Senin, 13 Juni 2011

Antara Nurani Dan Ambisi


Darminto tersenyum lebar melihat wajah istri mudanya yang kelihatan bersemangat dengan mata berbinar-binar seperti kilauan petir yang diabadikan oleh kamera tercanggih. Andini, nama istri muda yang dinikahinya sembilan bulan lalu dengan status nikah siri dan sembunyi-sembunyi. Andini berlari berlari ke arah Darminto, menubruk dan memeluknya. Darminto terkesiap, kemudian ia limbung dan tanpa dapat dicegah mereka berguling-guling di lantai. Tawa Andini berderai, tak peduli dengan rasa sakit di kepalanya yang terbentur meja tamu.
“Ke Paris, Pa? Ini kejutan yang luar biasa,” kata Andini dan selanjutnya ia mendaratkan ciuman bertubi-tubi ke wajah Darminto.
Darminto mengangguk,”Bukankah itu yang kamu inginkan sejak dulu?”
“Iya, Pa. Terima kasih. Kapan kita berangkat?” Tanya Andini merubah posisi menjadi duduk di lantai bersandar di sofa. Darminto pun ikut duduk di sebelahnya.
”Minggu depan,” jawab Darminto pasti.
”Berapa lama rencananya disana, Pa?” tanya Andini dan kembali ia mendaratkan sebuah kecupan di pipi Darminto. Perlakuan seperti ini membuat Darminto merasa menjadi muda kembali.
”Seminggu. Jangan terlalu banyak bawa pakaian. Bawa yang simpel saja ya,” ujar Darminto.
Andini menjerit tertahan,”Berarti bisa beli baju-baju paris yang modis dan eksotis, donk!”
Darminto mengangguk dan tersenyum semakin lebar melihat istrinya kemudian berdiri, berjingkrak-jingkrak kegirangan. Sepanjang siang mereka menghabiskan waktu bercengkrama, bercanda ria dan saling melontarkan kata-kata mesra. Tak terasa ia telah menghabiskan waktu siangnya bersama Andini. Menjelang magrib Darminto pamit untuk pulang ke rumah istri pertamanya.
Sesampai di rumah istri pertamanya, Darminto disambut hangat oleh istrinya, Aini. Aini selalu menyongsong kedatangan sang suami bila mendengar suara mobilnya memasuki halaman rumah. Darminto merasa dirinya adalah orang yang paling beruntung di dunia karena memiliki dua istri yang begitu memperhatikannya, mendewakannya dan benar-benar memperlakukannya seperti raja.
Air hangat bergaram dalam baskom sudah tersedia untuk rendaman kakinya. Setelah melepaskan sepatu, Aini merendamkan kaki suaminya dengan tujuan menghilangkan kelelahan di kaki.  Semua perlengkapan mandi telah tersedia di tempatnya. Darminto membersihkan dirinya sebelum menghadapi hidangan yang telah dipersiapkan Aini di meja makan.
Kedua anaknya telah menunggu di meja makan. Gadis tertuanya telah kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta dan adik laki-lakinya hampir menamatkan SMA. Kedua anak hasil didikan Aini ini sangat membanggakannya baik dengan prestasi akademis maupun dengan prilaku mereka yang selalu memperhatikan etika dan sopan santun.
”Bagaimana dengan mobil yang Papa berikan Aliya? Kamu senang menerimanya?”tanya Darminto membuka pembicaraan mereka.
”Makasih, Pa. Aliya sangat senang menerimanya. Tapi, sebenarnya Aliya belum begitu membutuhkannya. Biar Aliya berangkat sama dengan Toro saja kalau kebetulan kuliah pagi. Mobilnya akan Aliya pakai ketika benar-benar membutuhkan,” jawab Aliya sambil memberi senyum termanisnya.
”Alah... pakai saja Aliya. Kenapa mesti berangkat sama dengan Toro. Jika kamu bawa mobil sendiri, kamu lebih bisa bebas bergerak. Kan kamu sudah harus mencari data untuk skripsimu,” Darminto heran dengan anak-anaknya yang selalu ingin memperlihatkan hidup sederhana.
Aliya tersenyum menanggapi perkataan ayahnya,”Aliya akan memakainya jika memang membutuhkannya, Pa.”
”O, ya. Minggu depan Papa ada studi banding di Paris. Kalian mau titip apa?” tanya Darminto sambil melihat istrinya.
”Saya hanya minta, Papa sehat dan selamat saja, Pa,” ujar Aini.
”Kamu tak ingin  dibawakan oleh-oleh, Ma?” tanya Darminto.
Aini tersenyum,”Kesehatan dan keselamatan Papa adalah oleh-oleh yang selalu saya harapkan.”
”Toro, Aliya, kalian ingin dibawakan apa?” Darminto beralih kepada anak-anaknya.
”Gitar spanyol yang pinggangnya ramping, Pa,” jawab Toro penuh semangat.
”Emang di Paris ada yang seperti itu?” tanya Darminto.
”Hahaha... siapa tau ada, Pa,” jawab Toro dengan ringan.
”Hmmm... kok studi banding terus Pa? Perasaan belum lama ini studi banding juga ke New Zealand. Sebenarnya apa sih studi banding yang dimaksud?” Aliya memperhatikan ayahnya dengan seksama.
”Ya, teknisnya meninjau pelaksanaan sesuatu di negeri orang sebagai bahan perbandingan bagi kita. Pelaksanaannya, lebih banyak jalan-jalannya,” jelas Darminto.
”Papa, hal itu sudah tidak sesuai dengan sasaran. Mengapa Papa mengikutinya?” pertanyaan Aliya membuat Darminto menghentikan suapnya.
”Hal itu harus Papa ikuti karena ditugaskan,” Darminto berusaha memberi pemahaman pada putrinya.
”Tapi pelaksanaannya sudah tidak sesuai dengan tujuannya. Itu sama dengan buang-buang uang negara, Papa. Lebih bijak kalau Papa menolak tugas itu karena akan memalukan diri sendiri. Masyarakat akan mencemooh hal tersebut,” Aliya berkata tegas dan menyatakan pendapatnya dengan keterus-terangan yang membuat ayahnya merasa tak enak.
”Pendapatmu terlalu mengada-ngada. Ah, sudahlah. Habiskan makanannya biar kita bisa istirahat lagi,” ujar Darminto tidak ingin melanjutkan pembicaraan tersebut sebab ia tahu Aliya akan semakin memojokkannya dengan berbagai argumen. Anaknya yang satu itu memang sangat kritis dalam menganggapi suatu persoalan. Bahkan tidak jarang ia tergigit lidah bila beradu argumen dengan Aliya.
Selesai acara makan malam bersama keluarga Darminto masuk kamar dan berbaring di tempat tidur. Aini menyusulnya dan ikut berbaring di sebelahnya. Lama mereka berdiam diri dan sibuk dengan pikiran masing-masing.
”Pa, sebenarnya pendapat Aliya itu benar lho,” Aini mulai membuka pembicaraan. ”Kami bangga Papa bisa duduk disana. Tapi Pa, tetaplah menjadi Papa kami yang nuraninya selalu lebih dominan dari ambisinya.”
”Apa Mama merasa Papa berubah?” tanya Darminto.
”Apapun akan selalu mengalami perubahan seiring berjalannya waktu, Pa,” jawab Aini sambil melirik Darminto. Ia memang merasa perubahan sikap suaminya. Namun ia tak berani terlalu mendesak dengan pertanyaan-pertanyaan yang justru akan memancing kebohongan suaminya.
Darminto bergumam tak jelas dan kemudian terdengar dengkurnya. Dalam tidurnya ia bermimpi yang amat tidak sedap. Nuraninya berperang dengan ambisinya. Seperti lembaran kartu yang masing-masing memegang pedang dan saling melukai. Darminto benar-benar gelisah dalam tidurnya malam ini.
Seminggu kemudian Darminto beserta rombongan telah berada di Paris. Andini benar-benar memuaskan dirinya dengan berbelanja pakaian dan berbagai aksesoris. Darminto sudah mengingatkannya agar mulai membatasi belanja, namun sepertinya  Aini tidak mengindahkan peringatan tersebut. Bahkan ia mulai menawar perhiasan yang harganya selangit. Darminto mulai kesal.
”Masa’ perhiasan murah begini Papa tak bisa belikan?” pertanyaan Andini seperti menantang kemampuan finansial Darminto.
”Belanja kamu sudah melampaui batas kewajaran. Jangan norak deh!” suara Darminto mulai meninggi.
Andini cemberut dan tersinggung dengan perkataan Darminto barusan,”Jika tak mampu belikan, jangan bilang aku ’norak’ Pa! Aku bisa beli sendiri kok.”
Darminto langsung menarik istrinya keluar dari galeri yang mereka datangi. Darminto langsung membawa istrinya menuju hotel dan menyuruhnya menunggu di kamar sementara ia mengadakan pertemuan dengan beberapa orang rekannya. Andini menahan rasa kesalnya dan bermaksud melanggar perintah suaminya itu karena teringat kemarin Widodo, salah seorang rekan suaminya menawarkan untuk naik menara Eifel melihat keindahan kota Paris.
Setelah Darminto meninggalkannya di kamar, Andini langsung menghubungi Widodo. Bak gayung bersambut, Widodo pun sedang tidak ada kegiatan siang ini dan dapat menemaninya mengelilingi kota Paris. Andini segera bersiap menunggu Widodo mengetuk pintunya.
Sepanjang siang Andini menikmati perjalanannya dan makan siang dengan Widodo di sebuah resto. Andini tahu bahwa Widodo tertarik padanya. Sorot mata lelaki itu memberi sinyal demikian. Andini melirik suatu peluang. Ia mengajak lelaki itu ke galeri yang tadi pagi didatangi bersama suaminya. Dengan antusias Andini mencoba perhiasan yang disukainya pada leher jenjangnya yang putih mulus. Widodo begitu terpesona melihatnya dan dengan ringan ia merogoh koceknya membayar perhiasan tersebut.
”Terima kasih, Pak,” ujar Andini tertawa memperlihatkan barisan giginya yang putih dan rapi. Widodo mengangguk dan menyentuh pipi Andini dengan tangan kanannya. Hasratnya tiba-tiba bergejolak dan ia berusaha menahannya. Yang terpikir hanya segera kembali ke kamar hotel dan memujuk wanita di depannya untuk singgah di kamarnya.
Semuanya dapat berjalan sesuai dengan harapan mereka. Andini akhirnya setuju mampir sebentar di kamar Widodo. Bagi Andini, memenuhi keinginan Widodo hanya sebagai ucapan terima kasih. Tidak lama, namun ternyata itu menjadi petaka baginya.
Keluar dari kamar Widodo ia kepergok suaminya. Pandangan curiga Darminto membuatnya gelagapan. Darminto langsung menarik istrinya ke kamar dan mengintrogasinya. Andini bersikukuh bahwa tidak terjadi apa-apa antara dirinya dengan Widodo. Darminto tak percaya begitu saja. Ia menyuruh Andini membuka celana dalamnya dan langsung menunjukkan  flek yang ada disana adalah bukti perselingkuhannya. Akhirnya Andini menangis memohon ampun. Darminto demikian emosinya, apalagi alasannya hanya karena perhiasan yang baru dibelikannya. Alasan yang sangat naif. Darminto langsung menjatuhkan talaknya dan kemudian meninggalkan Andini yang sedang menangis tersedu-sedu menyesali nasibnya.
Sesampainya di Jakarta, Darminto langsung mengantar Andini beserta segala belanjaannya ke kampung halaman perempuan itu. Darminto sudah tidak mau mendengar permohonan maafnya dan Andini hanya bisa pasrah menerima keputusan Darminto.
Selama beberapa hari ini, Darminto mulai memikirkan dirinya kembali. Kata-kata anak dan istrinya terngiang di telinganya. Ia merasa sudah mulai kehilangan nuraninya dan menjadi pengkhianat bangsa. Darminto yang terkenal jujur dan selalu menolong orang di sekitarnya sudah menjadi kanibal dengan mengisap darah dan keringat bangsanya yang menaruh kepercayaan di pundaknya. Ia merasa sangat berdosa. Apalagi dengan nyata ia telah mengkhianati istrinya yang selalu berusaha menjaga keselamatannya dunia akhirat. Ia menikah lagi tanpa sepengetahuan istrinya itu.
Jika membawa uang lebih ke rumah, Aini selalu bertanya asal uang tersebut. Bila halal, maka Aini menerimanya. Jadi hanya uang gaji yang akan diterima oleh istrinya itu. Uang yang tidak jelas asal dan tujuannya, tidak pernah mau Aini terima. Padahal begitu banyak dana yang mengalir ke rekeningnya dan ia sendiri tak tahu akan dipergunakan untuk apa uang sebanyak itu. Sejak ia menikahi Andini, perempuan itulah yang menikmati uang yang tak jelas asalnya tersebut.   
  Sesampainya di rumah, Darminto langsung memeluk Aini dan memohon maaf padanya. Ia menceritakan seluruh kecurangan yang dilakukannya terhadap keluarga dan bangsanya. Ia menangis tersedu-sedu mengingat siksa Tuhan yang pedih bakal diterimanya.
”Tak ada manusia yang sempurna, Pa. Tuhan mengerti betul dengan makhluk ciptaannya. Mohon ampunlah pada-Nya dan perbaikilah kesalahan, Papa,” kata Aini dengan tenang dan ia telah lebih dahulu memaafkan kekhilafan suaminya itu.
”Makasih atas pengertianmu, Ma. Tapi bagaimana cara memperbaikinya tanpa membuat diri celaka?” tanya Darminto tertunduk lesu.
”Kembalikan uang yang tidak jelas itu pada negara. Mohon maaf pada masyarakat lewat media. Dan jika rekan merasa terganggu, letakkan saja jabatan itu,” demikianlah saran Aini yang membuat galau hati Darminto.
”Jika itu dilakukan, maka kemungkinan saya akan diproses dan paling mungkin selanjutnya saya mendekam di penjara. Huh....,” ujar Darminto pelan dan seperti suara keluhan panjang diakhir ucapannya.
” Kami akan terus mendampingimu, Pa. Lebih baik persoalan ini selesai di dunia, Pa agar tidak sampai ke akhirat. Insyaallah niat baik Papa yang mau berubah dapat diterima baik oleh masyarakat,” perkataan yang lemah lembut namun tegas dari Aini menguatkan hati Darminto.
Akhir cerita, Darminto mengalami proses yang panjang dan melelahkan. Namun hatinya tegar karena keluarga mendukungnya dan yang lebih mengharukan lagi, masyarakat banyak pun memberi dukungan baik lewat aksi demonstrasi maupun lewat media elektronik seperti twitter dan facebook. Darminto masih memilih mempertahankan nuraninya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar