nafas sedikit terengah karena ia berlari dari tempat taksi berhenti.
”Ibu Mutiara di ruang ICCU, lurus lorong ini terus belok kanan,” jawab petugas jaga. Soni langsung berlari menuju ruang yang dimaksud.
Sesampainya di depan pintu ruang ICCU, Soni berhenti sejenak mengatur nafasnya dan berusaha menenangkan hatinya. Seorang perawat keluar dari ruangan tersebut dan Soni meminta diizinkan masuk.
”Apa hubungan saudara dengan pasien? Pasien belum boleh diganggu, hanya boleh dilihat dari kaca pembatas” kata perawat tersebut.
”Saya abangnya, Sus. Saya mohon, izinkan saya,” jawab Soni sedikit memelas. Perawat meminta Soni mengenakan pakaian khusus dan kemudian mempersilahkannya masuk.
Soni melangkah pelan dan berusaha menguatkan hatinya. Ia melihat seseorang terbaring tak berdaya di tempat tidur dengan berbagai peralatan medis terpasang di tubuhnya. Kepalanya terbalut perban sehingga wajahnya tidak dapat terlihat dengan jelas dari tempat soni berdiri, ”Bintang kecilku....,” lirih suara itu keluar dari bibir Soni, lebih menyerupai erangan. Ia ingin mendekat namun kaca pembatas itu menghalanginya.
Air mata Soni turun dan ia masih termangu menatap sosok yang terbaring tak berdaya itu. Ia tak mengerti mengapa Tuhan tidak merestui cintanya pada Mutia. Ketika harapannya hampir terwujud, ternyata Tuhan berkehendak lain.
”Son?” suara lembut yang amat dikenal Soni datang dari arah belakangnya. Soni terkesiap, ia segera membalikkan badannya. Matanya terbelalak, tak percaya melihat Mutia sekarang berdiri tepat di depannya.
”Mutia?” katanya ragu-ragu takut pikirannya salah karena terobsesi dengan bayangan Mutia.
”Iya, Son. Ini aku,” jawab Mutia sambil menyentuh lengan Soni.
Soni begitu terharu dan langsung memeluk erat Mutia. Hal yang belum pernah dilakukannya selama ini terhadap Mutia.
”Mutia, Mutia... aku mengira kamu yang berada di dalam,” kata Soni masih mendekap erat Mutia. Ia tak ingin melepaskan pelukannya, sangat takut kalau Mutia tiba-tiba raib dari sisinya.
Wajah Mutia memerah. Ia berusaha melepaskan diri dari pelukan Soni. Soni merasakan gerakan Mutia, dan ia pun melepaskan pelukannya.
”Itu papanya Keyla. Key barusan dibawa ibuku pulang,” Mutia berujar sambil menunduk. Ia merasa malu namun jantungnya berdebar  kencang. Dan ia makin gelagapan ketika Soni menyentuh dagunya dengan jari telunjuk dan mengangkat wajahnya agar dapat terlihat dengan jelas oleh Soni.
Soni mengecup lembut keningnya dan membawanya dengan lembut ke dalam dekapan hangat. Mutia membiarkannya meskipun perasaan malu dan salah tingkah masih menguasai dirinya.
”Aku  tidak akan pernah membiarkanmu hilang lagi. Cukup sudah penantian panjangku selama ini, bintang kecilku, mutiara hatiku yang tetap berkilau hingga akhir zaman. Bila semua ini berlalu, maukah kamu menikah denganku, Mutiara?” ujar Soni tanpa ragu lagi, ia begitu yakin dengan keputusannya sekarang ini. Sebuah cinta memang selayaknya diperjuangkan bukan dibiarkan merana hanya karena merasa cinta tak berbalas.
Mutia tak sanggup berkata-kata, namun dalam dekapan yang hangat ia mengangguk pelan. Dan bagi Soni itu adalah jawaban yang selama ini didambakannya.
  
1 juni ’11
Bingkisan khusus tuk temanku Khai

1 komentar: