Rabu, 08 Juni 2011

KUINGIN CINTAMU, MA


Praaang…brak..gedubrak! suara gaduh itu berasal dari dapur. Amelia terperanjat dan segera berlari menuju asal suara. Dapur didapatinya dalam keadaan amat berantakan. Rajangan sayur memenuhi lantai, dan kardus mi instan yang biasanya tersusun rapi di dekat boks beras jatuh ke lantai dan isinya berserakan. Kompor gas terbiar dalam keadaan menyala tanpa ada yang terjerang di atasnya.
Amelia melangkah dengan tergesa-gesa mendekati kompor dengan niat mematikan api yang sedang menyala, takut apinya menyambar gorden yang berada tak jauh dari sana. Baru beberapa langkah kakinya bergerak, Amelia merasa sesuatu mencucuk telapak kakinya.
”Aduh!” jerit tertahan terlontar dari bibir Amelia.
Amelia segera mengangkat kakinya. Pecahan kaca terhujam di telapak kakinya. Ia segera mencabut pecahan kaca tersebut sambil menggigit bibirnya menahan rasa sakit dan ngeri melihat darah mulai keluar dari luka yang ditimbulkan oleh pecahan kaca tersebut.
Amelia keluar dari dapur dengan tertatih menuju ruang makan tempat kotak P3K biasanya disimpan. Ia segera mengoleskan betadin dan mengambil hansaplas yang lebar buat menutup lukanya.
”L i aaaaaa...!” suara jeritan yang berasal dari ruang tengah.
Dengan terpincang-pincang Amelia menuju ke asal suara sambil menjawab, ”Iya, Ma,”
”Kemana saja kau? Nggak tau Mama lagi pusing ya? Bereskan dapur!” perintah ibunya yang terlihat marah.
Amelia mengangguk dan kemudian membalikkan badannya ke arah dapur. Ibunya menyusul, dan dengan ringan tangannya terangkat menjewer kuping Amelia.
”Lain kali, pulang sekolah langsung ke dapur. Jangan taunya makan aja. Masak! Itu harusnya yang kau lakukan sepulang sekolah. Kau sudah besar, jadi itu bukan tugas aku lagi. Tau?!” kata ibunya dan sebuah tamparan mendarat di pipinya.
Amelia mengangguk dan ia meraih sapu. Rasa panas tamparan di pipinya harus ditahan jangan sampai tangannya mengelus pipi sebab itu akan menyebabkan tambahan satu tamparan lagi seperti yang biasa ibunya lakukan. Mungkin ibunya sedang ada masalah di kantor hingga terbawa ke rumah. Amelia berusaha memakluminya.
Amelia mulai menyapu lantai kemudian membereskan semua yang telah diberantakkan oleh ibunya. Selanjutnya ia membuat teplok telur dan goreng tahu untuk makan siang mereka.  Semua dikerjakannya dalam diam dan keheningan mulai terasa sebab ibunya sudah berhenti mengomel sejak tadi dan adik-adiknya pun tak berani keluar dari kamar mereka.
Amelia, gadis kecil yang berusia 14 tahun duduk di kelas dua Sekolah Menengah Pertama. Parasnya manis dengan kulit kuning langsat. Di sekolah, Amelia termasuk anak yang pintar karena selalu meraih juara kelas tiap semesternya. Namun bawaannya yang pendiam dan cenderung menyendiri menyebabkan ia tak banyak memiliki teman. Dan, tidak seorang teman pun diizinkannya datang ke rumah karena Amelia takut ibunya marah.
Amelia memiliki dua orang adik laki-laki yang berusia tujuh dan sepuluh tahun. Kedua adiknya amat sayang dengan dirinya sebab Amelia selalu memperhatikan dan menolong mereka menyelesaikan tugas yang diberikan guru. Bagi Amelia, adik-adiknya itulah yang dapat dijadikan teman bermain di rumah tanpa sangsi ibunya akan marah.
Orang tua Amelia keduanya bekerja di perusahaan swasta yang berbeda. Ayahnya hanya pegawai biasa yang gajinya tidak mencukupi untuk membiayai seluruh kebutuhan rumah tangga. Sebab itulah ibunya juga bekerja untuk mencukupi kebutuhan mereka.
 Berbeda dengan ayahnya yang sangat baik kepadanya, ibunya sering memperlakukan Amelia dengan sangat keras. Bagi Amelia, tiada hari tanpa didera oleh ibunya. Bukan hanya kata-kata yang kasar bahkan tamparan dan pukulan selalu diterimanya. Dimata ibunya, Amelia tak pernah benar dan tak bisa menyenangkan hatinya. Hal tersebut telah lama terjadi, setidaknya sejak Amelia sudah punya ingatan ketika ia berusia lima tahun. Yang mengherankan, terhadap kedua adiknya, ibunya sangat baik dan hampir tak pernah memarahi mereka.
Amelia berusaha mencari alasan dibalik perlakuan sang ibu terhadapnya. Jawaban yang diperoleh dari ayahnyalah yang selama ini menjadi dasar Amelia untuk menerima apapun perlakuan ibu terhadap dirinya.
”Mamamu sangat menderita ketika kecil dulu. Ketika melahirkanmu, ia juga mengalami histeria dan itu lebih dari dua tahun ia derita. Selain itu, kamu anak perempuan satu-satunya dan mamamu mengharapkan kamu jadi perempuan yang tangguh dan mampu menghadapi setiap persoalan yang timbul. Makanya didikannya terhadap dirimu agak keras,” begitu ayahnya menjelaskan. Jawaban itulah yang disimpannya selama bertahun-tahun walau Amelia tak pernah yakin itu alasan sebenarnya.
Pernah satu kali amelia bertanya langsung pada ibunya. Tanggapan yang didapatinya sangat mengejutkan. Ibunya menatap Amelia dengan tatapan tajam seperti akan membelah dirinya menjadi bagian-bagian kecil. Tak lama kemudian ibunya menangis tersedu-sedu. Dengan ragu Amelia mendekat dan memeluknya.
”Maaf, Ma. Kalau pertanyaan Lia membuat Mama merasa tak enak,” Amelia berkata lirih dan mempererat pelukannya.
Dalam pelukan Amelia, ibunya berujar lirih,”Maafkan Mama. Sungguh Mama tak bermaksud.....”
Hanya jawaban itu yang diperolehnya dari sumber pertama. Satu pertanyaan yang belum ditemukan jawaban pasti. Pertanyaan yang masih tersimpan di memorinya dan ia masih terus mencari jawab. Entah dimana jawaban akan ditemukannya.
”Liaaaaa.....,” teriakan yang selalu membuat Amelia berlari tergopoh-gopoh.
”Iya, Ma,” jawaban rutin yang harus diberikan Amelia sebelum kakinya sampai pada yang empunya panggilan.
”Masakan apa ini! Mana biasa aku memakannya. Gorengkan ikan asin dan buat sayur asem. Sekalian sambel terasinya,” perintah ibunya setengah memekik. Amelia hanya mengangguk dan segera melaksanakan perintah tersebut.
Sayur asem? Hmm, bahannya sudah habis diserakkan oleh ibunya tadi. Dari mana ia dapat memperoleh bahan tersebut? Ke warung, tak ada uang. Di halaman, bahannya tak komplit. Mau bertanya, takut. Amelia harus memeras otaknya untuk menemukan solusi tersebut. Akhirnya ia mengambil kembali sayur-mayur yang telah jadi penghuni tempat sampah dan mencucinya satu persatu potongan. Amelia berusaha melakukannya dengan secepat mungkin, sebab jika terlalu lama menyiapkannya maka ia akan berhadapan dengan amarah ibunya.
Setelah selesai menghidangkan menu makan siang, Amelia memanggil kedua adiknya dan menyuruh mereka makan. Tidak lama kemudian ibunya keluar dari kamar dan mendekati adik-adiknya. Kedua adiknya dipeluk oleh ibunya dari belakang dan ubun-ubun mereka mendapat satu kecupan.
”Cepat habiskan makanannya, sayang,” ujar ibunya dengan lembut.
Amelia tersenyum menyambut dan menarikkan kursi untuk diduduki ibunya. Ibunya mulai menyendokkan nasi ke piring yang berada dihadapannya. Ketika menyendok sayur asem, keningnya berkerut.
”Dari mana kau dapat sayur ini?” tanya ibunya.
”Yang berserak di lantai tadi, Lia cuci satu persatu,” jawab Amelia lugu.
”Apa!” ibunya berteriak,”Kau mau meracuni kami? Bukankan tadi ada pecahan kaca disana? Kau mau serpihan kaca itu termakan oleh kami agar kami sakit bahkan mati!?”
”Bukan begitu, Ma. Sayurnya sudah Lia cuci bersih satu persatu tadi. Dan...,” jawaban itu terhenti sebab tangan ibunya telah sampai di mulut Amelia. Sebuah tamparan yang keras.
Lia tak dapat menahan air matanya. Apalagi ketika ibunya menuangkan sayur itu ke lantai. Lia tak dapat berbuat apa-apa. Perutnya yang tadi perih menahan lapar kini rasanya mual. Tapi semuanya harus ditahannya agar ibunya tak semakin brutal. Ia segera mengambil pengepel lantai dan membersihkan tumpahan sayur tersebut.
”Selesai membereskan itu, angkat jemuran di atas. Jangan biarkan jadi kerupuk,”perintah ibunya benar-benar tak berperasaan.
Amelia berjalan dengan gontai menuju tangga. Kepalanya tertunduk dan hatinya benar-benar pilu menerima perlakuan ibunya. Sesampainya di lantai atas, Amelia dikejutkan oleh seseorang yang mengacungkan sebuah celurit ke arahnya.
”Diam atau pisau ini merobek perutmu!” perintah orang yang tak dikenal tersebut. Amelia menggigil dan membekap mulutnya dengan tangan sendiri.
Tiba-tiba dari arah pintu ibunya keluar dan orang itu beralih mengacungkan celurit pada ibunya. Ibunya menjerit dan orang itu kelihatan kalap. Amelia melihat gelagat yang benar-benar membahayakan ibunya. Amelia segera berlari memeluk ibunya dan orang yang kalap itu menikam punggungnya.
”Ah...,” keluh Amelia menahan rasa sakit dipunggungnya. Ibunya melepaskan pelukan dan bergerak mendekati orang tersebut. Orang yang tak dikenal itu makin panik dan berlari menuju pagar pembatas, namun sayang, Amelia yang dalam keadaan limbung tertabrak olehnya dan tak dapat dicegah lagi, tubuh kurus itu meluncur ke bawah, tak mampu ditahan oleh pagar pambatas.
Amelia masih sempat melihat orang itu merayap menuruni dinding dan setelah itu semuanya terlihat jauh dan hanya suara-suara yang tak dimengertinya yang terdengar. Ia masih merasakan dekapan ibunya dan masih mendengar samar jerit ibunya yang memanggil namanya.
”Kuingin cintamu, mama....,” bisikan yang amat lirih masih sempat Amelia ucapkan.
”Lia, Lia, maafkan Mama. Maafkan Mama,” tangis histeris ibunya terdengar pilu.
”Jawab pertanyaan Lia, Ma,” antara sadar dan tak sadar Lia masih juga berusaha untuk bicara.
”Mama menyalahkan mu. Karena kehadiranmu yang sama sekali tak dikehendaki, mama terpaksa menikah dengan papamu yang kere itu. Maafkan mama. Itu bukan salahmu. Tapi mama terlanjur menyalahkanmu. Lia, sadar, nak,” raungan ibunya makin jauh terdengar.
Amelia telah memperoleh jawaban atas satu pertanyaan yang selalu menganggunya sejak kecil. Ia tersenyum, puas, akhirnya pertanyaan itu berjawab. Sama sekali ia tidak pernah membenci ibunya. Cintanya pada ibunya sepanjang waktu hanya untuk menunggu jawaban yang dicarinya. Suara yang makin samar membuat Amelia memasrahkan dirinya pada sang pemilik alam.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar